Mengapa Siswa Indonesia Sulit Menguasai Bahasa Inggris?
Emmanuel Ezra Samosir February 02, 2025 01:03 AM
Di era globalisasi, kemampuan berbicara dan berkomunikasi dalam bahasa Inggris menjadi salah satu keterampilan penting yang harus dikuasai oleh semua orang, terutama oleh siswa SMA. Kemampuan berbahasa Inggris dengan fasih memberikan segudang manfaat bagi mereka yang bisa menguasainya, seperti memudahkan pergaulan dengan masyarakat luar negeri, mempermudah memperoleh informasi, dan menambah rasa percaya diri kita. Dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia, terutama bagi siswa Indonesia, kurikulum merdeka, yang notabene menghadirkan gaya belajar ala Finlandia, kerja sama dengan pihak luar negeri semakin meningkat, sehingga paparan penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari semakin meningkat.
Seiring berjalannya waktu, siswa Indonesia, yang mayoritas berasal dari kalangan Gen Z, semakin mahir dalam berbicara dan mengadopsi slang bahasa Inggris dari konsumsi internet, yang kemudian mereka gunakan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sayangnya, banyak siswa yang kesulitan belajar bahasa Inggris. Menurut hasil EF Standard English Test (EF SET) tahun 2022, Indonesia menduduki peringkat ke-81 dari 111 negara yang menerapkan tes tersebut. Ini menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia, terutama siswa SD-SMA, yang kesulitan menguasai bahasa Inggris. Sebenarnya, apa yang menjadi hambatan utama siswa Indonesia dalam hal mempelajari dan menguasai bahasa Inggris?
Mari kita bahas permasalahan ini dari akar-akarnya.
Faktor Internal
1. Minimnya Kepercayaan Diri Anak
Ketika kita menggunakan bahasa Inggris saat kita berbicara dengan teman kita, mereka akan merasa minder dan malu-malu. Mereka pun enggan berbicara dalam bahasa Inggris. Mereka akan mengelak, dengan dalih “ndak bisa bahasa Inggris”. Hal ini sangat menghambat perkembangan kemampuan anak dalam berbicara bahasa Inggris. Kurangnya kepercayaan diri anak dalam berbicara bahasa Inggris muncul dari minimnya praktik dan pembiasaan penggunaan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari anak di luar lingkungan sekolah. Meskipun kebanyakan anak Gen Z sudah biasa menggunakan slang bahasa Inggris ,seperti for real (beneran) dan sus (mencurigakan), nyatanya mereka tidak percaya diri ketika mereka ingin berbincang dengan orang asing.
2.Perbedaan Kemampuan Anak
Setiap anak pastinya memiliki talenta dan kemampuan tersendiri. Ada anak yang sangat kuat dalam ilmu eksakta, dan anak yang bertalenta di ilmu non-eksakta. Hal ini berarti bahwa banyak anak yang sangat berbakat dan bertalenta di mata pelajaran tertentu malah mengalami kesulitan ketika belajar bahasa Inggris. Sebaliknya, anak-anak yang tidak pintar dalam ilmu eksakta ternyata sangat mahir dalam mempelajari dan menggunakan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, hal ini menimbulkan tidak meratanya kemampuan berbahasa Inggris di kalangan siswa.
3.Kebiasaan Mengkonsumsi Sosial Media tanpa Memahami Apa yang Dibicarakan
Saat ini, mayoritas siswa sekolah adalah Gen Z, generasi yang diwanti-wanti lebih mudah menggunakan teknologi jika dibandingkan dengan generas-generasi sebelumnya. Salah satu teknologi yang paling sering digunakan oleh Gen Z adalah sosial media, seperti Instagram, Tiktok, Youtube, dan Twitter (alias X). Di laman platform medsos tersebut terdapat banyak video-video berdurasi pendek, yang dikenal dengan istilah Shorts. Video-video berdurasi 1 menit ini sering kali menampilkan konten berbahasa Inggris, mengingat akun pemiliki video itu adalah warga negara asing. Seharusnya, ketika anak semakin sering mengkonsumsi video-video semacam ini, mereka menjadi lebih sering terpapar pengaruh bahasa Inggris, dan mereka pun menjadi lebih fasih dalam menggunakan bahasa Inggris. Sayangnya, kenyataannya jauh dari kata ideal. Banyak siswa SMA, yang notabene merupakan pengguna medsos, ternyata belum fasih menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan mereka. Meskipun mereka mengaku sering mengkonsumsi konten berbahasa Inggris, mereka tidak meresapi pemahaman yang benar tentang penggunaan bahasa Inggris. Alhasil, mereka pun menggunakan kata-kata dalam bahasa Inggris yang dicampur ke dalam perbincangan bahasa Indonesia.
