Selama periode tahun 2024 Kejaksaan Agung berhasil mengungkap rentetan kasus korupsi besar yang merugikan keuangan negara mencapai triliunan rupiah.
Tercatat setidaknya ada lima kasus korupsi yang selama 2024 ini berhasil diungkap oleh Kejagung RI, berikut adalah rangkumannya:
Kasus korupsi tata niaga komoditas timah yang merugikan negara mencapai Rp 300 triliun tercatat menjadi salah satu perkara besar yang ditangani oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia pada tahun 2024 ini.
Selain menimbulkan kerugian negara sangat besar, kasus tersebut juga mendapat sorotan publik lantaran menyeret nama Harvey Moeis yang dimana merupakan suami dari artis tanah air, Sandra Dewi.
Terbaru, perkara yang berhasil diungkap Kejagung pada Maret 2024 ini kembali menuai perhatian setelah Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis lebih ringan daripada tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap Harvey Moeis.
Dalam sidang vonis yang digelar Senin 23 Desember 2024 lalu, Harvey divonis 6,5 tahun penjara oleh Hakim Ketua Eko Aryanto.
Vonis ini lebih rendah setengahnya ketimbang tuntutan jaksa yang meminta agar Harvey dijatuhi hukuman selama 12 tahun penjara.
Harvey terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke1 KUHAP.
Selain itu Harvey juga dianggap Hakim Eko terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke1 KUHP.
Sementara berdasarkan dakwaan Jaksa, Harvey berperan mengkoordinir pengumpulan uang pengamanan dari para perusahan smelter swasta di Bangka Belitung.
Perusahaan smelter yang dimaksud ialah: CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa.
"Terdawa Harvey Moeis dengan sepengetahuan Suparta selaku Direktur Utama PT Refined Bangka Tin dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT Refined Bangka Tin meminta kepada CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa untuk melakukan pembayaran biaya pengamanan kepada terdakwa Harvey Moeis sebesar USD 500 sampai dengan USD 750 per ton," ujar jaksa penuntut umum di persidangan.
Uang pengamanan tersebut diserahkan para pemilik smelter dengan cara transfer ke PT Quantum Skyline Exchage milik Crazy Rich Pantai Indah Kapuk (PIK), Helena Lim.
Selain itu, uang pengamanan juga ada yang diserahkan secara tunai kepada Harvey Moeis.
Seluruh uang yang terkumpul, sebagian diserahkan Harvey Moeis kepada Direktur Utama PT Refined Bangka Tin, Suparta. Sedangkan sebagian lainnya, digunakan untuk kepentingan pribadi Harvey Moeis.
"Bahwa uang yang sudah diterima oleh terdakwa Harvey Moeis dari rekening PT Quantum Skyline Exchange dan dari penyerahan langsung, selanjutnya oleh terdakwa Harvey Moeis sebagian diserahkan ke Suparta untuk operasional Refined Bangka Tin dan sebagian lainnya digunakan oleh terdakwa Harvey Moeis untuk kepentingan terdakwa," kata jaksa penuntut umum.
Tak hanya terhadap Harvey, dalam sidang tersebut Hakim juga menjatuhkan vonis terhadap dua petinggi perusahaan smelter swasta PT Refined Bangka Tin (RBT) yakni Suparta dan Reza Andriansyah.
Suparta yang merupakan Direktur Utama PT RBT hanya dijatuhi vonis 8 tahun yang dimana lebih rendah 7 tahun dari tuntutan Jaksa yakni 12 tahun penjara.
Sedangkan Reza divonis 5 tahun oleh Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Selain ketiga terdakwa ini, sebelumnya tiga terdakwa lain juga telah menjalani sidang vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta yakni mantan Kepala Dinas ESDM Provinsi Bangka Belitung.
Mereka adalah Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung 2021 sampai 2024, Amir Syahbana, Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung 2015 sampai Maret 2019, Suranto Wibowo dan Plt Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung Maret 2019 Rusbani alias Bani.
Ketiga terdakwa itu telah divonis Majelis hakim yakni Amir Syahbana dan Suranto dijatuhi hukuman 4 tahun sedangkan Rusbani divonis 2 tahun penjara.
Tak hanya para terdakwa diatas, namanama seperti Crazy Rich Pantai Indah Kapuk (PIK) Helena Lim, dan dua mantan petinggi PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Emil Ermindra serta MB Gunawan selaku Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa.
