Pajak Naik Bisa Menyebabkan Peperangan dan Pemberontakan, Lho!
Moh. Habib Asyhad January 01, 2025 02:34 PM

Pajak naik bisa memicu pertempuran. Contohnya Perang Belasting di Sumatera Barat, Perang Jawa dan Gerakan Samin di Jawa.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Tentu saja negarasangat membutuhkan pajak. Bagaimanpun juga, ia adalah instrumen keuangan yang sangat vital.

Pajak adalah sumber sumber pendapatan bagi negara. Pajak juga adalahpenopang beragam program pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Gaji para aparatur negara juga diambil dari pajak, lho.

Meski begitu, dalam sejarah, kebijakan pajak jarang berjalan mulus. Terlebih jika pajak yang dikenakan itu memberatkan dan justru menyengsarakan -- terutama untuk rakyat kecil.

Jika sudah begitu, yang terjadi adalah perang dan pemberontakan. Berikut ini beberapa perang dan pemberontakan di Indonesia yang penyebabnya, entah utama atau salah satunya, adalah pajak.

Perang Jawa

Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, salah satunya, disebabkan oleh kewajiban membayar berbagai macam pajak.

Perang ini meletus setelahBelanda menanam patok-patok jalan di atas makam leluhur Pangeran Diponegoro. Tak hanya itu, Belanda juga melakukan serangkaian aksi yang memicu kemarahan Pangeran Diponegoro.

Semakin ke sini, Belanda semakin terlibat terlalu dalam di kehidupan Kasunan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Intervensi mereka juga disebut membawa pergeseran adat dan budaya keraton yang tidak sesuai dengan budaya nusantara.

Tak hanya itu,Belanda juga membuat rakyat menderita karena dijadikan sebagai objek pemerasan. Pasalnya, para petani tidak dapat mengembangkan hidupnya karena harus menjadi tenaga kerja paksa.

Kehidupan mereka bertambah berat karena harus membayar berbagaimacam pajak. Karena itulah Pangeran Diponegoro tidak tinggal diam.

Perang akhirnya meletus pada20 Juli 1825, ketika pasukan Belanda datang ke Tegalrejo untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Belanda sempat mendapat perlawanan dari orang-orangnya Diponegoro meskipun pada akhirnya bangsa kulit putih itu berhasilmembumihanguskan Tegalrejo.

Sang Pangeran sendiri berhasil melarikan diri ke sebuah desa yang terletak di barat laut Keraton Yogyakarta, persisnya di Desa Selarong. Di sana dia menyusun kekuataan yang lebih besar lagi.

Tiga minggu setelah penyerbuan Tegalrejo, pasukan Diponegoro menyerang Keraton Yogyakarta dan berhasil mendudukinya. Lalu disusul kemenangan di beberapa daerah.

Gerakan Perang Jawa meluas hinggake daerah Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang, dan Rembang. Kemudian ke arah timur mencapai Madiun, Magetan, Kediri, dan sekitarnya, hingga disebut mampu menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa.

Untuk menghadapi perlawan Diponegoro, pasukan Belanda yang dipimpinJenderal de Kock menerapkan strategi Benteng Stelsel. Strategi ini membuat perlawanan Diponegoro di berbagai tempat berhasil dilumpuhkan Belanda hingga ruang geraknya menjadi semakin sempit.

Tak hanya itu, para pemimpin yang membantu Pangeran Diponegoro banyak yang tertangkap. Kendati demikian, belum ada tanda-tanda bahwa perlawanan Diponegoro akan berakhir.

Perang Jawa berakhir pada28 Maret 1830. Pasukan Pangeran Diponegoro dijepit di Magelang oleh Jenderal de Kock. Demi membebaskan sisa pasukannya, Pangeran Diponegoro rela menyerahkan diri. Pangeran Diponegoro kemudian ditangkap dan diasingkan ke Makassar hingga akhir hidupnya.

Gerakan Samin

Gerakan Samin adalah gerakan perlawanan non-kekerasan yang dilakukan oleh pengikut ajaran Saminisme untuk melawan penjajahan Belanda. Termasuk menolak membayar pajak. Gerakan ini dipimpin oleh Samin Surosentiko.

