JAKARTA - Dewan Pakar
BPIP Bidang Strategi Kebijakan Luar Negeri Dr Darmansjah Djumala menanggapi keputusan WTO terkait gugatan Indonesia di bidang perdagangan kelapa sawit.
“Keputusan WTO yang memenangkan gugatan Indonesia di WTO menunjukkan Indonesia tak pernah tunduk pada tekanan politik Uni Eropa dalam sengketa dagang kelapa sawit. Hal itu membuktikan juga forum perdagangan multilateral WTO taat hukum dalam menyelesaikan sengketa dagang sesuai dengan fatsunnya, rule-based approach. Ini preseden bagus bagi Indonesia jika kita bersengketa lagi dengan negara anggota untuk komoditas lain," ujar Djumala, Senin, 20 Januari 2025.
Sebelumnya diberitakan, Panel Organisasi Perdagangan Dunia, WTO (World Trade Organization) pada 17 Januari lalu memutuskan kebijakan Uni Eropa (UE) atas minyak sawit dan biofuel berbasis tanaman sawit adalah praktik diskriminasi.
Sebelumnya, UE membatasi penggunaan bahan dasar kelapa sawit untuk biofuel sehingga merugikan Indonesia sebagai salah satu pengekspor sawit terbesar di dunia.
Djumala yang pernah bertugas di PTRI Jenewa, Swiss, menangani isu-isu perdagangan internasional di WTO selama ini UE menuduh sawit Indonesia tidak memenuhi standar kesehatan karena kadar lemak dan kolesterolnya tinggi.
UE juga menuduh pengembangan perkebunan sawit Indonesia tidak memenuhi standar lingkungan hidup.
Menurut Djumala, tuduhan UE tersebut bukan semata karena alasan kesehatan dan lingkungan hidup. "Tapi, lebih serius dari itu, kebijakan UE lebih bermotifkan politik perdagangan. UE sejak 2003 mulai menerapkan kebijakan renewable energy dengan menggunakan minyak nabati untuk produksi biofuel, yaitu rapeseed dan bunga matahari,” ujarnya.
Dalam hitungan ekonomi, ternyata sebagai bahan dasar pembuatan biofuel, rapeseed, dan bunga matahari lebih mahal dari kelapa sawit. Hal ini akan menurunkan daya saing rapeseed dan bunga matahari terhadap kelapa sawit.
Dia menuturkan karena kalah bersaing dengan sawit Indonesia dan untuk melindungi petani rapeseed dan bunga matahari, UE menerapkan kebijakan diskriminatif dengan membatasi penggunaan sawit sebagai bahan dasar biofuel.
Djumala yang juga pernah menjabat Duta Besar untuk Austria dan PBB di Wina mengungkapkan bahwa pada dasarnya di setiap lembaga dunia berlaku apa yang disebut anarki struktural yakni keadaan di mana sistem internasional bergerak dalam situasi anarki yang kuat akan mengambil manfaat lebih banyak dari yang lemah karena ketiadaan penataan dalam pendistribusian kekuasaan antarnegara.
"Di awal pembentukan WTO pada 1995 kekhawatiran seperti itu sempat mengemuka. Tapi seiring berjalannya waktu WTO mampu menunjukkan konsistensinya pada pilar rule-based approach dalam penyelesaian sengketa dagang," katanya.
Jika WTO konsisten berpegang pada semangat rule-based seperti itu, maka negara berkembang tak perlu khawatir terhadap tekanan politik negara maju dalam menyelesaikan sengketa dagang meski mereka menggunakan pretext non-ekonomi seperti dalih kesehatan dan lingkungan hidup.
Djumala mengingatkan pendekatan rule-based seperti ini bisa juga diperjuangkan dalam menghadapi gugatan UE terhadap kebijakan hilirisasi nikel Indonesia.
“Keputusan WTO yang berpegang pada rule-based approach dan taat hukum memberi harapan pada Indonesia untuk terus maju dalam menghadapi gugatan UE terhadap kebijakan Indonesia yang melarang ekspor nikel mentah. Dengan mempelajari aturan hukum WTO secara seksama, delegasi Indonesia tak perlu gentar menghadapi gugatan UE meski dengan tekanan politik sekali pun," ungkapnya.