Selokan Mataram adalah manifestasi brilian dari ide Sri Sultan Hamengkubuwono IX menghindarkan rakyatnya dari Romusha Jepang. Manfaatnya dirasakan masyrakat Yogyakarta hingga sekarang.
Penulis: Safira Aulia di Yogyakarta untuk Majalah Intisari edisi November 2017. Pertama tayang dengan judul "Jejak Selokan Mataram yang Perlu Disegarkan"
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Orang Jogja tak ada yang tak mengenal Selokan Mataram. Terlebih mereka yang tinggal di bantarannya yang memanjang dari sekitar Kalibawang di Kulonprogo di barat hingga Kalasan di Sleman di timur.
Meski begitu, berapa banyak dari yang peduli dengan kelangsungan saluran irigasi yang dibangun di masa Sultan HB IX itu? Tidak usaah peduli dengan kelangsungannya, deh, siapa yang peduli dengan asal-usulnya?
Selokan Mataram mengalir dari hulunya di Kali Progo di barat Jogja dan bermuara di hilir Sungai Opak dekat Candi Prambanan. Saluran irigasi ini menyimpan sejarah tersendiri bagi masyarakat Kota Gudeg.
Jepang yang saat itu tengah menguasai Indonesia, termasuk Jogja tentu saja, sedang menggalakan kebijakankerja paksa alias romusha demi kepentingan mereka. Tapi berkat kecerdikan HB IX, rakyat Jogja terhindar dari kerja paksa itu.
HB IX yang begitu mencintai rakatnyamelapor kepada Jepang bahwa Jogja adalah daerah kering dan tandus dengan hasil pertanian berupa palawija. Dia mengusulkan kepada Jepang agar memerintahkan rakyat membangun saluran irigasi saja guna mengairi persawahan di Jogja sehingga tanaman akan bervariasi dan tumbuh subur.
Ternyata Jepang menyetujui usul dari Sultan. Pada akhirnya saluran irigasi itu memang sangat berguna bagi kelangsungan pertanian masyarakat Jogja, selain itu memang siasat Sultan agar rakyatnya terbebas dari kewajiban romusha Jepang. Ikut romusha artinya rakyat harus siap dikirim ke wilayah-wilayah di luar Jogja.
Walaupun demikian,dengan memerintahkan rakyat membangun saluran irigasi sendiri, artinya Sultan mengajak rakyatnya "romusha" juga. Tapi barangkali romusha yang ini berbeda, karena hasilnya akan mereka dan anak cucu mereka nikmati sendiri.
Dan benar saja, Selokan Mataram hingga kini adalah sumber penghidupan masyarkat Yogyakarta.
Menyatukan dua sungai
Konon, gagasan soal Selokan Mataram HB IX ini berawal dari nasihat Sunan Kalijaga. Menurut cerita, dulu, Sunan Kalijaga pernah bilang bahwa wilayah Yogyakarta akan makmur rakyatnya bila bisa menggabungkan dua sungai besar: Kali Progo di barat dan Kali Opak di timur.
Sekilas ide itu terlihat mustahil. Tapi di momentum yang tepat, dalam hal ini adalah zaman romusha Jepang, gagasan itu bisa terwujud juga, dan terbukti bisa menyejahterakan rakyatnya. Yang juga banyak orang belum tahu, selokan ini ternyata dibangun di atas bekas paritpertahanan yang telah ada sejak zaman Panembahan Senopati.
Selain itu, belum banyak juga yang tahu jika selokan ini punya nama lain, yaitu Kanal Yoshihiro, semacam atribusi terhadap salah jenderal perang Jepang yang bernamaShimazu Yoshihiro (1535-1619).
Selokan Mataram mengairi lebih dari puluhan ribu hektare sawah dan fungsinya masih dirasakan oleh para petani Yogyakarta hingga sekarang. Lahan yang dahulunya sulit ditanami saat kemarau berubah menjadi lahan produktif sepanjang tahun.
Selokan ini juga bermanfaat bagi para penjual hasil bumi. Lewat kanal ini mereka bisa menjual hasil pertanian hingga ke daerah lain. Dengan begitu, roda ekonomi pun terus berputar.
Banyak sampah
Meski begitu, ada satu kondisi yang memprihatinkan. Belakangan, seiring pertumbuhan ekonomi di Yogyakarta, keadaan Selokan Mataram menjadi tidak diperhatikan dan dipandang sebagai kali biasa.
Tak hanya sebagai pusat kebudayaan, Jogja juga dikenal sebagai Kota Pelajar. Otomatis itu berimbas pada kehidupan ekonomi kota yang berada di selatan Gunung Merapi ini.
Sebagai Kota Pelajar, Jogja tentu saja bertransformasi menjadi kota yang lebih heterogen. Selain orang-orangnya, latar belakang budayanya juga tak sama lagi.
Tapi sayang, majunya Kota Jogja justru disinyalir sebagai penyebab banyak sampah di sepanjang Selokan Mataram.
Ada dua kemungkinan kenapa ini bisa terjadi. Pertama, mereka tidak mengerti betapa pentingnya saluran irigasi ini untuk pertanian Jogja. Kedua, karena mereka tidak tahu sejarah panjang yang membentuk saluran air sepanjang 35 km ini.
Apakah begini cara kita menghargai upaya Sultan HB IX yang telah menyelamatkan warga Yogyakarta dari kesengsaraan dan kekejaman masa romusha?
Untung saja, beberapa saat yang lalu muncul gerakan yang diinisiasi segelintir mahasiswa yang peduli dengan kebersihan Selokan Mataram. Mereka, dengan menaiki ban karet, membersihkan sampah-sampah yang nyangkut di saluran air yang selesai dibangun pada 1944 itu.
Sebagai pengingat, menjaga kebersihan Selokan Mataram dari sampah dan limbah adalah kewajiban kita bersama. Bukan hanya sebagai bentuk rasa horman terhadap sejarah yang melingkupinya, tapi juga memastikannya tetap lestari mengairi sawah-sawah Pak Tani.