Berikut adalah Terdakwa Kasus Timah yang Telah Divonis;
Perwakilan PT Refined Bangka Tin (RBT) Harvey Moeis divonis 6,5 tahun penjara, denda Rp 1 miliar dan pidana pengganti berupa uang pengganti Rp 210 miliar Direktur Utama PT RBT Suparta Divonis 8 Tahun Penjara, Denda Rp 1 Miliar dan Uang Pengganti Rp 4,5 Triliun Direktur Pengembangan Usaha PT RBT Reza Andriansyah Divonis 5 Tahun Penjara dan Denda Rp 750 juta Kadis ESDM Babel Periode 2021 sd 2024 Amir Syahbana Divonis 4 Tahun, Denda Rp 100 juta dan Uang Pengganti Rp 325 Juta Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung 2015 sampai Maret 2019, Suranto Wibowo Divonis 4 Tahun dan Denda Rp 100 juta Plt Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung Maret 2019 Rusbani alias Bani Divonis 2 Tahun Penjara dan Denda Rp 50 juta General Manager Operasional PT Tinindo Internusa, Rosalina Divonis 4 Tahun Penjara dan Denda Rp 750 juta Komisaris PT Stanindo Inti Perkasa Suwito Gunawan Divonis 8 Tahun Penjara, Denda Rp 1 miliar dan Uang Pengganti Rp 2,2 Triliun Direktur Utama PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS) Robert Indarto Divonis 8 Tahun Penjara, Denda Rp 1 Miliar dan Uang Pengganti Rp 1,9 Triliun Pengusaha Toni Tamsil alias Akhi Divonis 3 Tahun Penjara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pangkal Pinang
Sementara terdakwa yang masih menunggu putusan hakim yakni; Crazy Rich PIK Sekaligus Pemilik Money Changer PT Quantum Skyline Exchange Helena Lim Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani Direktur Keuangan PT Timah Tbk Emil Ermindra Beneficial Owner CV Venus Inti Perkasa (VIP) Tamron Alias Aon Direktur Utama CV VIP Hasan Tjie Komisaris CV VIP Kwang Yung Alias Buyung dan Manajer Operasional CV VIP Achmad Albani
Tersangka yang Masih Menunggu Persidangan;
• Mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bambang Gatot Aryono; • Eks Plt Kadis ESDM Bangka Belitung, Supianto;• Direktur Operasional tahun 2017, 2018, 2021 sekaligus Direktur Pengembangan Usaha tahun 2019 sampai dengan 2020 PT Timah, Alwin Albar (ALW); dan• Owner PT Tinindo Inter Nusa (TIN), Hendry Lie (HL).
Adapun kasus kedua yang menarik perhatian yakni korupsi rekayasa jual beli emas sebanyak 1 ton yang melibatkan Crazy Rich asal Surabaya yakni Budi Said dan mantan General Manager PT Antam Abdul Hadi Aviciena.
Dari hasil penyidikan, terungkap bahwa Abdul Hadi memanfaakan jabatannya sebagai General Manager Antam untuk berkongkalikong dengan Budi Said terkait pembelian emas 1,136 ton.
Pembelian itu dilakukan di luar mekanisme legal yang telah diatur, sehingga dibuat seolaholah ada diskon yang diberikan Antam.
"Dimaksudkan untuk mendapatkan kemudahan, memutus pola, kontrol dari Antam terhadap keluarmasuknya daripada logam mulia dan termasuk di dalamnya untuk mendapatkan seolaholah harga diskon yang diberikan oleh Antam," kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejaksaan Agung, Kuntadi, Jumat (2/2/2024) lalu.
Kemudian untuk menutupi stok emas yang tercatat resmi di Antam, AHA diduga berperan membuat laporan fiktif.
Perbuatan mereka dalam perkara ini dianggap merugikan negara hingga Rp 1,2 triliun.
"Telah melakukan permufakatan jahat merekayasa transaksi jualbeli emas, menetapkan harga jual di bawah yang ditetapkan PT Antam seolaholah ada diskon dari PT Antam. Akibatnya PT Antam merugi 1,136 ton logam mulia atau setara 1,2 triliun," ujar Kuntadi.
Karena perbuatan itu, mereka dijerat Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jucto Pasal 55 Ayat 1 ke1 KUHP.
