BANGKAPOS.COM, BANGKA -- Sebagai salah satu kota tertua di Pulau Bangka, Pangkalpinang menyimpan warisan sejarah yang tak ternilai, salah satunya tercermin dari nama-nama jalan di kota ini.
Salah satu jalan yang menarik perhatian karena kisah masa lalunya adalah Jalan Balai. Nama ini bukan sekadar penanda lokasi, tetapi menggambarkan peran sosial dan budaya yang vital pada masa lalu.
Nama "Balai" merujuk pada bangunan tradisional yang pernah menjadi pusat aktivitas masyarakat.
Menurut sejarawan sekaligus tokoh masyarakat Pangkalpinang, Dato Akhmad Elvian, Jalan Balai dahulu adalah lokasi berdirinya balai adat atau yang disebut Balai Gemeente Pangkalpinang, tempat berlangsungnya pertemuan masyarakat, musyawarah adat, hingga penyelesaian sengketa.
Elvian menjelaskan, balai ini dulunya menjadi simbol persatuan. Setiap keputusan penting diambil di sini.
Kini, Jalan Balai telah bertransformasi menjadi salah satu kawasan komersial di Pangkalpinang. Deretan toko, warung makan, dan kios kecil berjajar di sepanjang jalan ini, membawa sentuhan modern yang kontras dengan masa lalunya.
Meski demikian, beberapa bangunan tua yang masih berdiri menjadi saksi bisu jejak sejarah Jalan Balai.
"Selain menjadi tempat bagi balai adat, Jalan Balai juga menyimpan sejarah nasional yang tak kalah penting. Pada masa penjajahan Belanda, tepatnya setelah Agresi Militer Belanda II, Pangkalpinang menjadi tempat pengasingan para pemimpin Republik Indonesia. Salah satu bangunan yang memainkan peran besar saat itu adalah Balai Gemeente Pangkalpinang, yang kemudian menjadi asal nama Jalan Balai," jelas Elvian kepada Bangkapos.com, Kamis (14/11/2024).
Balai Gemeente ini tidak hanya menjadi tempat berlangsungnya rapat umum, tetapi juga menjadi tempat interaksi masyarakat Pangkalpinang dengan para pemimpin republik yang diasingkan di Pulau Bangka. Presiden Sukarno, yang diasingkan ke Bangka pada 5 Februari 1949, kerap bertemu rakyat dalam berbagai acara, mulai dari rapat umum, ceramah agama, hingga perayaan adat seperti pesta panen.
"Momen bersejarah lainnya terjadi pada 5 Juli 1949, ketika Balai Gemeente menjadi saksi penyerahan bantuan sebesar 90.170,18 gulden untuk pembangunan Ibukota Yogyakarta. Esok harinya, pada 6 Juli 1949, Sukarno, Hatta, dan pemimpin republik lainnya meninggalkan Bangka untuk kembali ke Yogyakarta, setelah sebelumnya berpamitan dengan sekitar 3.000 rakyat Bangka dalam pidato penuh semangat di halaman Balai Gemeente," tambahnya.
Tak hanya Jalan Balai, banyak jalan di Pangkalpinang yang memiliki sejarah dan cerita tersendiri. Elvian menjelaskan bahwa Jalan Jenderal Sudirman merupakan jalan nasional yang diberi nama pahlawan nasional, sementara Jalan Kampung Melayu dinamai karena mengarah ke Kampung Tuatunu, kawasan Melayu di Pangkalpinang.
"Di beberapa kecamatan, nama jalan bahkan diberi tema tertentu, seperti nama-nama batu di Bukit Intan dan Girimaya, nama ikan di Pangkalbalam dan Gabek, nama bunga di Tamansari, dan nama kayu di Gerunggang," terang Elvian.
Penamaan jalan-jalan besar di Pangkalpinang sendiri mengutamakan nama pahlawan dan tokoh lokal, sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa dan sejarah mereka.
"Jalan Balai, dengan segala sejarah yang melekat, menjadi pengingat akan pentingnya persatuan dan gotong royong yang telah diwariskan sejak dahulu kala," tuturnya.
Nursiah (62), seorang warga yang tinggal di sekitar Jalan Balai, merasa bangga terhadap sejarah yang dimiliki jalan ini.
"Saya ingat orang tua saya bercerita tentang balai yang sering dipakai untuk musyawarah. Sayangnya, balai itu sudah tidak ada, tapi nama jalan ini tetap mengingatkan kita pada pentingnya gotong royong dan kebersamaan di masa lalu," kenangnya saat dijumpai Bangkapos.com, Kamis (14/11/2024). (Bangkapos.com/Andini Dwi Hasanah)