PRAHA - Tentara Sekutu
NATO akan dikerahkan ke
Ukraina untuk melawan pasukan
Rusia jika Moskow tidak memiliki
senjata nuklir. Demikian disampaikan kepala komite militer aliansi tersebut, Laksamana Rob Bauer.
"Saya benar-benar yakin jika Rusia tidak memiliki senjata nuklir, kami akan berada di Ukraina, mengusir mereka," kata Bauer, yang kan segera pensiun sebagai kepala Komite Militer NATO, saat tampil di KTT Pertahanan IISS di Praha, Republik Ceko, Minggu, yang dilansir
Newsweek, Senin (11/11/2024).
Rusia memiliki persediaan senjata nuklir terbesar di dunia, diikuti oleh persenjataan nuklir Amerika Serikat (AS). Jika digabungkan, Moskow dan Washington mengendalikan sekitar 90 persen senjata nuklir di seluruh dunia.
Saat pasukan Moskow menyerbu Ukraina pada akhir Februari 2022, Presiden Rusia Vladimir Putin menempatkan pasukan penangkal nuklir negaranya dalam siaga tinggi.
Beberapa bulan kemudian, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan risiko konflik nuklir telah menjadi cukup besar.
Pejabat terkemuka Rusia, seperti mantan Presiden Dmitry Medvedev, yang tetap menjadi suara agresif di kancah politik Kremlin, serta komentator televisi pemerintah Rusia, sering menyebutkan prospek perang nuklir.
Beberapa pembawa acara dan tamu media pemerintah Rusia telah menyarankan agar Moskow melancarkan serangan nuklir ke negara-negara NATO, seperti AS dan Inggris, yang mendukung upaya perang Kyiv.
Putin mengatakan pada bulan Maret tahun ini bahwa Rusia diperlengkapi secara militer dan siap untuk perang nuklir.
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres mengatakan pada September 2022 bahwa gagasan perang nuklir "dulu tidak terpikirkan", tetapi sekarang menjadi subjek perdebatan.
"Hal ini sendiri sama sekali tidak dapat diterima," kata Guterres.
Di NATO, AS, Inggris Raya, dan Prancis memiliki senjata nuklir, tetapi beberapa pangkalan Eropa lainnya juga menampung senjata nuklir taktis AS.
Pasukan NATO yang dikerahkan untuk berperang atas nama Ukraina sebagian besar tidak dipertimbangkan, meskipun serdadu asing telah bergabung dengan militer Ukraina sebagai sukarelawan.
Pada bulan Februari, Presiden Prancis Emmanuel Macron menolak untuk mengesampingkan pengiriman tentara Barat ke Ukraina. Pernyataan tersebut dengan cepat diremehkan oleh negara-negara NATO lainnya, dan sekretaris jenderal aliansi saat itu, Jens Stoltenberg, mengatakan tidak mempertimbangkan untuk mengirim pasukan ke medan perang.
Presiden AS Joe Biden secara konsisten mengatakan tidak akan ada pasukan AS yang dikerahkan ke Ukraina.
Aliansi tersebut menyatakan mendukung Ukraina, tetapi tidak terlibat langsung dalam konflik tersebut.
Negara-negara NATO, yang menghabiskan waktu bertahun-tahun di Afghanistan dan Irak tak lama setelah pergantian abad, sangat enggan untuk membicarakan masalah pengerahan pasukan darat mereka sendiri di Ukraina.
Kyiv menyatakan tidak meminta pasukan kepada para pendukungnya, hanya bantuan militer.
"Jika Anda berperang di Afghanistan, itu tidak sama dengan memerangi Rusia di Ukraina, karena Taliban tidak memiliki senjata nuklir, kata Bauer.
"Ada perbedaan besar antara Afghanistan dan Ukraina," paparnya.