TIMESINDONESIA, JAKARTA – Jumlah kematian akibat perang saudara di Sudan ternyata lebih mengerikan, hingga kini mencapai 61.000 orang lebih akibat perang langsung dan akibat penyakit dan kelaparan yang ditimbulkannya.
Bahkan menurut sebuah studi baru, diyakini bahwa jumlah orang yang meninggal karena perang saudara di Sudan itu jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan sebelumnya.
Menurut laporan Kelompok Penelitian Sudan dari Sekolah Kebersihan dan Kedokteran Tropis, lebih dari 61.000 orang tewas di negara bagian Khartoum, tempat pertempuran dimulai tahun lalu.
"Dari jumlah tersebut, 26.000 orang diantaranya terbunuh sebagai akibat langsung dari kekerasan," katanya seraya mencatat bahwa penyebab utama kematian di seluruh Sudan adalah karena penyakit yang sebenarnya bisa dicegah serta kelaparan.
Selain itu juga banyak orang meninggal di tempat lain di negara ini, terutama di wilayah barat Darfur, tempat terjadinya banyak laporan kekejaman dan pembersihan etnis.
Dilansir BBC, pekerja bantuan mengatakan, konflik yang berlangsung sejak 19 bulan di Sudan itu telah menciptakan krisis kemanusiaan terburuk di dunia, dengan ribuan orang berisiko kelaparan.
Hingga saat ini, PBB dan badan-badan bantuan lainnya telah menggunakan angka 20.000 kematian yang terkonfirmasi.
Karena pertempuran dan kekacauan di negara itu, tidak ada pencatatan sistematis mengenai jumlah orang yang terbunuh.
Pada bulan Mei, utusan khusus AS untuk Sudan, Tom Perriello mengatakan, bahwa beberapa perkiraan menunjukkan hingga 150.000 orang telah terbunuh.
Studi Sudan Research Group muncul ketika Amnesty International mengatakan teknologi militer Prancis digunakan dalam konflik tersebut, yang melanggar embargo senjata PBB.
Kamis kemarin kelompok hak asasi manusia mengatakan, milisi Pasukan Dukungan Cepat (RSF), yang memerangi tentara, menggunakan kendaraan di Darfur yang dipasok oleh Uni Emirat Arab (UEA) yang dilengkapi dengan perangkat keras Prancis.
"Penelitian kami menunjukkan bahwa persenjataan yang dirancang dan diproduksi di Prancis digunakan secara aktif di medan perang di Sudan," kata Sekretaris Jenderal Amnesty Agnès Callamard.
Amnesty mengatakan, senjata tersebut bisa digunakan untuk melakukan atau memfasilitasi pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
Ditambahkan juga bahwa pemerintah Prancis harus memastikan perusahaan-perusahaan tersebut "segera menghentikan pasokan sistem ini ke UEA".
Kelompok hak asasi itu membagikan gambar, yang katanya telah diverifikasi, dari kendaraan yang hancur di darat yang memiliki sistem Galix yang terlihat di atasnya. (*)