Menguak Mitos Aturan Outfit Ngopi ke Coffee shop
Nabila Kayla Saphira January 23, 2025 02:04 AM
Hujan boleh mengguyur tanpa henti, tetapi antusiasme untuk keluar rumah tetap membara. Coffee shop kini bukan hanya tempat untuk menikmati secangkir kopi, melainkan juga menjadi ruang bagi banyak orang untuk mengekspresikan diri. Khususnya bagi anak muda, ngopi bukan hanya sekadar rutinitas, ia juga menjadi kesempatan untuk berbagi momen dan bahkan menunjukkan gaya pribadi. Namun, belakangan ini, muncul sebuah diskursus mengenai anggapan bahwa ada aturan tak tertulis terkait penampilan saat berada di coffee shop. Benarkah hal ini, atau hanya persepsi yang berkembang di kalangan masyarakat?
Pada Minggu (15/12), meskipun hujan deras turun tanpa henti, saya memutuskan untuk menyelami fenomena ini lebih dalam. Saya mengunjungi sebuah coffee shop di kawasan Kasihan, Bantul, untuk mencari tahu apakah benar ada aturan mengenai outfit saat ngopi.
Setelah memesan Vietnam drip untuk menghangatkan tubuh, saya duduk di sudut ruangan, mulai mengamati gaya berpakaian pengunjung. Beberapa di antaranya tampak datang berkelompok, sementara yang lainnya memilih duduk sendiri, menikmati kopi sambil menyelesaikan tugas.
Saya kemudian bertemu dengan Sabrina, seorang mahasiswi jurusan Ilmu Pemerintahan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), yang sedang menikmati waktu sendirian di kedai kopi tersebut. Sabrina berbagi pandangannya mengenai fenomena berpakaian di kedai kopi. Menurutnya, gaya berpakaian adalah hal yang tidak terlalu dipermasalahkan.
"Sebenarnya, saya nggak terlalu memikirkan apa yang saya kenakan. Selama nyaman dan simpel, itu sudah cukup. Kadang saya hanya ingin menikmati waktu santai atau mengerjakan tugas tanpa khawatir tentang penampilan," ujarnya.
Sabrina menambahkan bahwa penampilan bukanlah prioritas utama baginya di coffee shop, karena lebih fokus pada apa yang sedang dikerjakannya. "Bagi saya, penampilan itu bukan hal yang harus dipikirkan terlalu dalam. Yang penting saya merasa nyaman dan bisa melakukan apa yang saya mau," tambahnya dengan santai.
Kesimpulan dari pandangan Sabrina adalah bahwa bagi dirinya, penampilan bukanlah hal yang penting ketika berkunjung ke coffee shop. Sabrina lebih memilih berpakaian dengan cara yang nyaman, simpel, dan tanpa beban, karena fokusnya lebih pada kenyamanan diri dan aktivitas yang dilakukan, seperti menikmati waktu santai atau mengerjakan tugas. Penampilan bagi Sabrina bukanlah prioritas utama, asalkan ia merasa nyaman dan dapat melakukan apa yang diinginkan tanpa harus terlalu memikirkan apa yang dikenakan.
Lain cerita dengan Milati, seorang mahasiswi Psikologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Milati melihat fenomena berpakaian di coffee shop lebih dari sekadar soal kenyamanan.
"Di kalangan mahasiswa, saya melihat banyak orang yang datang ke coffee shop dengan berpakaian mengikuti tren atau bahkan berpakaian khusus untuk mendapatkan foto yang menarik untuk media sosial. Itu hal yang biasa, karena coffee shop sudah menjadi tempat berkumpul yang banyak dikunjungi anak muda," ujarnya.
Milati menyadari betul pengaruh media sosial dalam membentuk cara berpakaian orang, yang sering kali berhubungan dengan citra diri. "Saya amati, banyak orang yang datang ke coffee shop bukan hanya untuk ngopi, tetapi juga untuk menunjukkan gaya hidup mereka. Kadang, pakaian yang dikenakan lebih untuk mengekspresikan diri atau untuk menunjukkan status sosial di depan orang lain," tambah Milati, yang merasa bahwa lingkungan sekitar juga mempengaruhi cara berpakaian seseorang.
