Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai industri petrokimia nasional masih sulit bergerak imbas banyak kebijakan pemerintah yang tidak mendukung keberlangsungan industri.
Padahal, menurut Ketua Komisi Tetap Apindo Achmad Widjaja, peran swasta penting dalam pengembangan industri petrokimia di dalam negeri.
Industri petrokimia sendiri memiliki peran penting dalam menopang sektor hulu manufaktur Indonesia.
Produk kimia yang dihasilkan dapat diolah berbagai industri seperti plastik, tekstil, farmasi, kosmetik, dan obat-obatan.
Terkait dengan kesulitan yang dihadapi, Achmad memberi contoh ketika investasi dari luar negeri seperti Lotte Group hendak masuk ke Indonesia.
Ia mengatakan, investasi dari Lotte Group ke Indonesia memerlukan waktu panjang sebelum akhirnya bisa masuk ke dalam negeri.
"Seperti Lotte kan sampai makan waktu berapa tahun itu. Hal ini menjadi koreksi pemerintah,” kata Achmad dikutip dari keterangan tertulis pada Minggu (22/12/2024).
Achmad menilai pemerintah perlu memberikan paket kebijakan yang menarik agar investor dari negara lain bisa masuk Indonesia.
Ia menyebutkan beberapa paket kebijakan seperti tax holiday. Ini perlu diberikan dalam durasi yang panjang karena industri petrokimia memerlukan investasi besar.
Tax holiday yang panjang dibutuhkan karena untuk membangun pabrik saja diperlukan waktu minimal tiga tahun.
Achmad menyarankan tax holiday yang diberikan bisa mencapai 20 tahun seperti yang diterapkan oleh Vietnam dan Malaysia.
"Kita kalah sama Vietnam sama Malaysia karena memang mereka kasih minimum 20 tahun. Petrochemical kan sekali investasi umpamanya USD 20 miliar gitu lho," ujarnya.
Achmad memandang investasi dari industri petrokimia bisa membuat Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen sesuai target Presiden Prabowo Subianto.
Namun, ia kembali menekankan bahwa pemerintah perlu menciptakan iklim investasi yang kondusif agar industri bisa semakin ekspansif.
Di saat pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di sekitar 5 persen, ia menyebut sisa 3 persennya bisa disumbang melalui iklim pengolahan industri yang dijaga.
"3 persen itu pemerintah cukup menjaga iklim pengolahan industri. Untuk menjaga iklim perekonomian yang menuju 8 persen, 3 persen itu industri sekunder menjadi kontribusi dari industrialisasi pengolahan," ucap Achmad.
Maka dari itu, ia meminta pemerintah jangan terlalu banyak mengeluarkan peraturan atau kebijakan baru.
Bergantung Pada Kondisi Minyak dan Gas Bumi
Ia juga menyebut industri petrokimia Indonesia bergantung pada kondisi minyak dan gas bumi sebagai bahan baku utama.
Untuk menjalankan arah industri yang lebih terukur, maka peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Pertamina dinilai sangat penting.
Achmad mengutarakan bahwa BUMN berperan utamanya dalam mengelola industri di sisi hulu demi menjalankan Refinery Development Master Plan (RDMP).
Menurut catatannya, sejak demokrasi, belum pernah ada BUMN yang ditugaskan oleh pemerintah untuk melakukan penanaman modal dalam negeri secare penuh di sektor hulu, terutama di Pertamina.
"Integrated plan-nya yang disebut RDMP kan. RDMP itu tidak berjalan, kilang tidak jalan, semuanya nggak jalan," tutur Achmad.
Ia mengatakan BUMN seperti Pertamina bisa ditugaskan untuk menjadi bagian daripada penyertaan pemerintah melakukan revolusi industri di dalam hulu.
Ketua Komisi Tetap Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Hari Supriyadi turut berpendapat dalam soal ini.
Ia menilai salah satu regulasi yang diperlukan dunia usaha saat ini adalah keberlanjutan yang jelas dari investasi petrokimia, misalnya kontrak jangka panjang untuk gas.
Pria yang juga Ketua Umum Asosiasi Industri Penghasil Petrokimia Indonesia itu mengatakan, saat ini kontrak gas yang ada itu memiliki durasi pendek.
Dengan kontrak yang berdurasi pendek, Hari pun mempertanyakan bagaimana negara bisa melakukan hilirisasi dan ekspansi.
"Gimana kita bisa hilirisasi, gimana kita bisa ekspansi? Kontrak gas itu cuma lima tahun, nggak bisa. Karena industri petrochemical kan hidupnya harus 20 tahun, investasinya triliunan,” katanya.
Selain persoalan kontrak, ia menilai perlu juga harga gas bumi tertentu (HGBT) yang rata pada semua perusahaan petrokimia.
Ia menyayangkan tidak semua perusahaan merasakan kebijakan HGBT yang sebesar 6 dolar AS per MMBTU. Padahal, industri petrokimia masuk ke dalam tujuh prioritas.
Seharusnya, semua perusahaan yang termasuk dalam industri petrokimia bisa menikmati HGBT. Namun, kata dia, Kementerian ESDM tidak menerapkan itu.
"Untuk penguatan struktur industri, yang perlu memang untuk penguatan salah satunya adalah melakukan integrasi industri hulu dan hilir," kata Wiwik.
"Kami sudah dapat rekomendasi dari Kementerian Perindustrian, tapi di ESDM tidak dieksekusi. Sekarang kan dipilih-pilih yang tertentu," ujar Hari.
"Ada ratusan perusahaan yang sudah direkomendasikan, tapi tidak dapat. Meskipun masuk 7 sektor, tapi enggak bisa dieksekusi ESDM,” lanjutnya.
Menurut Hari, jika industri petrokimia bisa berlari kencang, maka semakin banyak lapangan pekerjaan yang terbuka.
Saat ini di perusahaan besar industri petrokimia bisa menampung ribuan pekerjaan, termasuk yang terikat dalam rantai pasok.
Kalau industri petrokimia tidak bisa terutilisasi 100 persen atau semakin turun, imbasnya akan dirasakan di sektor tenaga kerja.
Industri petrokimia memang bukan padat karya, tetapi kata Hari, tetap akan mempengaruhi sektor tenaga kerja.
Industri petrokimia disebut tetap memiliki rantai pasoknya yang di dalamnya ada berbagai vendor kecil.
"Kalau kita menurun kan mereka juga akan menurun. Jelas berdampak. Jadi rantai pasok yang mungkin terdampak tuh sampai ribuan orang juga,” tukas Hari.
Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian Wiwik Pudjiastuti menyampaikan pemerintah terus mengupayakan strategi agar situasi industri petrokimia bisa lebih kondusif.
Untuk memantau produk impor, misalnya, pemerintah tengah mematangkan instrumen neraca komoditas.
Sistem tersebut diperlukan lantaran produk petrokimia dan turunannya masih didominasi produk impor.
Padahal, industri petrokimia dalam negeri tengah berjuang memperkuat rantai pasok produksi.
Dalam catatan Kementerian Perindustrian, produk petrokimia nasional meliputi olefin memiliki kapasitas produksi mencapai 9,72 juta ton.
Sementara itu untuk produk aromatik 4,61 juta ton serta produk C1 metanol dan turunannya sebesar 980 ribu ton.