TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indra Syahputra, menjadi satu dari dua warga yang menggugat aturan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar dibolehkan tidak beragama, sehingga ada kolom tidak beragama di Kartu Keluarga (KK) maupun Kartu Tanda Pengenal (KTP).
Ia bersama Raymond Kamil mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) mengenai biodata penduduk yang memuat keterangan agama yang dianut atau kepercayaan dalam KK dan (KTP).
Keduanya ingin kolom agama tersebut dapat diisi dengan “tidak beragama”.
Indra Syahputra, warga Binjai, Sumatera Utara, kelahiran tahun 1979 itu pun mengaku sejak lama telah memilih untuk tidak beragama dalam hidupnya.
Cara berpikir Indra pun sederhana. Indra mengatakan dirinya memilih untuk tidak beragama agar lebih jujur dalam hidupnya dan tidak terikat atas ajaran agama apapun.
Adapun Indra mengatakan pemicu dirinya tidak ingin berpegang pada agama apapun di Indonesia karena proses alam dalam proses menjalani hidup.
"Saya pikir dengan tidak menyandang nama agama apa pun saya jadi lebih bebas, bebas dalam artian yang positif. Tidak terikat dogma yang seringnya itu membuat saya tak bebas berpikir," kata Indra kepada Tribunnews, Rabu 6/11/2024).
Kendati demikian, Indra yang di KTP beragama Islam itu menyebut dirinya tidak anti ataupun membenci agama apapun. Dia sepakat jika taka ada dalam ajaran agama apapun yang mengatakan agama mengajarkan kejahatan.
Tetap bertuhan meski tak memeluk agama menjadi jalan yang Indra ambil saat ini. Hal ini juga karena Indra tak mau dirinya memiliki agama yang hanya diwariskan dari orang tuanya.
"Yang harus saya tegaskan bahwa tidak beragama bukan berarti tidak bertuhan, hanya saja bertuhannya saya tidak mau diikat dengan ikatan agama. Bertuhan dengan cara akal budi pemikiran saya sendiri, bukan bertuhan yang diwariskan tradisi dan agama yang akhirnya diikat dengan ritual-ritual keagamaan," ungkapnya.
Lebih lanjut, Indra sedikit berbeda dengan Raymond yang berpisah dengan sang istri. Meski saat ini mengaku tak beragama, namun Indra tetap tinggal satu atap dengan sang istri yang memeluk agama Islam.
"Dan saya tidak pernah berniat dan berupaya untuk menjadikan istri saya agar menjadi seperti saya," tegas Indra.
Untuk diketahui, Raymond Kamil dan Indra Syahputra selaku pemohon dalam permohonannya mengaku tidak memeluk agama dan kepercayaan manapun, termasuk yang agama dan kepercayaan yang telah diakui negara Indonesia.
Para Pemohon menyatakan telah mengalami kerugian hak konstitusional karena harus mengisi kolom agama tersebut dengan memilih agama atau kepercayaan, padahal dirinya ingin diinput tidak beragama.
Para Pemohon menyebut telah mengalami diskriminasi karena petugas Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menolak agar kolom agama dalam KK maupun KTP dituliskan “tidak beragama”.
Menurut Para Pemohon, ketentuan yang diuji mewajibkannya untuk memeluk agama atau kepercayaan tertentu. Para Pemohon mengatakan isian kolom agama tidak bersifat isian terbuka melainkan pilihan tertutup yang memaksa.
Selain itu, Pemohon I juga mengaku mendapat penolakan untuk tidak mengikuti pendidikan agama dari petugas dinas pendidikan.
Pemohon I juga berkeinginan untuk menikah kembali, tetapi dirinya tidak mungkin memenuhi hak konstitusional dimaksud kecuali melakukan kebohongan mengaku sebagai penganut agama tertentu yang diakui.
Sementara itu, Kuasa Hukum Raymond dan Indra, Teguh Sugiharto pun angkat bicara soal permohonan gugatan yang dilayangkan ke MK tersebut.
Teguh berpendapat landasan kedua kliennya itu mengajukan judicial review atas pasal-pasal dalam Undang-undang yang ada itu karena tak mau dipaksa berbohong atas data administrasi kependudukan padahal dalam keyakinan tak mempercayai akan agama apapun.
Dia mencontohkan, apakah umat Islam tidak akan tersinggung jika seseorang yang memilih tidak mempunyai agama namun di KTP tertulis agama Islam. Sehingga, mereka ingin membuat agar kolom agama di KTP itu bisa ditulis tak beragama seperti apa yang diperjuangkan saat ini.
"Klien kami ini mengajukan judicial review, salah satunya adalah karena tidak ingin menghina agama, tidak ingin menggunakan agama untuk kepentingannya pribadi," jelasnya.
Selain itu, Teguh mengatakan tertulisnya agama dalam KTP itu juga rawan terhadap diskriminasi yang bisa berujung pada terancamnya keselamatan.
Dia kembali mencontohkan jika seseorang yang tertuliskan agama datang ke suatu tempat yang mayoritas agamanya berbeda dengan orang itu. Maka, bukan tidak mungkin akan adanya diskriminasi.
Untuk itu, Teguh meminta agar permohonan judicial review ini bukan menjadi suatu ajang untuk saling menyalahkan. Namun, hanya untuk memenuhi hak-hak konstitusional bagi setiap warga negara.