Hikayat Teh, dari Hidangan Bangsawan ke Suguhan Rakyat Kebanyakan
Moh. Habib Asyhad January 18, 2025 02:34 PM

Karena sifatnya begitu massal, kita sering memperlakukan minuman teh seperti air putih. Padahal cerita soal teh selalu terkait dengan kebangsawanan.

Penulis: Nur Resti Agtadwimawanti, Majalah Intisari edisi Juni 2012

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Dulu, teh adalah hidangan untuk kaum bangsawan. Tapi seiring zaman, tumbuhan yang KTP Latin-nya Camelia sinensis itu berubah menjadi suguhan rakyat kebanyakan.

Soal Camellia sinensisitu sendiri, sejatinya terbagi atas dua varietas besar: Camellia sinensis var. sinensis dan Camellia sinensis var. assamica.

Sesuai dengan namanya, sinensis yang artinya "berasal dari Cina", tanaman ini memang berasal dari Dataran Tiongkok sana. Meski begitu, "teh cina" ini ada juga yang asalnya dari India, persisnya dari Negara Bagian Assam. Karena itulah ia punya namaCamellia sinensis var. assamica.

Gampangnya,Camellia sinensis var. sinensis itu teh cina yang tumbuhnya di Cina, sementaraCamellia sinensis var. assamica itu adalah teh cina yang tumbuhnya di Assam, India. Keduanya punya kelebihan masing-masing.

"Yang jelas,Assamica mengandung polifenol yang lebih tinggi ketimbang Sinensis,"jelas Dr. Atik Dhar madi, Sekretaris Eksekutif Asosiasi Teh Indonesia (ATI) -- wawancara ini dilakukan Majalah Intisari pada pertengahan 2012 lalu.

Tanaman teh umumnya berdaun hijau gelap dan bergerigi halus, bercabang banyak, dan berbunga putih. Namun tetap ada perbedaan bawaan dari masing-masing varietas.

Sinensis berdaun kecil dan tumbuh dengan baik di daerah pegunungan tinggi berhawa dingin, seperti di Cina atau Jepang. Sedangkan Assamica berdaun lebar dan tumbuh paling baik di daerah beriklim tropis yang lembab, seperti India bagian utara.

Dengan prasyarat itu, teh india tentu cocok ditanam di Nusantara. Faktanya memang begitu. Mayoritas teh kita var.assamica. Untuk var.sinensis baru ditanam sedikit di daerah Bandung, Jawa Barat.

"Keduanya sebenarnya bisa hidup, tapi Sinensis produktivitasnya lebih rendah. Juga, lebih rentan hama dan penyakit," jelas Robby A. Badruddin, Company Controller KBP Chakra.

Produktivitas Sinensis lebih rendah karena dari segi morfologi, tanamannya juga lebih kecil. Pun, iklim yang kurang tepat.

Bisa jangkung

Ada pepatah Cina kuno yang sekilas terkesan membela teh produksinya sendiri: "Teh unggul berasal dari pegunungan tinggi".

Pepatah itu ada benarnya, jika melihat fakta bahwa tumbuhan ini akan tumbuh berkembang di ketinggian 200-2.300 mdpl. Karena itu ada semacam hukum: semakin tinggi letak penanaman teh dari permukaan laut, akan semakin baik pula kualitasnya.

Apa boleh buat, tanaman teh memang sensitif terhadap suhu dan cuaca. Dataran tinggi dan kabut di pegunungan berguna sebagai pelindung dari terik sinar matahari.

Bahkan di sekitar tumbuhan kadang ditanami juga pepohonan yang tinggi untuk melindungi dari panas.

Tak banyak yang mengira bahwa tanaman teh yang dibiarkan tumbuh liar, tubuhnya bisa sangat jangkung. "Assamica bisa lebih dari 10 m. Sinensis biasanya 5-7 m," jelas Ratna Somantri, pendiri Komunitas Pencinta Teh di Jakarta.

Tanaman menjadi perdu karena sering dipangkas agar muncul pucuk baru, serta agar mudah dijangkau petani. Pemangkasan biasanya dilakukan setiap dua sampai tiga tahun sekali.

Tanaman teh termasuk “cepat matang”. Umur empat tahun sudah bisa dipetik, dan tetap layak panen sampai ratusan tahun. “Memang ada umur puncak. Biasanya setelah 30-35 tahun sudah harus diganti karena produktivitasnya turun,” terang Robby.

Tanaman-tanaman berumur ratusan tahun ini bisa kita lihat di perkebunan-perkebunan peninggalan zaman Belanda atau beberapa perkebunan di Cina sana. Semakin tua tumbuhannya bertambah kuat, tapi kurang produktif bila sudah masuk dalam skala industri.

Jika pada zaman Belanda perbanyakan teh masih menggunakan biji yang makan waktu lama, sekarang cukup dengan stek. Dulu bertahun-tahun, kini cukup hitungan bulan sudah siap ditempatkan di lahan.

Istilahnya klon. "Sekarang sudah ada lebih dari 300 dari hasil persilangan," kata Atik.

Klon-klon unggul yang dipakai biasanya berasal dari Pusat Penelitian Teh dan Kina di Gambung, Jawa Barat. Klon unggulan seperti Gambung 11 dikenal tahan terhadap gangguan hama.