Kesimpulan dari pandangan Milati adalah bahwa ia melihat fenomena berpakaian di kedai kopi sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar kenyamanan pribadi. Menurutnya, banyak orang, terutama mahasiswa, yang berpakaian sesuai tren atau bahkan berpakaian khusus untuk berfoto dan berbagi di media sosial. Milati mengamati bahwa kedai kopi telah menjadi tempat berkumpul yang populer bagi anak muda, di mana pakaian sering digunakan untuk mengekspresikan gaya hidup atau menunjukkan status sosial. Selain itu, ia juga menyadari bahwa pengaruh lingkungan sekitar dan media sosial sangat besar dalam membentuk cara berpakaian seseorang, yang sering kali berkaitan dengan citra diri.
Berbeda dengan kedua narasumber sebelumnya, Vina, seorang mahasiswi hukum semester lima di Universitas Islam Indonesia (UII), sangat memperhatikan penampilannya saat datang ke coffee shop. "Bagi saya, penampilan itu penting, terutama ketika datang ke tempat-tempat umum seperti kedai kopi. Saya selalu memikirkan outfit dari atas hingga bawah. Semuanya harus matching," ungkap Vina.
Bagi Vina, berpakaian adalah cara untuk mengekspresikan diri dan menunjukkan citra diri yang diinginkan. "Saya nggak bisa kalau nggak merasa nyaman dengan penampilan saya sendiri. Bahkan sebelum keluar rumah, saya sudah merencanakan apa yang akan saya kenakan beberapa hari sebelumnya," lanjutnya dengan tegas.
Vina menambahkan bahwa bagi dirinya, penampilan bukan hanya soal estetika, tetapi juga cara untuk merasa lebih percaya diri di depan orang lain, terutama di tempat-tempat yang ramai. "Di coffee shop, selain menikmati kopi, saya merasa penting untuk menunjukkan siapa saya melalui penampilan. Media sosial juga mempengaruhi, karena orang ingin tampil menarik dan terlihat baik di mata orang lain," katanya.
Kesimpulan dari pandangan Vina adalah bahwa penampilan sangat penting baginya, terutama ketika berada di tempat-tempat umum seperti coffee shop. Vina melihat pakaian sebagai cara untuk mengekspresikan diri dan menunjukkan citra diri yang diinginkan. Baginya, penampilan bukan hanya soal estetika, tetapi juga tentang rasa percaya diri. Vina merasa perlu merencanakan pakaian yang akan dikenakannya dengan cermat, bahkan beberapa hari sebelumnya. Ia juga menyadari pengaruh media sosial dalam mendorong orang untuk tampil menarik dan terlihat baik di mata orang lain, terutama di tempat-tempat ramai seperti coffee shop.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fenomena berpakaian di coffee shop menggambarkan beragam perspektif tentang bagaimana individu mengekspresikan diri mereka. Beberapa orang, seperti Sabrina, lebih mengutamakan kenyamanan dan kesederhanaan dalam berpakaian, tanpa terlalu memikirkan penampilan, sementara Milati mengamati pengaruh media sosial yang mendorong orang untuk berpakaian sesuai tren atau untuk mendapatkan perhatian. Coffee shop kini menjadi ruang sosial di mana orang juga ingin menunjukkan gaya hidup dan status sosial mereka. Di sisi lain, Vina melihat penampilan sebagai cara untuk mengekspresikan diri dan meningkatkan rasa percaya diri, dipengaruhi oleh tuntutan sosial dan media sosial.
Nilai yang dapat dipetik dari fenomena ini adalah pentingnya kesadaran bahwa berpakaian adalah bentuk ekspresi diri yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kenyamanan pribadi, pengaruh sosial, dan media. Fenomena ini mengajarkan kita untuk menghargai keberagaman dalam cara orang mengekspresikan diri mereka, serta pentingnya menjaga keseimbangan antara mengikuti tren sosial dan tetap setia pada kenyamanan serta identitas pribadi. Bagi publik, manfaat yang dapat diambil adalah pemahaman bahwa setiap individu berhak memilih cara berpakaian yang sesuai dengan kepribadian mereka, tanpa tekanan dari lingkungan sosial ataupun media, serta pentingnya menciptakan ruang sosial yang inklusif di mana penampilan bukanlah faktor utama yang menilai kualitas atau nilai diri seseorang.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.