Jakarta (ANTARA) - Pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Najih Arromadloni mengatakan bahwa menggelorakan semangat "hubbul wathon minal iman" atau mencintai Tanah Air bagian dari iman penting dilakukan di kalangan pemuda.
"Cinta terhadap tanah air adalah fitrah, dan sejalan dengan ajaran agama," kata Gus Najih sapaan akrabnya di Jakarta, Kamis.
Gus Najih mengungkapkan bahwa terdapat tren budaya populer yang dikembangkan oleh organisasi terlarang guna menyisipkan ideologi atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Menurut dia, pergerakan tersebut tidak lagi konvensional seperti ceramah pada umumnya, melainkan dikemas lebih populer seperti seminar, workshop, reuni atau pertemuan dengan skala besar.
Hal ini perlu diwaspadai demi menjaga stabilitas keamanan dan kenyamanan di masyarakat.
Ia menilai, meskipun "hubbul wathon minal iman" bukanlah sebuah redaksi hadis, namun secara substansi, hal ini sesuai dengan semangat dan ajaran Nabi Muhammad SAW, sehingga perlu digelorakan untuk menjaga semangat nasionalisme, khususnya bagi para pemuda.
"Nasionalisme sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Justru nasionalisme ini adalah hal yang diajarkan oleh Islam," tuturnya.
Penulis buku Tafsir Kebangsaan ini berpendapat bahwa banyak firman Allah yang menyerukan untuk mencintai tanah air, sebagaimana yang termaktub di dalam Alquran.
"Ketika ada yang mengatakan bahwa nasionalisme itu tidak ada dalilnya tentu itu adalah ungkapan yang sangat sembrono, karena hanya berdasarkan pembacaan yang dangkal atas Islam," katanya.
Selain itu, Gus Najih juga menggarisbawahi pentingnya moderasi beragama sebagai cara untuk menjaga persatuan dan mengembalikan esensi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Menurut dia, masih banyak umat yang belum sepenuhnya memahami semangat kasih sayang yang diajarkan Islam. Penafsiran yang kaku dan tidak melihat karakter budaya bangsa memicu kegaduhan, intoleransi dan radikalisme yang mengatasnamakan agama.
"Perlu kembalikan agama ini kepada jati diri yang asli, yaitu rahmatan lil alamin atau yang karakternya adalah wasatiyah, ini dalam bahasa Indonesia disebut moderasi beragama," ujarnya.
Gus Najih menambahkan, moderasi beragama menjadi solusi untuk membentengi generasi muda dalam menghadapi ideologi transnasional yang berpotensi mengarah kepada ekstremisme dan radikal terorisme.
Karena moderasi beragama menekankan pentingnya sikap toleran, menerima perbedaan dan menolak segala bentuk kekerasan atas nama agama.
Pendekatan ini kata dia, tidak hanya bersifat vertikal dengan Tuhan, melainkan juga menjaga hubungan antar sesama, karena mengajak umat untuk fokus pada nilai-nilai luhur agama tanpa merusak prinsip kebangsaan. Harapannya, moderasi beragama mampu memberikan ‘vaksin’ kekebalan kepada masyarakat untuk menangkal pengaruh paham-paham radikal yang merusak persatuan bangsa.
"Moderasi agama itu bukan menciptakan agama atau aliran yang baru tetapi sebetulnya adalah mengembalikan agama, memperkokoh posisinya posisi agama dalam jati diri yang aslinya tanpa ada penyimpangan-penyimpangan," katanya.
Gus Najih berharap, melalui semangat hubbul wathon minal iman dan moderasi beragama, dapat meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan, menjaga keharmonian di tengah keberagaman.
“Ideologi transnasional, paham radikal dan ekstremisme dapat dilawan dengan sikap moderat, yang menghargai perbedaan dan menolak segala bentuk kekerasan,” kata Gus Najih.