Oleh: Hendardi (*)
TRIBUNNERS - Ubaidilah Badrun, aktivis 98 dan dosen Universitas Negeri Jakarta dicopot dari jabatannya sebagai Ketua Departemen Sosiologi tanpa alasan yang jelas.
Aktivisme Ubaid yang berulang kali menyasar dugaan korupsi dan nepotisme keluarga Jokowi diduga menjadi salah satu pemicu utama pencopotannya yang tidak lazim.
Sekalipun secara normatif Rektor memiliki kewenangan, tetapi tidak ada alasan kuat yang bisa diterima karena selama menjabat Ubaid justru berkinerja baik dan mebubuhkan sejumlah prestasi bagi program studi yang dipimpinnya.
Rektor UNJ bisa jadi tidak tahu bahwa Jokowi bukan lagi sebagai Presiden RI, sehingga aktivisme Ubaid yang kritis terhadap keluarga Jokowi, mesti dibungkam.
Rektor UNJ masih merasa perlu melayani Jokowi dan keluarganya. Pembungkaman pasif pada para akademisi dan aktivis menjadi cara untuk melemahkan perlawanan, kritisisme dan aktivisme yang dipraktikkan Jokowi saat menjabat.
Hanya segelintir guru besar dan akademisi yang tetap gigih bersuara meski dihadapkan pada tekanan dan pembungkaman pasif.
Jika pembungkaman aktif dilakukan dengan kriminalisasi kebebasan berpendapat yang banyak menimpa aktivis HAM, aktivis bantuan hukum dan lingkungan, pembungkaman pasif umumnya dialamatkan pada akademisi dan tokoh masyarakat.
Caranya dengan menghambat laju karir, misalnya untuk menjadi guru besar, atau mencopot jabatan di dalam kampus.
Rektor lebih banyak menjadi tangan kekuasaan selama Jokowi menjabat dan selama musim Pemilu dan Pilkada.
Baik untuk mengendalikan aktivisme kampus maupun menyediakan dalil-dalil pembenaran atas tindakan sebuah rezim. Pembungkaman pasif terbaru bagi kalangan kampus adalah iming-iming konsesi tambang, melalui agenda revisi superkilat UU Minerba yang sedang berlangsung.
Merujuk Indeks HAM SETARA Institute 2024, skor indikator kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah 1,1, menurun 0,2 poin dari Indeks HAM 2023 pada skla 1-7.
Sementara Economist Intelligence Unit (EIU) yang merilis Indeks Demokrasi negara-negara di dunia, menempatkan Indonesia pada peringkat 56 dengan skor 6,53 di 2023 turun dua tingkat dari 2022.
Kondisi demokrasi dan kebebasan sipil tidak akan berubah di Era Prabowo Subianto.
Selain beban pelanggaran hukum dalam meraih kekuasaan dengan mengakali berbagai aturan melalui Mahkamah Konstitusi, Prabowo Subianto juga tidak memiliki imajinasi pemajuan demokrasi dan hak asasi manusia, sebagaimana tergambar pada 100 hari kepemimpinannya.
Tidak ada peta demokrasi yang dirancang, tidak ada agenda HAM disusun dan tidak ada tanda supremasi hukum akan digdaya. Alih-alih memperkuat supremasi sipil, Prabowo Subianto justru mendorong supremasi militer dengan melibatkan sebanyak dan seluas-luasnya purnawirawan, pejabat dan anggota TNI aktif dalam urusan-urusan sipil.
*) Ketua Dewan Nasional SETARA Institute