TIMESINDONESIA, MALANG – Pemilu di Indonesia sebagai wujud demokrasi dilaksanakan setiap lima tahun, termasuk pemilihan presiden, gubernur, bupati, dan anggota legislatif. Pemilu 2024 menyoroti strategi politik berbasis media sosial, yang digunakan aktor politik untuk menyebarkan ide, membangun citra positif, dan menjangkau pemilih, terutama generasi milenial dan pemilih pemula. Media sosial seperti Instagram menjadi alat utama karena generasi muda lebih aktif di platform ini dibanding media konvensional.
Pemilih pemula memiliki potensi besar dengan jumlah sekitar 14 juta suara. Mereka cenderung mencari informasi politik melalui internet. Aktor politik menggunakan media sosial untuk mengelola citra melalui konten positif berupa foto, video, dan slogan, yang dapat membangun kesan baik di masyarakat. Strategi ini mendukung pencitraan dan menambah simpatisan, meskipun sering kali sulit membedakan antara pencitraan tulus atau sekadar strategi politik.
Observasi terhadap akun Instagram dan TikTok milik Walikota Bengkulu serta Gubernur Bengkulu menunjukkan penggunaan simbol, tagline religius, dan konten berorientasi lokal untuk menarik perhatian khalayak. Media sosial memberikan ruang interaksi langsung melalui komentar dan respons khalayak terhadap aktivitas politik yang dipublikasikan.
Namun, perbedaan antara "panggung depan" dan "panggung belakang" menunjukkan bahwa citra yang ditampilkan di media sosial tidak selalu mencerminkan realitas. Media sosial berperan penting dalam membentuk opini publik, memengaruhi persepsi pemilih, dan menyebarkan pesan politik, baik positif maupun negatif.
Hasil survei kepada pemilih pemula di Universitas Muhammadiyah Bengkulu mengonfirmasi dominasi penggunaan media sosial sebagai sumber informasi utama tentang aktor politik. Media sosial, terutama Instagram, dianggap efektif dalam membangun hubungan dengan generasi muda.
Penelitian menemukan bahwa presentasi diri aktor politik di panggung depan merupakan proses yang sangat terencana. Panggung depan (front stage) di kehidupan nyata, aktor politik menggunakan elemen penampilan, setting, dan interaksi dengan audiens untuk membangun kesan atau impression manajemen sebagai pemimpin yang diinginkan. Panggug depan (front stage) di media sosial, presentasi diri bukan sekadar ekspresi spontan, melainkan upaya kolektif terorganisir dengan melibatkan "kru panggung" yang membantu mentransformasi ide dan gagasan dari aktor politik.
Media sosial telah menciptakan panggung baru dengan karakteristik unik, memberikan kontrol lebih besar atas narasi melalui seleksi konten, memungkinkan interaksi langsung dengan audiens, dan kemampuan menyebarkan pesan secara luas dan cepat. Sementara itu, di panggung belakang (back stage), aktor politik menanggalkan semua simbol dan atribut politiknya, berinteraksi dengan audiens yang tidak terkait dengan dunia politik. Penelitian ini juga Memperhatikan hasil penelitian, temuan penelitian, dan kerangka teori presentasi diri dari Erving Goffman, maka dapat disusun proposisi sebagai berikut:
1. Aktor politik menggunakan platform Media Sosial sebagai panggung depan digital untuk mengelola dan mengontrol kesan publik secara strategi sesuai dengan norma sosial yang berlaku.
2. Terdapat 2 panggung depan (front stage) aktor politik yaitu pada saat panggung depan di real life yang di setting secara sendiri oleh aktor politik dan panggung depan di media sosial membutuhkan tim atau ”kru panggung” untuk mengelola kesan yang di kehendaki oleh aktor politik.
3. Perluasan wilayah presentasi diri aktor politik dari public sphere yang kemudian di perkuat melalui virtual sphere adalah upaya untuk lebih memperkuat manajemen kesan citra diri aktor politik secara berkelajutan dengan tanpa batas ruang dan waktu.
Penelitian ini menghasilkan beberapa implikasi teoritis penting. Pertama, memperluas konsep panggung depan Goffman dengan menghadirkan ruang virtual. Kedua, menunjukkan kompleksitas manajemen kesan di dua ranah berbeda. Ketiga, mengungkap peran signifikan "kru panggung" dalam presentasi diri digital. Terakhir, penelitian ini mencatat pergeseran fundamental dari ruang publik tradisional ke ruang virtual, yang membawa implikasi mendalam pada cara wacana politik terbentuk di era digital.
***
*) Oleh: Hafri Yuliani, Mahasiswa Program Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id