TRIBUNNEWS.COM – Penguasa baru Suriah menunjuk Maysaa Sabrine, yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Gubernur Bank Sentral Suriah, untuk memimpin lembaga tersebut, lapor Al Jazeera.
Maysaa Sabrine menjadi wanita pertama yang menduduki posisi Gubernur Bank Sentral Suriah dalam sejarah 70 tahun tersebut.
Dengan pengalaman lebih dari 15 tahun di bidang perbankan, Sabrine adalah pejabat senior yang telah lama bekerja di bank sentral, sebagian besar berfokus pada pengawasan sektor perbankan Suriah.
Sabrine meraih gelar master di bidang akuntansi dari Universitas Damaskus dan memiliki sertifikasi sebagai akuntan publik.
Ia menjadi anggota dewan direksi Bursa Efek Damaskus sejak Desember 2018, mewakili Bank Sentral Suriah.
Sabrine juga pernah menjabat sebagai Wakil Gubernur dan Kepala Divisi Pengawasan di bank tersebut, menurut situs web resmi lembaga itu.
Sabrine menggantikan Mohammed Issam Hazime, yang diangkat menjadi Gubernur Bank Sentral pada tahun 2021 oleh Presiden Bashar al-Assad, yang kini telah digulingkan.
Dalam pemerintahan baru Suriah, yang dipimpin oleh pemimpin de facto Ahmad al-Sharaa, Sabrine adalah wanita kedua yang ditunjuk untuk menduduki jabatan tinggi.
Sebelumnya, al-Sharaa telah menunjuk Aisha al-Dibs sebagai Kepala Kantor Urusan Perempuan.
Mengutip Anadolu Agency, al-Dibs, yang sebelumnya bekerja di bidang bantuan kemanusiaan, menyebut dirinya sebagai seorang aktivis yang berfokus pada pemberdayaan perempuan dan pekerjaan kemanusiaan.
Aisha al-Dibs mengatakan bahwa pemerintahan baru Suriah akan memungkinkan perempuan untuk berkontribusi dalam pembangunan kembali negara yang telah porak-poranda akibat konflik yang berlangsung selama lebih dari satu dekade.
Dalam wawancara dengan Al Jazeera dari Damaskus pada Minggu (22/12/2024), al-Dibs mengatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk melibatkan perempuan Suriah dalam lembaga sosial, budaya, dan politik.
Pemerintah juga akan merekrut perempuan yang memenuhi syarat untuk bekerja di sektor kesehatan dan pendidikan.
“Kita semua tahu bahwa perempuan Suriah, secara historis, sangat efektif dan mampu memimpin di berbagai bidang. Saat ini, kami sedang berupaya mengembalikan mereka ke peran utama dalam membangun Suriah baru, negara yang bebas seperti yang kita semua cita-citakan,” kata al-Dibs.
Ia juga berjanji untuk mendorong perempuan dari semua provinsi dan suku di Suriah untuk berpartisipasi dalam konferensi nasional mendatang, yang akan membahas masa depan negara tersebut.
Penunjukan dua wanita dalam pemerintahan baru Suriah sejalan dengan klaim Sharaa dalam sebuah wawancara dengan BBC baru-baru ini.
Setelah berhasil menumbangkan rezim al-Assad, Sharaa disebut-sebut ingin menjadikan Suriah seperti Afghanistan di bawah Taliban.
Namun, ia membantah hal tersebut.
Sharaa menegaskan bahwa kedua negara sangat berbeda, baik dalam tradisi maupun struktur masyarakat.
Afghanistan adalah masyarakat kesukuan, sementara Suriah memiliki pola pikir yang berbeda.
Ia juga menyatakan bahwa ia percaya pada pentingnya pendidikan bagi perempuan.
“Kami telah memiliki universitas di Idlib selama lebih dari delapan tahun," kata Sharaa, merujuk pada provinsi barat laut Suriah yang dikuasai pemberontak sejak 2011.
"Saya pikir persentase perempuan di universitas lebih dari 60 persen."
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)