TIMESINDONESIA, MALANG – Tanggapan masyarakat yang sangat kritis (yang sedang ramai) terhadap putusan pengadilan mencerminkan adanya peningkatan kesadaran hukum di kalangan publik. Reaksi yang ramai atas suatu putusan hukum menunjukkan bahwa masyarakat kini mampu menilai dan mengevaluasi putusan peradilan dengan lebih objektif.
Fenomena ini menandakan adanya pergeseran (ke arah positif) dalam pola pikir masyarakat, di mana penegakan hukum tidak lagi hanya dianggap sebagai domain eksklusif lembaga peradilan semata.
Kritik yang muncul bukan hanya sebagai bentuk ketidakpuasan dan kekecewaan, melainkan sebagai refleksi dari keinginan masyarakat untuk mengawal proses hukum yang adil dan transparan. Ketika masyarakat secara aktif mengomentari dan mempertanyakan dasar hukum dari suatu putusan.
Hal tersebut menunjukkan partisipasi yang sehat dalam mengawasi kinerja lembaga peradilan. Kondisi ini dapat mendorong lembaga peradilan untuk lebih akuntabel dalam menjalankan tugas dan “tanggung jawab sucinya.”
Selain itu, tanggapan kritis masyarakat juga dapat berfungsi sebagai bentuk kontrol sosial yang efektif. Ketika suara publik terorganisir dengan baik, ia akan mampu memengaruhi pembentukan opini yang lebih berimbang terkait dengan keadilan.
Dengan demikian, semakin banyak individu yang memiliki pemahaman hukum yang memadai, semakin kecil pula kemungkinan adanya penyalahgunaan wewenang dalam sistem peradilan.
Kejaksaan Agung (Kejagung) juga menyatakan kekecewaannya terhadap vonis yang dianggap terlalu ringan dan berencana mengajukan banding. Hal ini mencerminkan upaya penegak hukum untuk memastikan bahwa hukuman yang dijatuhkan sepadan dengan kejahatan yang dilakukan, guna memberikan efek jera dan keadilan bagi masyarakat.
Pernyataan ini, baik secara tersurat maupun tersirat menggambarkan bahwa putusan yang ada, gagal menangkap rintihan mereka yang terzalimi (baca: masyarakat Indonesia).
Sebenarnya, para filsuf sejak zaman purba, telah merintis jalan bagi kita untuk memahami bahwa keadilan bukan sekadar aturan yang tertulis di lembar-lembar hukum, melainkan gema nurani yang hidup dalam relung terdalam manusia. Plato, sang pemikir Yunani, menulis bahwa keadilan adalah harmoni, keseimbangan antara jiwa individu dan tatanan sosial.
Ia menekankan bahwa keadilan hanya dapat terwujud ketika setiap insan menemukan tempatnya, ketika kebenaran diungkap dengan kejujuran, dan ketika hukum tidak sekadar menghakimi, tetapi menghidupkan makna kemanusiaan. Dalam harmoni itulah, kepekaan terhadap rasa keadilan menemukan maknanya-bukan sekadar untuk menilai, tetapi untuk memahami derita yang tersembunyi di balik setiap tuntutan.
Aristoteles, dengan kebijaksanaannya, menegaskan bahwa keadilan adalah memberikan apa yang menjadi hak setiap orang. Ia membedakan keadilan distributif yang berbicara tentang pemerataan, dan keadilan retributif yang menuntut proporsi dalam hukuman.
Di balik logika itu, terselip keharusan untuk peka, sebab angka dan kata dalam hukum sering kali gagal menangkap rintihan hati nurani. Dalam konteks ini John Rawls menyatakan; kepekaan terhadap rasa keadilan lahir dari kemampuan merasakan ketidakadilan, bukan hanya ketika menimpa diri sendiri, tetapi saat menyentuh orang lain yang tak bersuara.
Kepekaan terhadap rasa keadilan adalah nyala api dalam hati yang tidak dapat dipadamkan oleh formalitas. Ia tumbuh ketika kita tidak hanya membaca peraturan, tetapi mendengarkan jeritan yang tak terucap. Ia muncul ketika hati mampu merasakan bahwa di balik putusan yang sah, terkadang tersimpan luka yang tak terobati.
Oleh karena itu, penting untuk terus mendorong peningkatan literasi hukum di kalangan masyarakat. Pendidikan hukum yang merata akan membantu masyarakat dalam menilai putusan dengan lebih rasional dan berdasarkan fakta hukum yang ada. Partisipasi publik yang berbasis pada pemahaman yang mendalam akan semakin memperkuat prinsip keadilan dalam sistem peradilan di Indonesia.
***
*) Oleh : Mohamad Sinal, Dosen Polinema serta Pendiri dan Pembina Pena Hukum Nusantara (PHN), Forum dan Wadah Silaturhami Mahasiswa Fakultas Hukum se-Indonesia.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.