[EDISI IMLEK]
Orang-orang Tionghoa ikut serta melawan tentara Belanda waktu Revolusi Kemerdekaan. Di antaranya rela jadi penyelundup dan yang lainnya terbunuh.
Penulis: Petrik Matanasi, sejarawan tinggal di Jakarta, untuk Majalah Intisari edisi Februari 2022
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Seperti dalam Perang Saudara Spanyol (1936-1939), dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945-1949) juga ada pasukan semacam Brigade Internasional yang isinya orang-orang dari bermacam-macam bangsa.
Namanya International Volunteers Brigade (IVB) dan beranggotakan orang-orang (keturunan) berbagai macam bangsa Asia seperti Cina, Filipina, Malaysia, India, dan Pakistan.
Brigade itu, menurut laporan intelijen Kementerian Pertahanan RI 1947, bermarkas di Jalan Poncowinatan 50 Yogyakarta. Golongan orang Filipina dipimpin Ir. Estrada, golongan orang India dipimpin Abdulmadjid Khan, golongan orang Malaya dipimpin Adnan, dan golongan orang Tionghoa dipimpin Tonny Wen.
Brigade ini tak hanya punya kombatan yang ikut kontak senjata langsung dengan musuh. Mereka juga punya orang yang bergiat di bidang lain untuk bidang penerangan dan ekonomi juga.
Laporan intelijen itu juga menyebut: mereka yang turut berperang di medan Gombong semua orang-orang India. Sementara golongan orang- orang Tionghoa masih menjalani latihan hingga Oktober 1947.
Orang-orang India di garis depan bukanlah hal mengherankan. Di antara orang India yang mendukung Republik Indonesia itu ada juga pelarian tentara Inggris.
PRS Mani dalam Jejak Revolusi 1945 Sebuah Kesaksian Sejarah (1989:107) menyebut, 600 prajurit Inggris asal India yang melarikan diri dari kesatuan mereka pergi ke Yogyakarta. Mereka sering beroperasi sendiri-sendiri bersama gerilyawan Indonesia.
Sementara itu, golongan Tionghoa yang baru dalam pelatihan tentu karena mereka belum berpengalaman militer seperti orang-orang India tadi. Meski begitu, di luar brigade sukarelawan asing itu ada pula orang Tionghoa yang jadi kombatan untuk Republik Indonesia.
Kombatan Tionghoa di masa kemerdekaan
Masa setelah 1945 adalah masa-masa kacau di Indonesia. Rasa tidak aman bagi sebagian orang Tionghoa membuat mereka membangun pasukan paramiliter dengan nama Poh An Tui.
Pasukan ini semacam penjaga kampung. Tapi mereka sering dilengkapi senjata api oleh militer Belanda.
Sikap permusuhan sebagian orang Indonesia terhadap sebagian orang Tionghoa membuat mereka mudah didekati pihak Netherlands Indies Civil Administration (NICA) Belanda yang hendak menegakkan kembali kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Orang Tionghoa di Indonesia dianggap tidak menonjol dalam dunia militer – meskipun ada beberapa orang Tionghoa yang menjadi jenderal. Mereka lebih sering dikenal karena keunggulannya dalam dunia perdagangan atau industri.
Tapi jangan lupa, bicara tentang perang, dulu pada 1740, orang-orang Tionghoa di sekitar Batavia berani melawan VOC bahkan mengobarkan perang sampai ke Jawa Tengah.
Sejak zaman Hindia Belanda, beberapa orang Tionghoa telah tergabung dalam tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL). Di antaranya ada yang menjadi tenaga kesehatan, bantuan tempur artileri, infanteri dan penerbangan militer.
Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD (1989:4) mencatat beberapa perwira Tionghoa pada bagian kesehatan seperti: Oei Tiam Goan, The Bing Tjiauw, dan Laij Moek Fo.
Biasanya orang-orang ini memulai karier dari pangkat Officier van Gezondheid (perwira kesehatan) kelas dua. Pangkat itu kira-kira setara letnan.
Selain sebagai dokter militer ada juga yang dipekerjakan sebagai apoteker militer. Selain mereka bertiga ada pula Samuel Willem Arthur Tjon Akien dan Walther Herman Tjon Pian Gie. Keduanya adalah dokter tentara.
Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit (1995:387) menyebut Tjon Akien mati muda karena Flu Spanyol pada 1918.
Banyak perwira KNIL asal Indonesia baik yang Tionghoa maupun dari etnis-etnis lain yang kemudian terus berada di pihak militer Belanda di masa Revolusi 1945-1949. Dari jajaran artileri, terdapat Yoe Po Sioe, berdinas di bagian artileri dengan pangkat kapten dan berkarier sejak 1931 di KNIL dan pernah ditempatkan pada artileri gunung.
Yoe Po Sioe yang belakangan jadi tawanan Jepang mencapai pangkat kapten artileri. Dari jajaran infanteri, ada Eduard Philip Yap Tjong yang berkarier sejak 1911 dan pernah ditempatkan di Korps Marsose (pasukan khusus anti gerilya) serta Barisan Madura (pasukan bantuan) di Jawa Timur.
Henry Oscar King In Liem juga perwira KNIL yang pernah jadi tawanan perang di Miyata dan belakangan sempat menjadi ajudan Sultan Hamid II dari Pontianak.
Dari matra udara terdapat sersan milisi Liem Yoe Hien dan sersan milisi Lie Kok Hian. Sayang, keduanya harus mati muda.
Liem Yoe Hien gugur karena kecelakaan di Darwin sementara Lie Kok Hian hilang bersama pesawatnya pada 24 Agustus 1944 di dekat Kepulauan Tanimbar.
Di antara KNIL Tionghoa ada pula yang sampai terdampar ke Australia pada Perang Dunia II. Arsip Muhammad Bondan 427 (koleksi ANRI) menyebut nama Kopral Lim Bin Sun (25 tahun) dan Prajurit Liong A Fat (26 tahun) mundur dari KNIL.
Keduanya punya sikap yang sama dengan ratusan serdadu KNIL asal Indonesia lainnya, yang dengan caranya mendukung kemerdekaan Indonesia.
Keduanya termasuk serdadu yang minta dipulangkan dan enggan ikut serta melawan Republik Indonesia di bawah komando Belanda. Di Australia pada Oktober 1945 terjadi pengunduran diri massal serdadu KNIL Indonesia dari kedinasan KNIL dan minta dipulangkan ke Indonesia.
Lim Bin Sun dan Liong A Fat bersama serdadu dan pelaut Indonesia yang merepotkan para pejabat militer Belanda di Australia itu adalah orang-orang dari Indonesia yang pertama-tama melawan kedatangan kembali Belanda ke Indonesia.
Di masa Revolusi tidak sedikit orang Tionghoa yang ikut membantu Republik. Bahkan ada yang angkat senjata. Tidak sedikit juga yang kemudian mengorbankan nyawanya untuk Republik Indonesia.
Sekitar Pertempuran Lima hari Lima Malam, Asnawi Mangkualam punya anak buah keturunan Tionghoa. Namanya Sing.
Asnawi Mangkualam dalam Perang Kota 120 Jam (1985:124) menyebut Sing ikut serta bertempur di bawah Sersan Mayor Zubir dan Letnan Asnawi. Sing menyandang sepucuk karabin LE ikut melepaskan tembakan ke arah tentara Belanda di sekitar Gedung BPM.
Akan tetapi pada 1 Januari 1947, Sing terkena tembakan dan roboh. Sing yang sekarat sempat merasa kehausan dan setelah diberi air minum dia dipulangkan ke keluarganya di Lorong Roda dalam kondisi sekarat. Esoknya Sing dinyatakan meninggal.
Sing bukan satu-satunya orang Tionghoa yang jadi kombatan pro Republik di masa revolusi kemerdekaan. Yunus Yahya dalam Peranakan Idealis dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya (2002) mencatat nama Ferry Sie King Lien—seorang remaja yang lahir 1933 dan gugur melawan tentara Belanda pada 1949 (Kita tahu tak semua orang Indonesia mau dan berani melawan tentara Belanda di masa itu).
Ferry kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Solo. Iwan Santosa dalam Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran (2014:99-102) mencatat banyak nama dan beberapa organisasi Tionghoa seperti BadanPemberontak Rakyat Tionghoa di Surakarta, Laskar Tionghoa Indonesia di Pemalang.
