Untung Rugi RI Gabung BRICS ke Sektor Ekonomi
kumparanBISNIS January 12, 2025 04:03 AM
Indonesia resmi menjadi anggota penuh forum ekonomi BRICS usai diumumkan oleh pemerintah Brasil selaku ketua organisasi tahun ini pada Senin (6/1).
BRICS merupakan kumpulan negara yang mulanya hanya beranggotakan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (South Africa). Kemudian berkembang luas, dengan masuknya Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab. Terakhir Indonesia disetujui masuk.
Berdasarkan keterangan dari Kementerian Luar Negeri (Kemlu), dengan menjadi anggota penuh BRICS, maka Indonesia memiliki hak suara penuh, juga keterlibatan penuh pada program, fasilitas, dan kontribusi dibandingkan status negara mitra.
Keuntungan Indonesia Gabung BRICS
Kemlu melihat bergabungnya Indonesia dengan BRICS merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kolaborasi dan kerja sama dengan negara berkembang lainnya, berdasarkan prinsip kesetaraan, saling menghormati, dan pembangunan yang berkelanjutan.
Dengan demikian, salah satu keuntungannya adalah dapat berkolaborasi dan bekerja sama dengan negara berkembang lainnya secara lebih baik.
Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani mengatakan, Apindo melihat BRICS lebih banyak berorientasi pada isu geopolitik dibandingkan pada harmonisasi kebijakan ekonomi yang konkret.
“Keanggotaan ini memang tidak memberikan manfaat langsung bagi sektor usaha melalui akses pasar baru tarif dan lain-lain,” kata Shinta.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Kamdani menjadi pembicara dalam acara IKF 2023 di Pacific Place, Jakarta, Rabu (11/10/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Kamdani menjadi pembicara dalam acara IKF 2023 di Pacific Place, Jakarta, Rabu (11/10/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Meski demikian, lanjut Shinta, Apindo juga memandang keanggotaan penuh Indonesia dalam BRICS sebagai peluang strategis untuk mendiversifikasi mitra dagang dan investasi, di tengah dinamika ekonomi global yang terus berubah.
BRICS memungkinkan Indonesia memperkuat kerja sama dengan negara-negara seperti Tiongkok, India, dan Uni Emirat Arab (UEA) yang merupakan pasar potensial.
Sementara itu, Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan keanggotaan ini juga membuka peluang besar memperluas kerja sama ekonomi, perdagangan, dan investasi antara Indonesia dengan negara-negara BRICS, sekaligus mendukung pertumbuhan berkelanjutan,
Arsjad menilai keanggotaan tersebut juga membawa tanggung jawab baru, antara lain memitigasi persaingan global yang semakin ketat. Ia yakin dengan sinergi erat antara pemerintah dan dunia usaha, keanggotaan ini akan menjadi kekuatan untuk memperkuat fundamental ekonomi, mendorong inovasi, dan menciptakan lapangan kerja baru.
"Sekaligus sebagai peluang untuk mendorong perekonomian ke level yang lebih tinggi. Kadin Indonesia terus berkomitmen menjadi mitra strategis pemerintah dalam memastikan manfaat keanggotaan BRICS dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia," tutur Arsjad.
Ilustrasi BRICS Summit. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi BRICS Summit. Foto: Shutterstock
Kerugian Indonesia Gabung BRICS
Shinta melihat pelaku usaha dapat memanfaatkan keunggulan teknologi dari anggota BRICS seperti Tiongkok dan Rusia untuk mendukung transformasi industri domestik.
“Namun, kami juga menyadari adanya tantangan, termasuk potensi retaliasi dagang dari negara-negara non-BRICS atau risiko ketergantungan pada mitra tertentu, seperti Tiongkok. Oleh karena itu, pelaku usaha perlu merencanakan strategi mitigasi risiko dengan baik,” jelas Shinta.
Shinta juga melihat isu dedolarisasi di BRICS. Menurutnya, sentimen negatif AS terhadap hal ini merupakan isu yang kompleks. Namun posisi Indonesia dalam perdagangan global tetap mengedepankan prinsip bebas aktif.
Dia memandang, keanggotaan di BRICS tidak berarti Indonesia akan menggantikan mitra dagang seperti AS, tetapi lebih kepada diversifikasi mitra untuk mengurangi risiko ketergantungan pada pasar tertentu.
Kendati demikian dia melihat ada skenario potensi retaliasi dagang, jika sentimen negatif AS meningkat, hambatan perdagangan seperti tarif tambahan atau regulasi non-tarif bisa saja muncul. “Namun, hal ini sangat bergantung pada dinamika politik dan ekonomi kedua negara,” imbuhnya.
Kemudian skenario mengenai pengelolaan risiko valas. Sebab, dengan adanya inisiatif dedolarisasi BRICS, perusahaan Indonesia yang berorientasi ekspor ke AS perlu lebih berhati-hati dalam manajemen risiko valuta asing untuk menjaga daya saing harga.
Presiden Prabowo di acara Indonesia-China Business Forum 2024 di Beijing, China, Minggu (10/11) Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Prabowo di acara Indonesia-China Business Forum 2024 di Beijing, China, Minggu (10/11) Foto: Dok. Istimewa
Kemudian peluang memperluas diversifikasi. Diversifikasi pasar melalui BRICS dapat memberikan alternatif bagi pelaku usaha jika hambatan perdagangan dengan AS meningkat.
“Apindo percaya bahwa pemerintah dan sektor swasta perlu bekerja sama untuk memastikan kepentingan nasional tetap terlindungi, baik dalam hubungan dengan AS maupun dalam pengelolaan peluang dari BRICS,” tutup Shinta.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, bergabungnya Indonesia dengan China menimbulkan risiko ketergantungan yang lebih besar dengan China. Bahkan menurutnya, tanpa BRICS pun, porsi investasi dan perdagangan Indonesia dengan China sudah sangat signifikan.
Sebab tanpa BRICS, dari sisi investasi dan perdagangan Indonesia, porsi China sudah sangat besar. Impor Indonesia dari Cina naik signifikan sebesar 112,6 persen dalam 9 tahun terakhir, dari USD 29,2 miliar di 2015 menjadi USD 62,1 miliar pada 2023.
Sementara itu, investasi dari China melonjak 11 kali di periode serupa. Indonesia juga tercatat sebagai penerima pinjaman Belt and Road Initiative terbesar dibanding negara lainnya pada 2023.
“Ketergantungan pada China juga membuat perekonomian lebih rapuh. Di saat ekonomi China diproyeksikan menurun 3,4 persen dalam empat tahun ke depan, terdapat kekhawatiran dengan bergabungnya Indonesia ke BRICS justru melemahkan kinerja perekonomian,” jelasnya.
Peneliti Celios, Yeta Purnama, menambahkan bahwa bergabungnya Indonesia ke BRICS dapat memengaruhi akses ke Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
“Dibandingkan BRICS, urgensi Indonesia untuk bergabung dengan OECD jauh lebih tinggi, sejalan dengan upaya Indonesia menuju negara maju,” pungkasnya.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.