TRIBUNNEWS.COM - Biaya jasa atau administasi Quick Response Indonesia Standard (QRIS) dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen mulai 2025 mendatang.
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) menjelaskan, nantinya, PPN pada jasa komisi QRIS dikenakan atas Merchant Discount Rate (MDR) yang dibayar merchant kepada RSJP.
Adapun, MDR QRIS adalah biaya jasa yang dikenakan kepada merchant atau penjual oleh Penyelenggara Jasa Pembayaran (PJP) saat bertransaksi menggunakan QRIS.
Dengan demikian, berarti biaya MDR itu akan ditanggung oleh merchant atau penjual dan tidak boleh dibebankan kepada konsumen.
Mengacu aturan Bank Indonesia yang berlaku sejak 1 September 2023, tarif MDR QRIS sebesar 0,3 persen bagi usaha mikro untuk transaksi di atas Rp 100.000, sedangkan untuk usaha kecil, menengah, dan besar sebesar 0,7 persen.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti mengatakan, transaksi menggunakan QRIS adalah bagian dari jasa sistem pembayaran, jadi bukan hal yang baru.
"Perlu kami tegaskan bahwa pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik sudah dilakukan sejak berlakunya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang berlaku sejak 1 Juli 1984, artinya bukan objek pajak baru,” ujarnya, dikutip dari keterangan tertulis pada Minggu (22/12/2024).
Menurutnya, UU PPN tersebut telah diperbarui dalam Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Selain QRIS, aturan PPN 12 persen ini juga berlaku untuk biaya layanan pada uang elektronik (e-money), dompet elektronik (e-wallet), gerbang pembayaran, switching, kliring, penyelesaian akhir, dan transfer dana.
PPN berlaku untuk biaya layanan yang dibebankan kepada penyelenggara, seperti biaya layanan registrasi, pengisian ulang saldo (top-up), pembayaran transaksi, transfer dana, dan tarik tunai untuk uang elektronik.
Begitu juga dengan layanan dompet elektronik yang termasuk biaya pembayaran tagihan dan paylater.
Sementara itu, nilai uang elektronik, termasuk saldo, bonus poin, reward point, dan transaksi transfer dana murni, tidak dikenakan PPN.
Dwi lantas mencontohkan ilustrasi pengenaan PPN 12 persen pada jasa atas transaksi uang elektronik dan dompet digital.
(1) Zain mengisi ulang (top up) uang elektronik sebesar Rp1.000.000.
Biaya top up misalnya Rp1.500, maka PPN dihitung sebagai berikut:
11 persen x Rp1.500 = Rp 165.
Dengan kenaikan PPN 12 persen, maka PPN dihitung menjadi sebagai berikut:
12 persen x Rp1.500 = Rp180.
Jadi, kenaikannya PPN sebesar 1 persen hanya Rp 15.
(2) Slamet mengisi dompet digital atau e-wallet sebesar Rp500.000.
Biaya pengisian dompet digital atau e-wallet misalnya Rp1.500, maka PPN dihitung sebagai berikut:
11 persen x Rp1.500 = Rp165.
Dengan kenaikan PPN 12 persen, maka PPN dihitung menjadi sebagai berikut:
12 persen x Rp1.500 = Rp180.
"Artinya, berapapun jumlah nominal transaksi sepanjang jasa layanan yang dibebankan oleh provider tidak mengalami perubahan, maka jumlah PPN yang dibayar akan tetap sama," ujar Dwi.
Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah mengumumkan kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menuturkan, terdapat kebijakan PPN 12 persen yang akan dikenakan khusus untuk barang mewah yang sebelumnya dibebaskan PPN.
Penyesuaian tarif PPN akan dikenakan bagi barang dan jasa yang dikategorikan mewah dan dikonsumsi masyarakat mampu.
Barang-barang tersebut di antaranya, kelompok makanan berharga premium, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan yang berstandar internasional yang berbayar mahal.
Berikut daftar barang dan jasa yang kena dan bebas PPN 12 persen:
Daftar Barang dan Jasa yang Kena PPN 12 Persen
Daftar Barang yang Kena PPN 11 Persen mulai 1 Januari 2025
Daftar Barang dan Jasa yang Bebas PPN 12 Persen
(Rifqah/Dennis Destyawan/Endrapta Ibrahim)