Oleh Arti Ekawati
Kurangnya keterwakilan perempuan di pemerintahan baru Indonesia menunjukkan bahwa jalan menuju kesetaraan gender di negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia masih panjang, kata para kritikus.
POS-KUPANG.COM - Presiden Republik Indonesia yang baru dilantik, Prabowo Subianto, mengumumkan Kabinet Indonesia yang baru dan lebih besar bulan lalu, dengan menunjuk menteri, wakil menteri, dan kepala berbagai lembaga nasional.
Secara total, ia menunjuk 109 anggota, termasuk gabungan pejabat profesional dan politik, dengan beberapa menteri tetap menjabat setelah menjabat sebagai pendahulu Prabowo, Joko Widodo, yang juga dikenal sebagai Jokowi.
Namun hanya 14 orang yang diangkat adalah perempuan, dan dalam Kabinet yang beranggotakan 48 orang, hanya ada lima menteri perempuan.
Rendahnya angka tersebut menuai kritik dari para pegiat kesetaraan gender, yang menyatakan keprihatinan atas tidak memadainya keterwakilan perempuan di puncak pemerintahan.
Bagaimana pengaruhnya terhadap pembuatan kebijakan?
Meskipun perempuan memimpin beberapa kementerian berpengaruh seperti keuangan, atau komunikasi dan urusan digital, para kritikus mengatakan bahwa mereka sebagian besar tidak dilibatkan dalam bidang kebijakan utama seperti kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.
Titi Anggraeni, pakar hukum di Universitas Indonesia, berpendapat bahwa kurangnya keterwakilan perempuan dapat berdampak pada pembuatan kebijakan, penganggaran, dan pemantauan program pembangunan.
“Kemungkinan besar kebijakan ini akan bias gender, tidak inklusif, dan sangat maskulin. Tampaknya kita sedang mengalami kemunduran,” katanya kepada DW.
Aktivis hak-hak perempuan Yuri Muktia juga mengamini pandangan ini, dengan mengatakan bahwa susunan gender dalam kabinet baru Prabowo tidak sejalan dengan tren global saat ini.
“Jauh dari harapan yang kita cita-citakan, khususnya dalam gerakan perempuan. Kalau mengacu pada cita-cita tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), keterwakilan perempuan 30 persen penting di ranah politik,” kata Muktia kepada DW.
Meningkatnya ancaman terhadap hak-hak perempuan
Para aktivis mengatakan kurangnya keterwakilan yang memadai juga membahayakan pemberdayaan perempuan dan akses terhadap kebutuhan dasar seperti pendidikan dan hak-hak reproduksi.
Meskipun kemajuan besar telah dicapai dalam hal akses perempuan terhadap sekolah dan pekerjaan dalam beberapa tahun terakhir, partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia masih mencapai 54 persen, dibandingkan dengan 84 persen pada laki-laki.
Ada juga kesenjangan upah yang signifikan berdasarkan gender, dimana perempuan diperkirakan memperoleh penghasilan rata-rata 23 persen lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Banyak pekerja perempuan juga kurang memiliki kesadaran mengenai hak-hak dasar mereka, seperti hak untuk mengambil cuti dua hari yang dibayar ketika mereka sedang menstruasi.
Hak-hak dan kebebasan perempuan juga semakin terancam oleh meningkatnya ekstremisme agama di negara ini. Kelompok fundamentalis Islam, khususnya di provinsi seperti Aceh, sering menyerukan pembatasan aktivitas perempuan di ruang publik dan membungkam suara mereka.
Andi Faizah, dari Forum LSM Internasional tentang Pembangunan Indonesia (Infid), menekankan bahwa penting bagi perempuan untuk menduduki posisi kunci di pemerintahan.
“Perempuan mempunyai peran dalam mendorong kebijakan yang lebih inklusif dan adil dengan memanfaatkan pengalaman nyata perempuan dan kelompok rentan lainnya,” tulisnya dalam sebuah artikel yang dipublikasikan di situs web organisasi tersebut.
Representasi di parlemen meningkat
Namun sisi positifnya adalah keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia mengalami peningkatan secara bertahap dalam satu dekade terakhir.
Pada pemilu legislatif tahun 2014, perempuan memperoleh 17,3 persen kursi, meningkat menjadi 20,8 persen setelah pemilu tahun 2019.
Pemilu 2024 mencetak rekor baru, dengan perempuan memenangkan 22,1 persen kursi. Saat ini, 127 dari 580 anggota parlemen adalah perempuan.
Namun angka tersebut masih lebih rendah dibandingkan rata-rata global sebesar 26,2 persen, dan juga lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Vietnam, Singapura, dan Filipina. (dw.com)