Tuding NYPD Berkonspirasi Bunuh Malcolm X, Keluarga Tuntut Ganti Rugi Rp1,6 Triliun
GH News November 16, 2024 09:06 AM
WASHINGTON - Keluarga Malcolm X menggugat lembaga penegak hukum federal dan Departemen Kepolisian New York (NYPD) pada hari Jumat karena diduga berkonspirasi untuk membunuh pemimpin hak-hak sipil yang terbunuh.

Gugatan atas kematian yang salah, yang menuntut ganti rugi sebesar USD100 juta atau setara Rp1,6 triliun yang diajukan oleh Ilyasah Shabazz, putri Malcolm, dan anggota keluarga lainnya.

Gugatan tersebut menyebutkan nama pemerintah AS, Departemen Kehakiman, FBI, CIA, dan NYPD, dengan mengatakan bahwa lembaga-lembaga tersebut mengetahui sebelumnya rencana untuk membunuh Malcolm, tetapi tidak melakukan apa pun untuk menghentikannya, dan kemudian berupaya menutupi keterlibatan mereka.

"Kami yakin semua bersekongkol untuk membunuh Malcolm X, salah satu pemimpin pemikiran terhebat di abad ke-21," kata Ben Crump, seorang pengacara Hak Sipil yang mewakili keluarga tersebut, dalam sebuah konferensi pers, dilansir Middle East Monitor.

"Kami tidak hanya membuat sejarah, tetapi kami membuat jalan menuju keadilan, kami yakin jalan menuju keadilan yang menjadi preseden bagi mereka yang telah ditolak keadilannya oleh sistem hukum Amerika terlalu lama," tambahnya.



Gugatan tersebut menuduh bahwa FBI dan CIA bekerja sama dengan agen rahasia di Nation of Islam, gerakan Muslim separatis Kulit Hitam tempat Malcolm menjadi juru bicara sebelum ia meninggalkan kelompok tersebut.

Gugatan tersebut mengatakan bahwa agen FBI berupaya membahayakan keselamatannya dengan menangkap tim keamanannya pada hari-hari menjelang pembunuhan pada 21 Februari 1965.

Biro tersebut juga diduga telah memindahkan petugas keamanan dari Audubon Ballroom, lokasi pembunuhan, dan gagal menyetujui izin yang akan memungkinkan Malcolm membawa senjata api.

"Kami siap untuk pertarungan ini," kata Crump.

Shabazz, putri Malcolm, mengatakan bahwa keluarganya berjuang "terutama untuk ibu kami" yang mengalami serangan kekerasan saat Malcolm masih hidup dan, sebagai perawat terdaftar, berusaha memberikan perawatan medis ketika ia ditembak mati.

"Ia mengubah tempat ini, yang melambangkan trauma, tragedi, dan mengubahnya menjadi tempat kemenangan, bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain agar menjadi penerima manfaat dari pekerjaan ayah saya, generasi muda ini untuk meneruskan pekerjaan ini sehingga kita bisa mendapatkan kebenaran dan keadilan bagi semua orang yang telah dibunuh secara salah," katanya selama jumpa pers yang diadakan di bekas lokasi pembunuhan ayahnya, yang sekarang didedikasikan kembali sebagai Malcolm X dan Dr. Betty Shabazz Memorial and Educational Centre.
© Copyright @2024 LIDEA. All Rights Reserved.