Di Magelang terdapat Kho Sien Hoo alias Surjo Budihandoko yang menjadi komandan laskar di Magelang. Dia pernah belajar di akademi militer Whampoa. Ketika Palagan Ambarawa akhir 1945 dia ikut serta melawan tentara Inggris.
Tak semua anggota Poh An Tui benar-benar setia kepada Belanda. Iwan Santosa menemukan cerita menarik di Kudus.
Poh An Tui daerah itu kerap mendapat senjata dan amunisi dari militer Belanda, namun senjata dan amunisi itu lalu diberikan oleh orang Poh An Tui itu ke laskar Matjan Poetih yang pro Republik Indonesia. Poh An Tui Kudus pura-pura menembaki pasukan Republik untuk mengelabui pihak Belanda.
Tonny Wen dan penyelundup lainnya
Setelah 1947, perairan Indonesia diblokade oleh armada laut Belanda. Pihak Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) tak mampu menghalau blokade tersebut karena minimnya peralatan.
ALRI pun juga kemudian terlibat dalam upaya penyelundupan. Mereka punya sosok penyelundup legendarisnya bernama Lie Tjeng Tjoan alias Jhon Lie. Bersama kapal motor The Outlaws John Lie kerap lolos dalam penyelundupannya.
Jhon Lie pernah dipekerjakan militer Inggris waktu Perang Dunia II, sebelumnya dia awak kapal niaga KPM. Dia punya pengetahuan militer dan perang laut.
Selain itu dia pernah singgah ke Singapura sebelum kembali ke Indonesia. Di sana dia belajar menyapu ranjau. Dia sempat dapat pangkat rendah Kelasi kelas Tiga di ALRI sebelum dijadikan perwira ALRI Cilacap dan akhirnya memimpin The Outlaws.
John Lie, dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan IV(1991:229), mengaku pernah diminta oleh Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Kolonel Raden Soebijakto dan Panglima Tentara Sumatra Kolonel Alex Kawilarang untuk menyelundupkan alat perhubungan, senjata, dan bahan keperluan lainnya dari Singapura ke Sumatera
Penyelundupan yang dilakukan Indonesia biasanya menjadikan Singapura sebagai pasar untuk menjual barang. Singapura kala itu ada pasar gelap senjata.
Sebagai koloni Inggris, bukan tidak mungkin senjata sisa perang milik tentara Inggris bisa diperdagangkan. Hasil penyelundupan itu adalah untuk dana perjuangan Republik.
Andi Muhammad Jusuf, yang pernah jadi Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) era 1978-1983 juga pernah menjadi penyelundup untuk Republik Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan.
Tonny Wen juga memainkan peranannya sendiri yang tak kalah penting bagi Republik Indonesia dengan caranya, menjadi penyelundup. Di masa revolusi kemerdekaan Indonesia, penyelundupan halal dalam revolusi.
Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008:24) menyebut pada 1948, Tonny Wen turut serta dalam menyelundupkan candu ke Singapura yang hasilnya untuk membeli senjata bagi Republik Indonesia.
Dalam penyelundupan itu Tonny Wen bersama Soebeni Sosrosepoetro, Karkono Komajaya dan Lie Kwet Tjien.
Barkali-kali Tonny Wen melakukan aksinya. Pada penyelundupan keduanya, Tonny membawa 2,5 ton candu.
Dalam aksi penyelundupan lainnya, dia membawa 50 kilogram. Penyelundupan itu memakai pesawat amfibi Catalina. Di Jawa Timur bagian selatan potensial dijadikan tempat pendaratan pesawat amfibi tersebut.
Seperti di Campurdarat, dekat Tulungagung. Tonny Wen berangkat dari sana ke Singapura dan biasanya kembali dengan mendarat di sana juga.
Dia pergi bawa barang dagangan dan pulang membawa senjata-senjata untuk Republik. Seperti yang dibutuhkan pihak Republik. Apa yang dilakukan Tonny Wen kira-kira mirip dengan yang dilakukan John Lie.
Tonny Wen, yang kelahiran Sungai Liat, Bangka, tahun 1911 sebagai Boen Kin To, sebelum pernah dikenal sebagai pemain sepakbola. Yunus Yahya dalam buku Catatan Seorang WNI: Kenangan, Renungan & Harapan (1989:8) menyebut dia adalah idola remaja sebagai bintang sepakbola sebelum Perang Dunia II.