Lelucon tentang mengapa orang Sunda sering kali menyebut "teh" dalam percakapan, bisa jadi karena sebaran tanaman ini 70-80% memang di Jawa Barat. Sisanya, ada di Sumatra, Sulawesi, Jawa Tengah, dan Jawa timur.

Beda tempat, beda rasa

Banyak hal yang mempengaruhi rasa teh. Misalnya, faktor lingkungan (tanah, suhu, dan ketinggian tempat) dan proses pengolahan. Tapi umumnya, Assamica dikatakan rasanya lebih “kuat” bila dibandingkan dengan Sinensis.

Di Indonesia pucuk teh bisa tumbuh sepanjang tahun. Berbeda dengan di Cina dan Jepang yang muncul hanya saat tertentu. Tentu saja rasanya jadi berbeda. Bahkan dalam satu perkebunan dengan varietas yang sama, rasanya bisa berbeda-beda.

Empat musim di negeri seperti Jepang dan Cina juga memberi efek pada rasa teh. Setelah musim dingin, teh akan “berhibernasi”.

Unsur makanan saat musim dingin akan disimpan. "Pucuk pertama yang muncul setelah musim dingin itu punya kandungan rasa sangat tinggi. Teh ini biasanya paling mahal," ujar Ratna. Pucuk semacam itu cuma muncul sekali dalam setahun.

Karena faktor musim tadi, jangan harap rasa teh di Indonesia akan sama dengan teh impor. Hanya saja keuntungannya, kualitas teh kita relatif stabil karena tak ada iklim yang ekstrem. Bayangkan, bila ada badai salju, maka tanaman teh bisa rusak dan gagal panen.

Bicara soal produksi, varietas Sinensis, biasanya bagus untuk dibuat teh hijau dan teh oolong. Sementara Assamica lebih cocok untuk dibuat teh hitam karena rasanya yang lebih “kuat”. Di Indonesia, produksi paling banyak adalah teh hitam dan teh hijau.

Teh hijau, artinya daun teh langsung diproses setelah dipetik. Proses oksidasi dihentikan dengan pemanasan, setelah daun mengalami oksidasi dalam jumlah minimal.

Sedangkan pada teh hitam, daun teh dibiarkan teroksidasi penuh (dua minggu sampai sebulan) setelah dipetik. Teh hitam ini paling umum di Asia, termasuk Indonesia.

Berbeda lagi dengan teh oolong, yang artinya teh mengalami semi fermentasi dengan 10-70% oksidasi. Pada teh jenis ini, proses oksidasi dihentikan di tengah-tengah antara teh hijau dan teh hitam.

Apresiasi teh belum maksimal

Menilik sejarah, penanaman teh di Indonesia lebih ditujukan untuk bangsa penjajahnya. Situasi itu sama seperti di India. Budaya dan tradisinya juga berbeda dengan di Cina atau Jepang. Berbeda pula cara masyarakat mengapresiasi teh.

Di Asia Timur, teh masuk sajian kalangan atas alias minuman bangsawan. "Dulu, orang biasa tidak boleh minum," tambah Ratna.

Teh berkualitas bagus akan dipisahkan. Nah, daun-daun teh yang tersisihkan baru boleh diseduh oleh rakyat jelata Cina di masa lalu.

Kaitan antara teh dan penjajah itu menyebabkan kita hanya punya budaya teh yang bersahaja. Apalagi produksi teh di Nusantara cenderung massal, berbeda dengan di Cina dan Jepang.

Karena sifat massalnya, maka minuman teh sering kita perlakukan seperti minum air putih saja. Tak ada tradisi untuk memuliakannya seperti di Cina atau Jepang.

Ada persoalan lain, yakni pemetikan teh kadang kurang tepat. Misalnya, batangnya ikut dipetik. Tujuannya curang, agar lebih berat sewaktu ditimbang. Padahal, teh yang bagus adalah pada bagian pucuk.

Asal tahu saja, sekitar 75-80% produksi teh Indonesia untuk diekspor. Kualitasnya tentu saja bagus.

“Sebab tidak ada pasar lokal mau beli teh mahal,” jelas Ratna. Orang Indonesia memang belum paham bahwa teh bisa punya nilai jual tinggi.

Di Cina misalnya, teh putih bisa dihargai sampai puluhan juta rupiah per kilogram. Sementara teh putih dari Indonesia hanya berkisar Rp1 juta/kg.

Sayangnya, menurut Atik, luas area perkebunan teh di Indonesia juga berkurang selama delapan tahun terakhir. Dari 160 ribu ha menjadi 130 ribu ha, di mana setiap tahun berkurang 3%.

Akhirnya kita jadi pengimpor teh. Ironis jika faktanya kita sebenarnya masuk dalam tujuh negara penghasil teh terbesar di dunia.

Produksi teh nasional kita juga semakin menurun. Tak dapat dipungkiri, industri teh memang tidak seperti karet atau kelapa sawit yang memberikan cukup keuntungan.

“Inilah kenapa teh ditinggalkan. Konversi lahan acapkali diterapkan,” ujar Robby.

Situasinya berbeda dengan Kenya yang semula penghasil kopi terbesar. Ketika harga kopi turun, mereka mengonversi kebunnya menjadi kebun teh.

Begitulah, tapi bagaimanapun juga, terlepas dari riwayatnya, teh telah menjadi bagian dari khasanah dan tradisi kuliner masyarakat Indonesia. Anda boleh sepakat, boleh juga tidak.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.