Lebih dari 75 pemimpin negara dari penjuru dunia dijadwalkan meramaikan Konferensi Tingkat Tinggi Iklim di Baku, Azerbaijan, sejak Selasa (12/11), Namun begitu, hanya segelintir pemimpin kelompok negara perekonomian terbesar di dunia G20 yang hadir. Padahal, G20 bertanggung jawab atas sekitar 80 persen gas rumah kaca yang menyebabkan krisis iklim.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Presiden Xi Jinping dari Cina, Perdana Menteri Narendra Modi dari India dan pemimpin Prancis Emmanuel Macron serta Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen urung hadir. Di antara nama yang absen termasuk juga Presiden Brasil Lula da Silva. Adapun Prabowo Subianto mengutus adik kandungnya Hashim Djojohadikusumo untuk mengepalai delegasi Indonesia.
"Situasinya memang tidak ideal," kata Steven Guilbeault, Menteri Lingkungan Hidup Kanada. "Tapi dalam 30 tahun KTT Iklim, ini bukan kali pertama kami menghadapi rintangan," imbuhnya kepada AFP. "Tentunya, semua masih mungkin."
Utusan AS untuk urusan iklim, John Podesta, berusaha meyakinkan negara-negara yang hadir dalam COP29 di Baku bahwa terpilihnya kembali Donald Trump sebagai presiden tidak akan mengakhiri upaya AS dalam mengatasi pemanasan global, meski tema itu akan "dikesampingkan".
"Ini akan menjadi COP yang sulit," kata Fernanda Carvalho, pimpinan kebijakan iklim dan energi global di organisasi konservasi World Wildlife Fund for Nature, WWF. "Negara-negara terpecah. Ada kurangnya kepercayaan," katanya, dan perpecahan mengenai pendanaan iklim "akan tercermin di setiap ruang negosiasi."
Prioritas utama dalam COP29 adalah meningkatkan pendanaan bagi solusi dan aksi iklim di negara-negara berkembang.
Negara-negara rentan iklim kebanyakan merupakan negara miskin, berupa pulau-pulau dataran rendah atau negara yang lumpuh akibat perang. Mereka disatukan oleh jumlah emisi karbondioksida yang rendah, namun tingkat kerentanan yang tinggi akibat naiknya permukaan laut, cuaca ekstrem, dan krsis ekonomi.
Sebelumnya, berbagai pihak mendesak agar komtimen pendanaan yang saat ini sebesar USD100 miliar per tahun dinaikkan sepuluh kali lipat pada COP29 untuk menutupi biaya masa depan, yakni beralih ke energi bersih dan beradaptasi dengan dampak krisis iklim.
Babayev, mantan eksekutif di industri minyak, mengatakan di hadapan para negosiator bahwa meski triliunan Dollar AS mungkin diperlukan, tetapi angka dalam ratusan miliar lebih "realistis".
Negara-negara berkembang dan organisasi lingkungan berpendapat, negara-negara kaya dan penghasil terbesar emisi CO2 secara historis memiliki "utang iklim," yang harus dibayar.
Selama beberapa tahun terakhir, negosiasi iklim berkutat seputar besaran dana yang harus dibayarkan dan siapa yang harus membayar porsi terbesar. Dengan absennya pemimpin negara-negara kaya di KTT Iklim di Baku, kecil kemungkinan bakal terciptanya kesepakatan final soal pendanaan iklim di masa depan.
Negara-negara berkembang memperingatkan, tanpa pendanaan yang memadai, mereka kesulitan membuat kemajuan yang serius dalam menepati komitmrn iklim. Sebabnya, dana iklim sudah harus dibayarkan paling lambat awal tahun depan.
Sekelompok kecil negara maju yang saat ini menyumbang uang, menginginkan agar kumpulan donor diperluas untuk mencakup negara-negara kaya lainnya dan penghasil emisi teratas, termasuk Cina dan negara-negara kaya minyak di Teluk Persia.
Sejauh ini, Beijing termasuk yang paling keras menolak tuntutan membiayai aksi iklim di negara berkembang, karena bukan termasuk penghasil emisi historis. Emisi gas rumah kaca pertama kali diproduksi secara masif sejak lahirnya Revolusi Industri di Eropa Barat dan Amerika Utara. Adapun Cina, India atau Indonesia baru menghasilkan emisi sejak beberapa dekade silam.
Stiell memperingatkan negara-negara kaya untuk "menyingkirkan gagasan bahwa pendanaan iklim adalah sedekah".
Sekitar 50.000 orang menghadiri pertemuan puncak di Azerbaijan, negara minyak yang diapit antara Rusia dan Iran, termasuk para pemimpin banyak negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang dilanda bencana iklim.
Di Baku, ketua delegasi Indonesia Hashim membawa undangan dari Presiden Prabowo kepada investor asing untuk membiayai proyek raksasa transformasi menuju energi terbarukan. Rencananya, Indonesia akan membangun lusinan pembangkit berkapasitas total 75 gigawatt, GW, dalam 15 tahun ke depan, kata Hashim di sela-sela KTT.
Indonesia adalah salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Emisi dihasilkan melalui pembukaan lahan hutan atau pembakaran energi fosil untuk transportasi dan produksi listrik. Namun Indonesia berkomitmen memangkas emisi karbondioksida menjadi nol selambatnya pada tahun 2060. Salah satu tantangan terbesar adalah menukar pembangkit batu bara dan diesel yang ada dengan instalasi energi terbarukan.
Hashim mengatakan, pemerintahan Prabowo sudah merencanakan pembangunan kapasitas secara masif selama masa jabatannya yang baru beberapa pekan. "Akan ada 100 GW energi baru yang akan diimplementasikan dalam pemerintahan baru dalam 15 tahun ke depan, yang 75%, atau 75 GW akan menjadi energi terbarukan," kata dia dalam pidato di Baku, Senin (11/11).
Proyek raksasa itu akan mencakup pembangunan pembangkit tenaga surya, bendungan, panas bumi dan energi nuklir, kata Hashim, tanpa merinci rencana untuk 25 GW sisa kapasitas yang direncanakan.
Kapasitas produksi listrik di Indonesia saat ini melampaui 90 GW, dengan lebih dari separuhnya bertenaga batu bara dan kurang dari 15 persen bertenaga energi terbarukan. Adapun pembangunan pembangkit nuklir masih menjadi topik yang kontroversial lantaran rawan gempa bumi dan bencana alam.
Perusahaan Listrik Negara, PLN, sedang merancang jalur transmisi baru energi terbarukan yang membentang sepanjang 70.000 km, kata Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo di Baku, menurut pernyataan perusahaan.
rzn/as (afp,rtr,ap´)