Dia anggota perkumpulan sepakbola keturunan Cina (UMS) di Petak Sin Kian, Jakarta. Adam Malik dalam Mengabdi Republik Volume 2 (1978:5) menyebut bahwa Tonny Wen adalah pemain tengah dari sebuah kesebelasan di kota Solo.
Tonny hidup berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain di Jawa. Dari Jakarta dia pernah tinggal di Solo.
Waktu zaman Jepang Tony Wen bekerja sebagai penerjemah. Yong Mun Cheong dalam The Indonesian Revolution and the Singapore Connection, 1945-1949 (2003:130) menyebut dia pernah aktif di Perserikatan Rakjat dan Boeroeh Tionghoa di Surakarta sebagai manajer bagian olahraga.
Setelah Jepang kalah, dia menjadi wakil presiden dalam serikat itu. Setelah Indonesia merdeka, Tonny Wen memperjelas dukungannya kepada Republik.
“Dia terang-terangan menjawab keragu-raguan masyarakat Tionghoa dengan menyatakan berkiblat ke Republik yang baru,” kata Oei Tjoe Tat dalam Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno (1992:52).
Dia dekat dengan golongan buruh dan masyarakat biasa. Pada masa revolusi, dia juga pemimpin dari Barisan Pemberontak Tionghoa (BPTH) di Solo.
Tonny Wen pernah pula terjun ke dunia dagang. Dia pernah menjadi pemasok barang untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) di masa-masa sulit dalam revolusi kemerdekaan.
Setelah tentara Belanda angkat kaki pada 1950, Tonny Wen menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI). Dia pernah duduk di DPR dari 1954 hingga 1956 dan pernah pula menjadi anggota Konstituante.
Dunia olahraga tak ditinggalkan Tonny Wen. Dia sendiri ikut mendirikan Persatuan Basketball Seluruh Indonesia (Perbasi) pada 23 Oktober 1951 dan menjadi ketua pertama Perbasi.
Pejuang yang pernah tinggal di Jalan Djawa 62A Menteng, Jakarta, ini meninggal dunia pada 30 Mei 1962 karena sakit dan dimakamkan di Menteng Pulo, Jakarta.
John Lie setelah tentara Belanda angkat kaki dari Indonesia kemudian meneruskan karier di Angkatan Laut dengan pangkat terakhir Laksamana Muda. John Lie yang religius ini kemudian punya nama Indonesia sendiri: Yahya Daniel Dharma.
Setelah Orde Baru, atas jasa-jasanya kepada Republik Indonesia, Jhon Lie ditasbihkan menjadi salah satu Pahlawan Nasional.
Selain Tonny Wen dan John Lie masih banyak penyelundup Tionghoa lainnya yang berjuang untuk Indonesia. Iwan Santosa (2014:104-107) menyebut nama Tang Kim Teng yang menjadi penyelundup senjata dari Singapura ke Pekanbaru.
Senjata itu adalah bekas pakai tentara Jepang yang disita militer Inggris dan mangkrak di Singapura. Kim Teng menyelundupkan senjata tersebut dengan menimbunnya garam curah hingga tak terlihat ada senjata di kapalnya.
Dengan itu Kim Teng kerap menembus blokade laut Belanda. Kim Teng belakangan membuka kedai kopi setelah tentara Belanda angkat kaki dari Indonesia.
Banyak perwira militer Indonesia di zaman revolusi yang merasa terbantu oleh orang-orang Tionghoa yang rela jadi penyelundup. Kebanyakan penyelundup Tionghoa Republiken ini tak dikenal dan dikenang oleh negara kesatuan Republik Indonesia.
Penyelundup Tionghoa yang paling diingat orang adalah Robby Tjahyadi si penyelundup mobil mewah era 1970-an.
Banyak orang Tionghoa dan orang Indonesia yang pada zaman perang melawan Belanda kemudian tidak muncul ke permukaan dan hanya jadi orang biasa yang terlupakan oleh negara yang dulu diperjuangkannya.
Meski begitu, pada masa-masa berikutnya banyak juga orang Tionghoa yang berjasa membesarkan nama Indonesia di lapangan bulu tangkis dunia, meski orang Tionghoa di Indonesia telah menjadi korban diskriminasi.