Contoh kalimat campuran Indonesia-Inggris yang sering diucapkan anak zaman sekarang adalah, "I tidak suka sama you, soalnya you kurang slay dan nggak trendy."
Kalimat di atas menunjukkan kurangnya kematangan siswa dalam memahami penggunaan bahasa Inggris secara utuh, karena mereka hanya mengambil sebagian frasa bahasa Inggris dari konten sosial media yang mereka anggap keren.
Selain faktor internal, siswa sekolah pun juga mengalami pengaruh dari lingkungan sekitarnya. Ada faktor yang menunjang kemampuan anak menguasai bahasa Inggris, tetapi lebih sering pengaruh lingkungan sekitar siswa tersebut justru membuat anak semakin sulit menguasai bahasa asing tersebut. Mulai dari kurikulum, gaya belajar, dan juga pengaruh budaya, ada banyak faktor yang mempengaruhi seberapa besar kemampuan seorang siswa dalam menguasai bahasa Inggris. Mari kita bahas satu per satu faktor eksternal tersebut.
Faktor Eksternal
1. Gaya Belajar-Mengajar yang Tidak Sesuai
Untuk bisa menguasai Bahasa Inggris, siswa harus terlebih dulu memahami kaidah-kaidah kebahasaan Bahasa Inggris. Dalam pembelajaran Bahasa Inggris, terdapat empat fokus utama yang ditekankan, yaitu Grammar, dimana siswa mempelajari kosakata Bahasa Inggris yang digunakan sehari-hari, termasuk cara menggunakan kosakata tersebut dengan benar, kemudian Speaking, dimana siswa belajar melafalkan kosakata Bahasa Inggris dengan tepat dan lugas, lalu Writing, dimana siswa belajar menuangkan pemahaman Bahasa Inggris mereka ke dalam tulisan dengan bentuk penggunaan kosakata yang benar, dan Listening, dimana siswa belajar untuk mendengar, mencerna, dan mengartikan perkataan yang diucapkan oleh penutur Bahasa Inggris asli (native speaker).
Sayangnya, penguasaan Bahasa Inggris tidak bisa hanya didasari pemahaman teoritis. Diperlukan juga kemampuan praktis berbicara Bahasa Inggris untuk mengimbangi pemahaman teoritis. Hal ini sering kali diabaikan oleh institusi-institusi pendidikan, yang lebih menekankan nilai ujian dibanding kemampuan praktis. Siswa lebih sering dituntut untuk menguasai tata bahasa dan menghafal kosa kata ketimbang melatih kemampuan berbicara bahasa Inggris dengan fasih.
2.Akses dan Fasilitas Tidak Memadai
Sama seperti semua ilmu, diperlukan adanya fasilitas yang memadai untuk membantu siswa meresapi pengetahuan yang diajarkan kepada mereka oleh guru sekolah. Jika siswa tidak diberikan fasilitas yang baik, siswa dan guru akan mengalami hambatan, baik dari segi fisik maupun psikis, dalam hal meresapi pemahaman bahasa Inggris. Sayangnya, banyak sekolah dan institusi pendidikan di Indonesia yang belum memiliki infrastruktur pendukung pembelajaran yang mapan. Banyak sekolah, terutama di ujung pelosok Tanah Air yang sangat kekurangan perabotan dan fasilitas belajar. Tak jarang mereka tidak memiliki kursi, meja, papan tulis, dan perabotan lainnya yang lazim ditemui di sekolah. Terlebih dari itu, banyak sekolah yang kekurangan bahan ajar yang mampu memenuhi standar kompetensi bahasa Inggris. Selain kekurangan bahan ajar, banyak sekolah di pelosok Nusantara juga kekurangan tenaga pendidik yang kompeten di bidang ilmu bahasa Inggris.
