Nyi Ageng Serang, Gadis Dusun yang Jadi Panglima Perang Pangeran Diponegoro
Tim Intisari January 08, 2025 03:34 PM

[ARSIP HAI]

Gadis dusun pinggir Sungai Serang yang dalam darahnya mengalir darah Panembahan Senopati Notoprojo. Menolak kehidupan istana dan gigih melawan Belanda hingga menjadi penasihan dan panglima tempur Pangeran Diponegoro saat Perang Jawa.

Artikel ini pertama kali tayang di Majalah HAI edisi Agustus 1984 dengan judul "Nyi Ageng Serang"

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Tak salah bila perempuan gigih satu ini adalah putri Panembahan Senopati Notoprojo. Hingga akhir hayatnya dia membuktikan dirinya berdarah Notoprajan, pejuang gigih dari generasi ke generasi.

Nama lengkapnya Kustiah Wulaningsih, lahir pada 1762 di musim hujan di desa Serang, sebuah desa terpencil di wilayah yang sekarang masuk wilayah Sragen, Jawa Tengah.

Meskipun gadis desa, nama depan "Kus" membedakan dengan gadis desa lainnya. Itu jelas nama yang berbau Keraton, zaman itu. Sampai sekarang pun masih banyak keluarga Keraton di Solo dan Jogja yang putra-putrinya pakai awalan nama "Kus".

Bagaimana lagi, dia adalah putripejuang tangguh Senopati Notoprojo, yang pernah membantu perjuangan Pangeran Mangkubumi melawa Belanda. Nama terakhir ini kelak menjadi Hamengkubuwono I.

Sebagai putri senopati utama Kustiah selalu mendengar kepahlawanan orangtua dan saudara-saudaranya. Dia lahir dan dibesarkan dalam tradisi jiwa besar.

Sewaktu remaja dia dipanggil ke Keraton. Ternyata Gusti Raden Mas Soendoro yang kelak akan kita kenal sebagai HB II atau Sultan Sepuh terpikat olehnya.

Tapi, di sini kita ketemu liku-liku asmara. Kustiah tidak menolak tapi juga tidak menerima. Agaknya dia ogah dengan calon sultan yang saat itu sudah banyak bergaul dengan para gadis.

Sebagai informasi, hingga akhir hayatnya, HB II tercatat punya putra resmi hingga 88 orang.

Berani juga Kustiah menolak, suatu pendirian kukuh yang agak langka untuk zaman itu -- barangkali juga untuk masa kini.

Memang tidak gampang menolak pinangan sultan. Kustiah harus pergi dari Keraton, dan bertempat di Demangan.

Kalau nanti sudah mengatakan iya, ia bisa kembali ke Keraton. Tapi Kustiah selalu menjawab: "Saya menerima, akan tetapi belum saatnya."

Konon di saat itu Kustiah lebih suka tidur di atas daun pisang daripada tikar yang empuk. Selalu membawa cundrik, keris pendek yang biasa digunakan oleh kaum wanita.

Agaknya takut disatroni di tengah malam. Memang menurut cerita, RM Soendoro ini pernah menjenguk ke kamarnya. Kustiah langsung mengambil cundrik pemberian ayahnya, Panembahan Senopati Notoprojo.

Memang akhirnya mereka kawin. Secara batin saja. Simbolis saja. Karena setelah upacara kecil-kecilan Kustiah tetap tidak mau berdiam dalam satu atap atau satu kamar.

Kustiah malah lebih suka hidup di pinggir sungai Serang. Itulah kemudian gelar yang diberikan masyarakat, Nyi Ageng Serang.

Agaknya HB II tak bisa terus-menerus memaksa. Maka diizinkannya wanita yang keras hati itu memilih pasangannya sendiri, Pangeran Mutia Kusumawijaya, seorang pejuang yang benar-benar anti-Belanda sampai ke darah daging.

Keduanya punya seorang putri, namanya pakai "kus" lagi,Kustina.

Lima belas tahun kemudian, HB II ingin meneruskan ikatan dengan Nyi Ageng Serang. Tapi bukan untuk dirinya sendiri.

Putranya, Pangeran Mangkudiningrat, dikawinkan dengan Kustina. Upacaranya sederhana saja, karena Pangeran Mutia saat itu sudah meninggal dunia ditembak Belanda karena ogah membayar pajak.

Nyi Ageng Serang pun ke Keraton Jogja lagi. Sebagai besan Sultan, dia membesarkan cucunya, Raden Mas Papak, yang kelak — selama dalam bimbingan eyang putri — jadi pahlawan.

Di situlah dia mengenal pemuda yang lagi tumbuh dan berjiwa besar. Seperti Ontowiryo (Diponegoro), Tumenggung Alap-Alap, Jayakusuma, Adiwijaya, Dipasana, dan Dewi Ratih yang kemudian menjadi istri Pangeran Diponegoro.

Saat itu kekuasaan Belanda digantikan Inggris sebentar. Tapi sama saja dalam artian penderitaan bagi masyarakat.

Nyi Ageng Serang sendirian. Menantunya dibuang ke Penang, putrinya, Kustina, meninggal karena sakit. Yang bersama dirinya saat ini cuma cucunya, Raden Mas Papak.