Setelah kasusnya di limpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta, Budi dan Abdul Hadi kini tinggal menunggu vonis dari Majelis hakim setelah sebelumnya telah dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum masingmasing 16 tahun dan 7 tahun penjara.
Selain mereka berdua, terdapat pihak lain yang turut terlibat dalam perkara ini yakni Eksi Anggraeni selaku broker utusan Budi Said, dan beberapa oknum pegawai PT Antam yakni Kepala BELM Surabaya 01 Antam bernama Endang Kumoro, General Trading Manufacturing and Service Senior Officer bernama Ahmad Purwanto, dan tenaga administrasi BELM Surabaya 01 Antam bernama Misdianto.
Perkara selanjutnya yang juga menggemparkan publik yakni kasus suap yang melibatkan 3 Hakim Pengadilan Negeri Surabaya yakni Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo.
Adapun kasus suap terhadap ketiga Hakim itu terkait vonis bebas terdakwa Ronald Tannur dalam perkara pembunuhan terhadap Dini Sera Afrianti yang tak lain merupakan kekasih Ronald Tannur.
Ketiga Hakim yang kini sudah berstatus sebagai terdakwa menerima suap dari pengacara Ronald Tannur Lisa Rahmat.
"Setelah dilakukan pemeriksaan pada hari ini, Jaksa penyidik pada Jampidsus menetapkan 3 orang hakim atas nama ED, HH dan M serta pengacara LR sebagai tersangka," kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Abdul Qohar dalam jumpa pers di Gedung Kejagung RI, Jakarta, Rabu (23/10/2024) lalu.
Lebih jauh Qohar menuturkan, penetapan tersangka terhadap 4 orang ini setelah Jaksa Penyidik menemukan adanya dua alat bukti yang kuat pasca lakukan penggeledahan di Surabaya dan Jakarta.
Dari penggeledahan itu empat tersangka terindikasi melakukan tindak pidana korupsi berupa penyuapan sehubungan dengan vonis kasus penganiayaan yang dilakukan Ronnald Tannur di Pengadilan Negeri Surabaya.
"Dalam perkara ini terdakwa Ronald Tannur telah diputus bebas oleh ED, HH dan M," ucap Qohar.
Kemudian lanjut Qohar penyidik menemukan adanya indikasi kuat bahwa pembebasan Ronald Tannur di PN Surabaya itu setelah ketiga hakim menerima suap dari pengacara Ronald yakni LR.
"Penyidik menemukan adanya indikasi yang kuat bahwa pembebasan atas terdakwa Ronald Tannur tersebut diduga ED, HH dan M menerima suap dan gratifikasi dari pengacara LR. Jadi saya rasa cukup jelas," jelasnya.
Khusus terhadap 3 Hakim, mereka telah menjalani sidang perdana berupa pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Selasa 24 Desember 2024 lalu.
Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum menilai bahwa ketiga hakim tersebut telah menerima suap senilai Rp 1 miliar dan dan SGD 308.000 atau Rp 3,6 miliar terkait kepengurusan perkara Ronald Tannur.
Masih dalam perkara yang melibatkan Ronald Tannur. Dalam pengembangannya, penyidik Jampdisus pada Kejaksaan Agung juga mengungkap adanya keterlibatan eks Pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar dan pengacara Ronald Tannur, Lisa Rahmat.
Zarof yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka diduga menjadi perantara untuk mengurus kasasi Ronald Tannur di Mahkamah Agung terkait vonis bebas yang sebelumnya dijatuhkan di Pengadilan Negeri Surabaya.
Dalam konferensi pers beberapa waktu lalu, Direktur Penyidikan pada Jampdisus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan, adapun pemufakatan jahat yang dimaksud yaitu antara Zarof dan Lisa mencoba menyuap Hakim pada tingkat kasasi yang mengadili perkara Ronald dengan memberikan uang Rp 5 miliar.
Dari persekongkolan itu Lisa menjanjikan uang senilai Rp 1 miliar kepada Zarof sebagai bentuk fee.
"LR meminta ZR agar ZR mengupayakan Hakim Agung tetap menyatakan Ronald Tannur tidak bersalah dalam keputusan kasasinya," ungkap Qohar.
"Dan LR menyampaikan kepada ZR akan menyiapkan uang atau dana sebesar Rp 5 miliar untuk Hakim agung dan untuk ZR akan diberikan fee sebesar Rp 1 Miliar atas jasanya," lanjutnya.
