TRIBUNNEWS.COM - Cucu perempuan dan menantu Rifaat Al-Assad (paman Bashar al-Assad) diselidiki akibat mencoba bepergian menggunakan paspor palsu di Lebanon.
Shams Duraid Rifaat al-Assad dan ibunya, Rasha Khazem, ditangkap di Bandara Internasional Rafik Hariri, Beirut, pekan lalu.
Awalnya, Shams dan Rasha mencoba melakukan perjalanan ke Kairo.
Namun sesampainya di Bandara Beirut, Shams dan Rasha ditahan karena menggunakan paspor yang diduga palsu.
Kasus ini memicu aksi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah Suriah yang baru di Damaskus.
Atas dugaan ini, pemerintah Suriah yang baru segera menangguhkan layanan konsuler di kedutaan besar Suriah di Beirut.
Pemerintah baru Suriah menduga bahwa mereka terlibat atas dugaan paspor palsu ini, dikutip dari Asharq Al-Aawsat.
Langkah ini diikuti dengan pembukaan resmi untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam pemalsuan dokumen.
Menurut sumber dari Keamanan Umum Lebanon, penyelidikan awal diungkapkan langsung oleh Hakim Penuntut Umum Jamal Hajjar.
Setelah selesai, kasus tersebut dirujuk ke kejaksaan umum di Gunung Lebanon.
Shams dan Rasha didakwa atas kepemilikan serta penggunaan dokumen resmi palsu.
Ancaman hukuman atas dakwaan ini berkisar antara dua bulan hingga tiga tahun penjara.
Namun hakim ketua akan menentukan berapa lama mereka akan ditahan.
Dalam penyelidikan, Shams dan Rasha mengaku memasuki Lebanon melalui perbatasan ilegal hanya beberapa jam setelah rezim Bashar al-Assad runtuh pada 8 Desember.
Keduanya mengklaim tidak dapat memperbarui paspor mereka yang telah berakhir, sehingga terpaksa menggunakan dokumen palsu.
Sementara itu, Duraid al-Assad, ayah Shams, dilaporkan berhasil melakukan perjalanan ke Kairo beberapa jam sebelum penangkapan mereka.
Rifaat al-Assad, kakek Shams, juga diketahui telah melakukan perjalanan dari Beirut ke Uni Emirat Arab menggunakan paspor yang masih berlaku.
Namun Rifaat dan Duraid tidak diperiksa oleh otoritas Lebanon dan tidak ada surat perintah internasional untuk penangkapan mereka.
Sebagai informasi, Rifaat Al-Assad merupakan mantan wakil presiden di bawah saudaranya Hafez al-Assad.
Ia telah menghadapi tuntutan internasional atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pembunuhan dan penyiksaan, yang dilakukan lebih dari empat dekade lalu, dikutip dari Middle East Monitor.
Pada tahun 1984, ia mencoba merebut kekuasaan.
Saat itu bertepatan ketika Hafez sedang jatuh sakit.
Karena tak berhasil, Rifaat melarikan diri dan mengasingkan diri ke Prancis.
Pada tahun 2021, Rifaat dihukum di Prancis karena korupsi dan penggunaan dana negara Suriah secara ilegal, dan dijatuhi hukuman penjara empat tahun.
Pada tahun yang sama, media pro-Assad mengklaim bahwa ia kembali ke Damaskus atas izin Bashar al-Assad, yang kabarnya karena "pengampunan."
Akan tetapi sejak saat itu, keberadaan pasti Rifaat tidak dapat diketahui.
Sebagai informasi, pasukan rezim Assad dan kelompok antirezim kembali bentrok pada 27 November 2024.
Bentrokan antara 2 kelompok ini terjadi di daerah pedesaan sebelah barat Aleppo, kota besar di Suriah utara.
Bentrokan ini terjadi selama 10 hari.
Kelompok pemberontak melancarkan berbagai serangan hingga merebut kota-kota penting di Suriah.
Puncaknya terjadi pada Minggu (8/12/2024) ketika oposisi yang didukung oleh unit-unit militer yang membelot menyebabkan rezim Assad runtuh setelah perang saudara selama 14 tahun.
Setelah digulingkan, Assad dilaporkan kabur dari Suriah dan berada di Moskow setelah mendapat tawaran suaka dari Rusia.
Hal tersebut dilaporkan oleh kantor berita Rusia, Interfax pada Minggu (8/12/2024).
Tak sendiri, Assad dikabarkan kabur dari Suriah bersama keluarganya.
Kabar tersebut dikonfirmasi oleh juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov.
Peskov mengatakan Assad telah diberi suaka di Rusia, dan mengatakan keputusan itu dibuat oleh Presiden Vladimir Putin.
(Farrah)