Dua belas tahun kemudian, 1825, meletus Perang Jawa yang dipimpin Ontowiryo si Pangeran Diponegoroi. Jauh sebelumnya, utusan Pangeran meminta restu Nyi Ageng Serang.

Nenek tua yang lahir dari darah Notoprajan itu menyusun siasat perang dan malah memulai pemberontakan di wilayah sekitarnya.

Dia memakai siasat perang: Supit Udang, atau dengan tiga ujung tombak. Dua agak ke depan berdampingan, satu di tengah sebagai pusat melancarkan gempuran.

Ada juga yang disebut Barisan Sesabet, atau bisa kita katakan sekarang ini dengan Barisan Komando. Tugasnya melakukan gerakan kilat, menyabet lawan, dan kemudian lari lagi.

Tugas barisan itu disebut sebagai gerakan Hanuman, diambil dari nama kera putih yang sakti dalam dunia pewayangan. Model gerilya atau dalam bahasa tinju Muhammad Ali, "hit and run". Pukul keras, lalu ditinggalkan. Musuh terlena, pukul lagi.

Nyi Ageng Serang sendiri melakukan perlawanan secara langsung. Kini senjatanya bukan cuma cundrik, tetapi juga tombak.

Tombaknya diikatkan selendang. Langlang buana atau long march dilakukan di daerah-daerah yang telah disebutkan di atas.

Pasukannya terkenal tak bisa dikejar karena memakai taktik lumbu. Konon ini penemuan Nyi Ageng Serang.

Para prajurit memakai tutup badan dengan tumbuh-tumbuhan daun keladi (lumbu) untuk menyamar. Hingga jika berlindung di balik hutan atau pepohonan tak bisa dikenali lawan. Persis tentara sekarang ini.

Belanda tentu saja dibuatnya keteteran. Pasukan Nyi Ageng Serang dan gempuran Pangeran Diponegoro tak bisa dilawan.

Taktik dijalankan. Sultan Sepuh yang diasingkan dipanggil pulang oleh Belanda. Dengan harapan, kalau memandang Sultan Sepuh, Nyi Ageng Serang akan tunduk.

Toh Sultan Sepuh atau HB II ini diakui sebagai raja yang resmi. Eh, tapi nyatanya Sultan Sepuh diam saja, tidak memberi komando pada Nyi Ageng Serang agar berhenti. Meskipun secara politis, juga tidak membantunya. Sampai Sultan Sepuh meninggal, tahun 1828.

Pada waktu melayat, hampir saja pasukan Diponegoro kena jebak.

Usia Nyi Ageng Serang mulai berangsur tua. Kekuatan jasmani mulai menurun. Dia terpaksa digotong pakai tandu. Tapi masih hadir di medan perang.

Bahkan kemudian sengaja membuat persinggahan sementara di Prambanan. Agar bisa mengawasi dan mendengar berita perang secara langsung.

Belanda tak bisa melihat bahwa semua strategi militer yang dilancarkan adalah berkat Nyi Ageng Serang. Lagi pula kehadirannya di tengah masyarakat pertanda "pahlawan masuk desa", dan hidup di antara mereka, dengan segala penderitaannya.

Keras bisa dilawan keras. Keuletan bisa dilawan dengan keuletan. Tetapi kelicikan? Nyi Ageng Serang mengurung diri dalam kamarnya ketika mendengar kabar bahwa Pangeran Diponegoro dijebak dengan tipu muslihat dalam suatu perundingan.

Mengurung diri selama 40 hari 40 malam.

Ini belum cerita akhir. Sebagai pejuang langsung di garis depan memang tidak, tapi sebagai simbol keteguhan moral, masih berjaya.

Cucunya, Raden Mas Papak sempat datang padanya. Dia memang sudah kalah. Dan Belanda akan mengampuni kalau dia mau dibuang. Tentu pembuangan “orang Keraton" masih disertai prajurit bangsa 30-an orang, pelayan, rumah dan juga duit.

Papak minta nasihat neneknya.

Nyi Ageng Serang tidak menjawab cucunya harus mengambil keputusan yang mana. Dia meminta supaya cucunya itu menanyakan hati nuraninya: kenapa dulu keluarga Notoprajan berani melepaskan diri dari Kasunanan Solo, kenapa Eyangnya, Panembahan Senopati, berjuang bersama Mangkubumi, kenapa seluruh keluarga Notoprajan rela gugur di medan perang, mengapa ayahnya rela mendampingi HB II melawan Belanda?

Itulah jawaban seorang tua yang arif tapi jelas!

Memang RM Papak menjadi teguh kembali kekuatannya. Namun dia kemudian meninggal karena menjadi pemabuk setelah Nyi Ageng Serang wafat di suatu sore yang tentram. Tahun 1834, dalam usia 72 tahun.

Kustiah Wulaningsih Retno Edi, atau Nyi Ageng Serang, menghadap Sang Maha Pencipta, setelah membuktikan dan membaktikan hidupnya sebagai layaknya seorang pahlawan, seorang pembela kebenaran, seorang wanita yang dengan gagah berani tapi juga arif.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.