Samin lahir di Kediren (sekarang masuk wilayah Kecamatan Randublatung) Blora sekitar tahun 1859. Dia adalah pelopor gerakan Saminisme.

Gerakan Samin punya ciri seperti pergolakan sosial di pedesaan lainnya, yaitu bersifat tradisional, dilakukan oleh petani, dan daerah gerakannya tidak luas. Meksi begitu, gerakan ini juga memiliki keunikan yang membedakannya dengan gerakan-gerakan petani lainnya.

Gerakan Samin dilakukan tanpa kekerasan, seperti aksi tidak membayar pajak dan menolak untuk patuh terhadap peraturan pemerintah kolonial. Para pelakunya pun dikenal rajin, jujur, serta menghargai sesama, termasuk kepada kaum perempuan.

Hal inilah yang mendasari Pemerintah Belanda untuk menganggap bahwa Gerakan Samin tidaklah berbahaya dan dapat dengan cepat ditumpas apabila pemimpin atau penganjurnya dibuang.

Tak hanya itu,tidak seperti gerakan sosial untuk melawan kolonial Belanda lainnya yang umumnya berumur singkat, Gerakan Samin yang dimulai pada akhir abad ke-19 ternyata bertahan cukup lama.

Seperti disebut di awal, tokoh gerakan ini adalahSamin Surosentiko, keturunan Kanjeng Pangeran Arya Kusumaningayu. Lahir dengan nama Raden Kohar dia mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko yang bernapaskan wong cilik.

Samin sendiri artinya kelompok orang senasib dan sepenanggungan.

Oleh pemerintah Belanda, Samin dianggap sebagai seorang residivis yang sering keluar-masuk penjara. Akan tetapi, bagi para petani di pedesaan Blora dan Bojonegoro, dia dipandang sebagai sosok pemberontak Belanda yang berhati mulia.

Orang-orang Samin sendiri juga lebih suka disebut wong sikep (orang yang baik dan jujur), yang menurut mereka berkonotasi positif. Hal ini kemungkinan untuk menghapus citra buruk orang Samin, yang bagi beberapa pihak dianggap sebagai pembangkang.

Menurut para sejarawan, penyebab Gerakan Samin adalah tekanan ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Tapi itu bukan faktor satu-satunya.

Motif para petani yang berkecukupan lebih kepada perasaan tidak berdaya dalam menghadapi kekuasaan kolonial dan kecemasan akan hilangnya kedudukan atau statusnya. Meski Gerakan Samin dikenal tidak agresif, tetapi pada awal abad ke-20 tindakan mereka cenderung meningkat akibat meluasnya penerapan sistem perpajakan.

Gerakan Samin dimulai sekitar tahun 1890, ketika Samin Surosentiko mulai menarik pengikut dan menyebarkan ajarannya. Pada 1907, pemerintah Hindia Belanda mendapatkan laporan bahwa di daerah Blora Selatan dan terdapat sekitar 3.000 orang Samin.

Masih di tahun yang sama, timbul desas-desus bahwa orang-orang Samin akan memberontak, meskipun belum tampak adanya gerakan yang membahayakan. Terlebih lagi, ajaran Samin Surosentiko telah meluas ke daerah Rembang, Blora Utara, bahkan Ngawi.

Pemerintah Belanda pun mulai menaruh perhatian dan beraksi dengan menangkap Samin Surosentiko bersama delapan pengikutnya. Meski bukti yang dikumpulkan pemerintah tidak cukup untuk menuduh Samin merencanakan pemberontakan, ia tetap dibuang ke Padang hingga kematiannya pada 1914.

Walau patronnya dibuang ke Sawahlunto, Gerakan Samin terus hidup dan berkembang walaupun dengan lambat. Pada 1908, seorang bernama Wongsoredjo menyebarkan ajaran Samin di dekat Madiun.

Dia mengaku telah mengajak pengikutnya untuk tidak membayar pajak dan melakukan kerja rodi. Wongsoredjo kemudian ditangkap dan dibuang oleh pemerintah.

Memasuki dekade kedua abad ke-20, Gerakan Samin semakin meningkat dan ada yang disertai kekerasan. Di Grobogan, orang Samin pimpinan Surohidin dan Pak Engkrak tidak mau menaati peraturan pemerintah, menolak membayar pajak, dan menyerang kepala desa.