Qohar menyebutkan bahwa uang Rp 5 miliar itu rencananya akan diberikan untuk tiga hakim agung yang menangani kasasi Ronald Tannur yakni insial S, A dan S.
Terkait hal ini berdasarkan pengakuan Zarof, Qohar menyebutkan bahwa tersangka mengaku telah bertemu dengan salah seorang hakim di MA.
Akan tetapi kata dia uang miliaran tersebut belum sempat diberikan kepada hakim tersebut.
"Belum (menyerahkan uang) namanya saja pemufakatan jahat. (Tapi) apakah betul ketemu atau tidak ini yang kami dalami," jelasnya.
Kemudian selain Zarof, Kejagung juga menetapkan Lisa sebagai tersangka dalam perkara pemufakatan suap ini.
Selain pemufakatan suap, dalam hasil penyidikan kasus tersebut, penyidik Kejagung juga menemukan fakta bahwa Zarof selama ini juga menjadi makelar kasus saat menjabat di Mahkamah Agung periode 2012 hingga 2022.
Hal itu diketahui berdasarkan temuan barang bukti berupa uang hampir Rp 1 triliun yakni Rp 920.912.303.714 atau Rp 920,9 Miliar dan beberapa bukti lainnya berupa emas antam seberat 51 kilogram.
Hanya saja dalam kasus ini, Kejagung belum menentukan status hukum terhadap Zarof Ricar lantaran proses penyelidikan masih dilakukan.
Kejaksaan Agung menetapkan Menteri Perdagangan periode 16 Agustus 2015 hingga 27 Juli 2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong sebagai tersangka kasus dugaan Impor gula di Kementerian Perdagangan.
Dalam kasus ini Tom Lembong bersama Direktur PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) inisial CS diduga merugikan negara sebesar Rp400 miliar.
"Kerugian negara akibat perbuatan importasi gula yang tidak sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku, negara dirugikan kurang lebih Rp 400 miliar," ucap Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa (29/10/2024) malam.
Dijelaskan Abdul Qohar, Tom Lembong diduga memberikan izin kepada PT AP untuk mengimpor gula kristal mentah sebesar 105.000 ton pada 2015.
Padahal, saat itu Indonesia sedang surplus gula sehingga tidak membutuhkan impor.
"Akan tetapi di tahun yang sama, yaitu tahun 2015 tersebut, menteri perdagangan yaitu Saudara TTL memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP yang kemudian gula kristal mentah tersebut diolah menjadi gula kristal putih," kata Qohar.
Selain itu, Qohar menyatakan, impor gula yang dilakukan PT AP tidak melalui rapat koordinasi (rakor) dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari kementeriankementerian guna mengetahui kebutuhan riil.
Tak hanya itu, perusahaan yang dapat mengimpor gula seharusnya hanya BUMN.
Sementara itu, CS diduga mengizinkan delapan perusahaan swasta untuk mengimpor gula. PT PPI kemudian seolah membeli gula tersebut.
Padahal, delapan perusahaan itu telah menjual gula ke pasaran dengan harga Rp 16.000 per kilogram atau lebih mahal dibandingkan Harga Eceran Tertinggi (HET) saat itu Rp 13.000 per kilogram. CS diduga menerima fee dari delapan perusahaan itu.
"Dari pengadaan dan penjualan gula kristal mentah yang telah diolah jadi gula kristal putih PT PPI dapat fee dari delapan perusahan yang impor dan mengelola gula tadi sebesar Rp 105 per kilogram," ujar Qohar.
Usai ditetapkan sebagai tersangka, Tom Lembong sempat mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menguji sah atau tidaknya status hukum yang dijatuhkan oleh Kejagung itu.
Namun pada akhirnya gugatan praperadilan Tom Lembong itu ditolak oleh Hakim Tunggal Tumpanuli Marbun.
Dalam amar putusannya, Hakim menilai bahwa penetapan tersangka yang dilakukan Kejagung terhadap Tom Lembong adalah sah.
"Menimbang pertimbangan di atas maka alasan penahanan yang didalilkan pemohon oleh termohon tidak sah. Tidak berdasarkan hukum oleh karenanya harus ditolak," kata hakim Marbun di persidangan PN Jakarta Selatan, Selasa (26/11/2024).