Mengingat bahwa kondisi ideal untuk memeratakan kemampuan berbahasa Inggris adalah bahwa semua siswa, tanpa mempedulikan latar belakang sosial-ekonomi, bisa memperoleh pendidikan yang berkualitas dan memadai, kondisi infrastruktur penghubung siswa ke sekolah, seperti jalan dan jembatan, harus diperhatikan. Merujuk data survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024, tingkat penetrasi internet di Indonesia sudah mencapai 79,5%, atau sekitar 221 juta orang. Meskipun ini adalah berita yang baik, masih banyak daerah di pelosok Nusantara yang belum tersentuh paparan internet. Para siswa di daerah-daerah ini harus menempuh perjalanan yang jauh, sering kali melewati jalan dan jembatan yang rusak, hanya untuk bisa menimba ilmu di sekolah, terutama ilmu Bahasa Inggris.
3.Pengajar Tidak Kompeten
Usaha siswa untuk memahami ilmu dimulai di sekolah. Siswa tentunya akan sangat bergantung kepada tuntunan guru, terutama ketika ia ingin memahami konsep-konsep dasar ilmu tersebut. Tidak hanya dalam memahami materi saja, tuntunan guru juga sangat diperlukan dalam membentuk pola pikir yang diperlukan anak untuk bisa memahami materi tersebut. Sayangnya, masih banyak guru di Indonesia yang tidak memiliki kompetensi dan keahlian memadai dalam mengajarkan ilmu Bahasa Inggris kepada murid-muridnya. Guru-guru di sekolah cenderung hanya sekedar membaca dari materi ajar yang disediakan, tanpa memberikan perhatian dan tuntunan lebih kepada siswa yang memang ingin tahu lebih tentang materi yang ia ajarkan. Di zaman sekarang, siswa, yang merupakan anak Gen Z, memiliki rasa ingin tahu yang lebih, sehingga memberikan hafalan saja tidak akan cukup untuk membantu mereka belajar. Siswa juga perlu dituntun dalam memahami sebab-akibat dan penerapan dari materi yang mereka pelajari. Misalkan, ada anak yang bertanya tentang perbedaan Past Tense (kalimat lampau) dan Future Tense (kalimat masa depan). Ia juga ingin tahu bagaimana melafalkan dan menggunakan frasa-frasa tersebut dengan benar dan sesuai konteks. Naasnya, sistem pendidikan Indonesia masih menekankan nilai ujian dan latihan soal, bukan kemampuan praktis, sehingga guru-guru enggan memberikan usaha lebih agar murid-murid mereka bisa menguasai bahasa Inggris sampai mendalam.
Pengaruh Budaya Masyarakat
Kita semua tentu mengetahui bahwa Indonesia adalah negara dengan beragam budaya. Pengaruh kebudayaan daerah masih kuat dalam diri siswa SMA, terutama dalam hal penggunaan bahasa daerah. Ada banyak bahasa daerah yang dituturkan oleh siswa Indonesia, masing-masing dengan tata bahasa dan pelafalan yang unik. Siswa pun menjadi lebih terbiasa dengan bahasa daerah mereka, disamping dengan bahasa Indonesia yang adalah bahasa nasional. Jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia dan bahasa daerah, bahasa Inggris memiliki tata bahasa dan pelafalan yang jauh lebih rumit, dan tidak jarang banyak siswa yang terkecoh dan salah ketika mencoba melafalkan frasa-frasa bahasa Inggris. Kesalahan ini, ditambah dengan minimnya interaksi dengan warga luar negeri, membuat siswa beranggapan bahwa tidak ada gunanya mereka susah payah belajar bahasa Inggris. Mereka menilai bahwa bahasa Inggris sulit untuk dikuasai dan tidak ada kaitannya dengan kehidupan mereka.
Berdasarkan faktor-faktor yang sudah disebutkan di atas, kita akhirnya memahami apa saja hal-hal yang menghambat siswa Indonesia dalam menguasai dan menerapkan ilmu bahasa Inggris di kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya perubahan metode ajar dan belajar di lingkungan sekolah, barangkali kemampuan siswa Indonesia dalam berbahasa Inggris akan semakin menurun. Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk mengubah hal ini?
Solusi
Berikut adalah beberapa solusi yang bisa diterapkan oleh siswa, sekolah, dan keluarga, mulai dari segi praktis, sampai ke segi konseptual, demi meningkatkan tingkat penguasaan bahasa Inggris oleh siswa Indonesia.
