TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Aksi Kamisan dan Suporter Semarang Melawan mengecam tindakan intimidasi kepolisian terhadap korban penembakan peluru karet berinisial WDA saat aksi damai di Stadion Jatidiri Semarang pada, Minggu (22/12/2024).
Kepolisian mengintimidasi korban supaya mengaku tidak tertembak peluru karet.
Korban kemudian dijanjikan akan ditanggung biaya rumah sakitnya.
Koordinator Aksi Kamisan Semarang, Fathul Munif mengatakan, suporter ini didatangi polisi ketika di RS Roemani Semarang.
"Kepolisian datang ke rumah sakit menawarkan untuk membayari biaya pengobatan, tapi syaratnya mau mengakui bahwa luka itu berasal dari pecahan keramik, bukan ditembak peluru karet," katanya selepas aksi di depan Mapolda Jateng, Kamis (26/12/2024) sore.
Menurutnya, intervensi dari kepolisan untuk merekayasa bahwa luka yang diterima korban dari peluru karet menjadi luka pecahan keramik adalah bagian manipulasi atau mengaburkan peristiwa sebenarnya.
Kepolisian sama sekali tidak belajar dan membenahi diri.
Mereka masih menggunakan pola-pola lama yakni dengan cara replikasi yang dilakukan terus menerus dengan mengaburkan fakta kejadian.
Kemudian polisi juga terus menggunakan masalah kekerasan untuk menangani massa aksi yakni dengan gas air mata dan peluru karet.
"Suporter tegas menolak tawaran polisi dan tetap menyuarakan bahwa luka yang diterima adalah peluru karet."
"Kami tidak bisa menerima arahan untuk memberi keterangan palsu," terangnya.
Kronologi Suporter Ditembak Peluru Karet
Polisi menembak suporter terjadi di Stadion Jatidiri Semarang pada Minggu (22/12/2024) sore.
Kala itu, suporter melakukan aksi boikot dengan tidak menonton pertandingan antara PSIS Semarang Vs Malut United.
Pada duel itu, PSIS Semarang keok 1-3.
Perwakilan Suporter Semarang Melawan, Ragil menuturkan, aksi damai tersebut dilakukan dengan melakukan orasi, teatrikal, dan main bola.
Tuntutan dalam aksi yaitu pecat Yoyok Sukawi sebagai CEO PSIS Semarang.
"Ketika pertandingan di dalam stadion selesai, kami yang berada di pintu gerbang ditembaki polisi menggunakan gas air mata dan water canon, sehingga massa aksi bubar," jelasnya.
Namun ternyata ada suporter yang menjadi korban dengan total sebanyak enam orang.
Belum termasuk ratusan korban lainnya yang terpapar gas air mata.
Ragil merinci, keenam korban terdiri dari satu orang terkena peluru karet.
Sisanya kaki memar, pingsan sampai mulut berbusa dan lainnya.
"Itu yang terdata, korban yang tidak terdata lebih banyak," jelasnya.
Menanggapi soal isu bahwa korban terkena keramik, Ragil membantahnya.
Menurutnya, keterangan dari korban bahwa itu memang peluru karet dan memang dari pendamping yang mengantarkan ke rumah sakit menyebut terdapat lubang di sebelah tangan bagian kiri.
"Tidak mungkin kalau itu luka dari keramik," ujarnya.
Ragil menyebut, ratusan suporter yang terkena dampak dari gas air mata tidak terdata.
Mereka cenderung menormalisasi kejadian tersebut karena terbiasa mendapat represif dari aparat.
"Kami kesulitan mendata dan melakukan advokasi," bebernya.
Kendati begitu, pihaknya berusaha mendata lalu mengirimkan data itu ke beberapa lembaga yang menangani korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
"Salah satunya mungkin Komisi Untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) karena salah satu jaringan hubungkan ke sana," tandasnya.
Di sisi lain, Tribunjateng.com telah mengkonfirmasi kejadian tersebut kepada Kapolrestabes Semarang Kombes Pol Irwan Anwar dan Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Artanto melalui pesan singkat dan sambungan telepon.
Namun, konfirmasi tersebut sampai sekarang belum direspon. (*)