JAKARTA - Wakil Ketua Umum DPP
Partai Perindo , Manik Marganamahendra, menyampaikan pendapatnya terkait rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, yang menurutnya perlu dikaji ulang. Meskipun kenaikan PPN ini telah tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, namun tetap ada celah di dalamnya yang seharusnya bisa dilakukan langkah bijaksana oleh pemerintah.
Hal ini mengingat kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih menghadapi tantangan besar, ditambah dengan fakta bahwa 57,95% atau mayoritas pekerja di Indonesia bekerja di sektor informal. Kenaikan PPN ini justru dapat berdampak buruk pada daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Manik menjelaskan bahwa analisis yang dilakukan oleh LPEM FEB UI mengungkapkan bahwa kenaikan PPN akan berdampak lebih berat pada rumah tangga miskin. Jika kenaikan PPN 12% tetap dilaksanakan, rumah tangga dengan penghasilan rendah akan terbebani secara tidak proporsional, yang bisa memperburuk ketimpangan sosial yang sudah ada.
"Selain itu, kelas menengah yang tidak mendapatkan proteksi sosial memadai dari kebijakan pemerintah, seperti bansos untuk masyarakat miskin atau tax holiday untuk perusahaan besar, akan semakin terdesak. Mereka akan merasakan penurunan daya beli yang signifikan. Ini dapat mengarah pada penurunan konsumsi dan melambatnya laju pertumbuhan ekonomi," ujar Manik dalam keterangan tertulis, Selasa (24/12/2024).
Menurutnya, politik pajak merupakan isu yang sangat krusial dan sensitif. Pajak adalah uang yang dibayar masyarakat kepada negara, dan masyarakat harus merasakan manfaat dari kontribusinya tersebut.
Meskipun daftar barang yang dikenakan PPN 12% disebut hanya mencakup barang mewah, kenyataannya banyak produk yang digunakan oleh masyarakat umum, seperti kuota internet, bensin, dan produk lainnya, tetap terkena dampak dari kebijakan ini. Hal ini, lanjutnya, akan sangat membebani kelas menengah, termasuk di antaranya adalah generasi Z yang juga terdampak.
"Momentum kenaikan PPN ini sangat tidak tepat. Menurut BPS ada sekitar 9,5 juta orang dari kelompok kelas menengah terdegradasi menjadi kelas bawah sejak 2019 hingga 2024. Kelas menengah, yang memiliki pengeluaran berkisar Rp. 2.040.262 hingga Rp. 9.909.845 per kapita per bulan, kini semakin tertekan. Sebaliknya, kelompok masyarakat yang berpotensi naik kelas atau ‘aspiring middle class’ justru hanya memiliki pengeluaran antara Rp874.398 hingga Rp.2.040.262 per kapita per bulan dan kesulitan untuk bisa naik kelas ekonominya," tambah Manik.
Sebagai partai yang peduli terhadap kesejahteraan rakyat, Partai Perindo menekankan bahwa pajak harus dilaksanakan dengan prinsip keadilan dan tidak membebani kelompok yang paling rentan. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan pajak sejalan dengan peningkatan layanan dan fasilitas publik yang lebih baik bagi masyarakat.
"Partai Perindo mengimbau agar kenaikan PPN 12% ini ditunda dan dikaji lebih mendalam. Pemerintah perlu kebijaksanaan dan memastikan bahwa kebijakan pajak yang diambil tidak merugikan kelompok masyarakat yang paling membutuhkan dan dapat menstabilkan ekonomi negara secara keseluruhan," tambah Manik.
“Bagi kami mendukung pemerintah memang harus dilakukan. Tapi demikian, sebagai institusi Partai Politik yang sudah semestinya mendengarkan aspirasi masyarakat, penting juga bagi kami menyampaikan ini sebagai bentuk kritik konstruktif pemerintahan agar mengambil sebijak-bijaknya kebijakan.” tutup Manik.