Kabut asap beracun memaksa Ibu kota India, New Delhi, pada hari Senin (18/11) menutup sekolah-sekolah dan mengalihkan ke pembelajaran daring. Kandungan kabut asap beracun di udara tercatat melonjak melewati 60 kali lipat dari batas harian maksimum yang direkomendasikan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Berbagai inisiatif pemerintah yang dilakukan secara bertahap telah gagal untuk mengatasi masalah tersebut. Kabut asap dinilai bertanggung jawab atas ribuan kematian dini setiap tahun dan khususnya berdampak pada kesehatan anak-anak dan warga lanjut usia.
Tingkat polutan PM2.5, yakni partikel mikro penyebab kanker berbahaya yang memasuki aliran darah melalui paru-paru, mencapai puncaknya pada 907 mikrogram per meter kubik pada Senin pagi, menurut monitor polusi IQAir, dengan pembacaan di atas 15 dalam periode 24 jam dianggap tidak sehat oleh WHO.
Stasiun pemantauan individu mencatat tingkat yang lebih tinggi -- satu stasiun mencatat polutan PM2.5 pada 980, 65 kali lipat dari maksimum WHO.
Selain menutup sekolah-sekolah, pihak berwenang di ibu kota India juga menghentikan pekerjaan konstruksi, dan melarang truk yang tidak penting memasuki kota berpenduduk sekitar 33 juta orang itu, karena kualitas udara menjadi semakin berbahaya.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Kabut asap itu meningkat lebih jauh ke kategori parah, menurut SAFAR, badan lingkungan utama negara itu, yang mengukur partikel kecil di udara yang dapat masuk jauh ke dalam paru-paru.
Kabut asap juga menutupi monumen dan gedung-gedung tinggi di ibu kota, dengan jarak pandang yang sangat rendah sehingga maskapai penerbangan memperingatkan akan adanya penundaan.
Polusi udara di India utara meningkat setiap tahun, terutama di musim dingin, karena petani membakar sisa tanaman di area pertanian. Pembakaran tersebut bertepatan dengan suhu yang lebih dingin yang memerangkap asap di udara. Asap tersebut kemudian tertiup ke kota-kota, di mana emisi kendaraan bermotor menambah polusi.
Truk-truk juga tidak diizinkan memasuki kota kecuali yang membawa barang-barang penting. Beberapa kendaraan tua yang boros solar telah dilarang masuk ke dalam kota, dan semua kegiatan konstruksi telah dihentikan.
Emisi dari industri dan pembakaran batu bara untuk menghasilkan listrik juga terkait dengan polusi, yang terus meningkat dalam beberapa minggu terakhir.
Pemerintah India menghimbau anak-anak dan warga lanjut usia, serta mereka yang memiliki masalah paru-paru atau jantung "untuk tetap berada di dalam rumah sebisa mungkin".
Namun seorang warga mengatakan "Para menteri dan pejabat yang kaya mampu untuk tetap berada di dalam rumah, bukan orang biasa seperti kami," kata pengemudi becak Rinku Kumar, 45 tahun.
"Kami tidak bisa memilih untuk tinggal di dalam rumah... mata pencaharian, makanan, dan kehidupan kami, semuanya ada di tempat terbuka," ujarnya.
Banyak orang di kota itu tidak mampu membeli penyaring udara, mereka juga tidak punya rumah yang secara efektif melindungi dari udara yang berbau dan berbahaya.
"Siapa yang mampu membeli pembersih udara jika membayar tagihan bulanan saja sudah menjadi tantangan?" kata warga lain.
Sebuah laporan oleh The New York Times bulan ini, berdasarkan sampel yang dikumpulkan selama lima tahun, mengungkapkan asap berbahaya juga keluar dari pembangkit listrik yang membakar tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir kota itu.
Beberapa penelitian memperkirakan lebih dari satu juta orang India meninggal setiap tahun akibat penyakit yang berhubungan dengan polusi.
"Semua orang sakit tenggorokan," kata Sanjay Goel, seorang pemilik kebun berusia 51 tahun di New Delhi. "Mereka seharusnya melarang pembakaran sisa tanaman... asapnya ada di mana-mana."
Kualitas udara yang memburuk di ibu kota juga memicu kemarahan warga di media sosial. Banyak yang mengeluh sakit kepala dan batuk-batuk, menggambarkan kota itu sebagai "apokaliptik".
ae/yf (AP, AFP)