Ubah Mental Siswa
Sebenarnya, mental siswa bisa diubah, asalkan ada usaha konsisten yang diiringi dengan pembiasaan diri, dengan maksud membekali anak dengan kemampuan beradaptasi dengan arus globalisasi. Dalam hal ini, anak diajar untuk menyukai bahasa Inggris, bukannya malu dan enggan berbicara dalam bahasa asing. Jika anak sudah biasa terpapar bahasa Inggris sejak pendidikan dininya, ia pun akan lebih mudah meresapi dan menerapkan ilmu yang ia terima dari gurunya di sekolah, tidak hanya dalam pemahaman teoritis semata, tetapi juga dalam hal mempraktekannya, dengan berbicara dalam bahasa Inggris. Semakin mental anak tersebut mengalami perubahan positif, ia akan semakin giat untuk belajar, dan akan makin percaya diri membiasakan berbicara dalam bahasa Inggris.
2.Tekankan Praktik dan Berpikir Kritis dalam Pendidikan
Untuk dapat menguasai ilmu bahasa Inggris, siswa harus bisa menggapai standar kompetensi tertentu. Dalam hal ini, ada baiknya jika pihak sekolah tidak terlalu menitikberatkan aspek pemahaman teoritis, melainkan lebih ke aspek praktik dan kemampuan berpikir kritis. Di ruang kelas, guru bisa menyediakan permainan interaktif, baik dalam bentuk fisik maupun melalui gawai , sehingga siswa menjadi lebih terbiasa dengan materi yang diajarkan. Perlu diingat, bahwa pihak sekolah harus bisa menyesuaikan metode belajar siswa dengan perkembangan zaman, terutama dalam hal penggunaan internet untuk menunjang pembelajaran. Selain praktik, siswa juga dilatih berpikir kritis, dimana mereka menjadi terbiasa memecahkan soal-soal dalam Bahasa Inggris, terutama soal-soal dalam bentuk paragraf. Harapannya, siswa tidak hanya mampu berbicara dalam Bahasa Inggris dengan lancar, melainkan mampu bernalar kritis dan memecahkan masalah menggunakan Bahasa Inggris. Mereka juga diharapkan mampu menerima kritik dan saran tanpa merasa terisolasi karena kesalahannya, dan juga menerima pujian tanpa menjadi abai dan cenderung meremehkan soal berBahasa Inggris.
3.Nyalakan Motivasi Anak
Sering kali siswa merasa tidak termotivasi untuk belajar Bahasa Inggris karena ia tidak melihat dan merasakan manfaat dari ilmu itu sendiri. Ia berpendapat bahwa tidak ada gunanya menghabiskan waktu berusaha menguasai ilmu yang tidak membawa manfaat bagi hidupnya. Maka dari itu, sebaiknya guru menuntun anak untuk lebih menghargai manfaat dan keuntungan yang dapat ia peroleh jika ia menguasai Bahasa Inggris. Ia bisa menambah kepercayaan diri, lebih mudah memahami konten media sosial, menorehkan prestasi sekolah di bidang Bahasa Inggris, dan bisa berbincang dengan orang asing yang ia temui. Apapun itu itu manfaatnya, siswa dituntun untuk membuang pola pikir yang enggan belajar, diganti dengan pola pikir positif, dimana Bahasa Inggris menjadi ilmu yang memudahkan hidupnya kelak.
Kesimpulan
Pendidikan tidak akan pernah berhenti sepanjang hayat kita. Kita akan terus belajar, dan pendidikan siswa harus selalu diperhatikan, karena pendidikan itu akan membentuk persepsi anak tentang dunia sekitarnya, dan bagaimana ia menyikapi hal itu. Sama seperti menguasai hal baru, menguasai ilmu Bahasa Inggris bukanlah sesuatu yang bisa terjadi serta merta. Tidak semua orang dituntut menjadi poliglot yang bisa berbicara Bahasa Inggris dengan sangat mahir. Ada hal yang bisa dikendalikan, dan ada hal yang tidak bisa kita kendalikan, seperti talenta dan bakat yang setiap anak miliki.
Sebagai siswa sekolah, mulai dari SD sampai SMA, kita harus memiliki kesadaran dari dalam diri kita, bahwa belajar adalah hak dan kewajiban. Hal itu berlaku dalam pembelajaran setiap ilmu, termasuk ilmu Bahasa Inggris. Mari kita buka lapang hati dan pikiran kita, supaya kita semakin terbuka terhadap didikan dan ajaran yang kita terima setiap harinya. Ingatlah, bahwa ilmu yang kita tuntut sekarang akan menjadi fondasi yang memampukan kita untuk beradaptasi dan meraih kesuksesan di masa depan.