Soal Sekolah Unggulan di TTS, Akademisi Undana Kupang: Proyek Percontohan Tanpa Perencanaan 
Adiana Ahmad January 20, 2025 04:30 AM

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ray Rebon

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Rencana pemerintah untuk membangun Sekolah Unggulan Garuda di berbagai wilayah Indonesia termasuk di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi NTT, mendapat sorotan tajam dari Akademisi Undana Kupang.

Koordinator Prodi Pendidikan IPS Pascasarjana Universitas Nusa Cendana (UNDANA), Hamza H Wulakada menilai bahwa kebijakan ini terkesan terburu-buru dan minim perencanaan strategis.

Sekolah Unggulan Garuda, yang kabarnya akan dipayungi dengan Instruksi Presiden, menjadi bagian dari agenda 100 hari kerja Presiden Prabowo.

Proyek ini ditargetkan mencakup 40 sekolah unggulan hingga 2029, dengan salah satu sekolah percontohan akan dibangun di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada awal 2025.

Namun, Hamza mempertanyakan dasar ilmiah dari kebijakan ini. 

"Apakah ada argumentasi ilmiah yang merujuk pada hasil riset atau naskah akademik yang disusun? Atau ini sekadar ide spontan tanpa kajian mendalam?," ungkapnya. 

Ia juga mengkritisi tidak adanya peta jalan atau dokumen resmi yang menjelaskan arah pengembangan sekolah tersebut.

Hamza menyoroti bahwa konsep Sekolah Unggulan Garuda cenderung eksklusif, bertolak belakang dengan prinsip pendidikan inklusif yang diamanatkan dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG 4). 

Menurutnya, keberadaan sekolah ini berisiko menciptakan ketimpangan sosial dengan memarginalkan kelompok anak miskin.

"Kesannya ini hanya untuk menampung siswa cerdas secara akademik, sementara kecerdasan lainnya seperti keberbakatan olahraga, seni, emosional, dan spiritual terabaikan. Hal ini dapat menimbulkan stigma negatif dan diskriminasi antara siswa di Sekolah Unggulan Garuda dengan sekolah lainnya, seperti sekolah rakyat atau sekolah negeri," jelasnya.

Sebagai solusi, Wulakada merekomendasikan untuk memperbanyak sekolah kejuruan dan keberbakatan, meningkatkan mutu pendidikan di daerah tertinggal, atau menerapkan kelas eksklusif di sekolah-sekolah yang sudah ada. 

Menurutnya, pendekatan ini lebih efektif dan inklusif daripada membangun sekolah baru yang bersifat eksklusif.

Ia juga menyarankan agar pemerintah belajar dari model pendidikan di pesantren atau seminari, yang menanamkan nilai-nilai kebersamaan dan kepedulian sosial.

"Pendidikan di pesantren melahirkan generasi yang Pancasilais, peduli sosial, dan hidup setara tanpa memandang latar belakang ekonomi," tambahnya.

Hamza mengingatkan bahwa fokus utama pendidikan saat ini seharusnya pada peningkatan kualitas guru, penyediaan akses pendidikan yang merata, dan penyelesaian berbagai persoalan pendidikan yang ada. 

"Jangan sampai proyek ini hanya menjadi kebijakan eksklusif tanpa mempertimbangkan aspek keadilan sosial dan kesetaraan hak," tegasnya.

Meski kebijakan ini akan tetap dilaksanakan sebagai bagian dari Instruksi Presiden, Hamza berharap agar pemerintah tidak mengesampingkan persoalan pokok pendidikan.

"Mencerdaskan kehidupan bangsa tidak hanya melalui pendidikan formal, tetapi juga dengan melibatkan keluarga dan masyarakat dalam proses pendidikan," tutupnya. (*)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.