Pada 1917, Asisten Residen Tuban bernama J.E. Jasper melaporkan bahwa pemukiman orang-orang Samin semakin meluas.

Perang Belasting

Mengutip Kompas.com,Perang Belasting merupakan pertempuran antara tentara Hindia Belanda dan rakyat Sumatera Barat yang berlangsung pada 15-16 Juni 1908. Pemberontakan rakyat Sumatera Barat terhadap Hindia Belanda disebabkan oleh penerapan pajak kepada masyarakat.

Hindia Belanda menghadapi perlawanan rakyat Sumatera Barat dengan mengirimkan Marsose atau satuan militer bentukan Belanda. Pertempuran Belasting memakan banyak korban jiwa, baik dari rakyat Sumatera Barat maupun tentara kolonial.

Disebut sebagai Perang Belasting karena belasting berarti pajak.

Terjadinya Perang Belasting didorong oleh kondisi keuangan Belanda yang mulai menurun. Salah satu sumber pendapatan Belanda saat itu adalah bisnis kopi yang ada di Sumatera Barat.

Sayangnya, bisnis kopi di sana juga sedang mengalami penurunan. Karena itulah pemerintah Belanda menaikkan pajak sebanyak 2 persen kepada masyarakat Sumatera Barat.

Kebijakan ini diumumkan oleh Belanda pada 21 Februari 1908, yang kemudian diberlakukan sejak 1 Maret 1908. Selain menaikkan pajak, Belanda juga menerapkan pajak baru bagi rakyat Sumatera Barat, yaitu pajak kepala, pemasukan barang, rodi, tanah, keuntungan, rumah tangga, penyembelihan, tembakau, dan pajak rumah adat.

Kebijakan itulah yang memicu terjadinya pergolakan dari rakyat Sumatera Barat terhadap Belanda.

Terkait kebijakan pajak baru itu,rakyat Sumatera Barat menggelar rapat secara sembunyi-sembunyi untuk merencanakan perlawanan. Sayangnya, rencana perlawanan itu didengar oleh pihak Belanda.

Hasilnya, pada 22 Maret 1908, para penghulu andiko (datuak kampuang Sumatera Barat) ditangkap oleh Belanda dan dijebloskan ke penjara. Mengetahui hal itu, rakyat Sumatera Barat semakin marah dan melancarkan aksi protes besar.

Puncaknya terjadi pada 15-16 Juni 1908, di mana rakyat di daerah Kamang, Sumatera Barat, melakukan perlawanan. Dengan berbekal senjata seadanya, ribuan rakyat Kamang berusaha melawan tentara Belanda dengan sekuat mungkin.

Dalam pertempuran ini, tokoh Kamang bernama Haji Abdul Manan gugur di medan perang.

Setelah pertempuran terjadi di Kamang, selanjutnya di Mangopoh, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Pertempuran di Mangopoh dipimpin oleh tokoh perempuan bernama Mande Siti.

Pada 16 Juni 1908, menjelang dini hari, Mande Siti dengan dua veteran perang Kamang, yaitu Rasyid Bagindo Magek dan Majo Ali, bersama 17 orang lainnya, mengepung markas Belanda. Mereka berhasil memusnahkan 53 tentara Hindia Belanda, sementara dua orang lainnya melarikan diri.

Masih di hari yang sama, Mande Siti terkena tembakan dan melarikan diri ke hutan bersama suaminya, Rasyid Bagindo Magek, dalam keadaan terluka. Pagi harinya, pasukan Belanda dari Pariaman dan Bukittinggi dikirim untuk mengejar para pemberontak di Mangopoh.

Sebagai reaksi,pasukan Belanda membakar kampung di sana dan terus mengejar para pemberontak. Mande Siti dan suaminya terus kabur selama 17 hari, yang pada akhirnya ditangkap Belanda.

Mande Siti dimasukkan ke penjara Lubuk Basung selama 14 bulan, sebelum akhirnya dipindahkan ke Pariaman selama 16 bulan, dan Padang selama 12 bulan. Sementara suaminya, Rasyid Bagindo Magek, diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara.

Itulah perang-perang di Indonesia yang terjadi akibat pajak. Jadi, pertimbangan matang-matang jika ingin menaikkan pajak, ya!

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.