Undang-undang Pemilu Bermasalah, Undang-undang Pilkada Apalagi
Didik Supriyanto February 04, 2025 01:43 PM
Selama sepuluh tahun terakhir kita punya dua undang-undang untuk mengatur penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, pemilu presiden dan wakil presiden, pemilihan gubernur dan wakil gubernur, serta bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota. Dua undang-undang itu adalah UU No 7/2017 dan UU No 1/2015.
Nama lengkap UU No 7/2017 adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Undang-undang ini digunakan sebagai dasar penyelenggaraan pemilu anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) dan pemilu presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019 dan Pemilu 2024 lalu.
UU No 1/2015 nama lengkapnya panjang sekali: Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota, Menjadi Undang-undang. Undang-undang ini digunakan sebagai dasar penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur, bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota) sepanjang 2015-2024.
UU No 7/2017 merupakan penggabungan atau kodifikasi dari tiga undang-undang: 1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU No 42/2008); 2) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU No 15/2011), dan; 3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU No 8/2012).
Karena UU No 7/2017 adalah penggabungan UU No 42/2008, UU No 15/2011, dan UU No 8/2012, sebetulnya materi muatan undang-undang ini sudah digunakan untuk mengatur penyelenggaraan Pemilu 2009 dan 2014. Jadi, UU No 7/2017 sesungguhnya sudah dilewati oleh empat pemilu; Pemilu 2009, Pemilu 2014, Pemilu 2019, dan Pemilu 2024.
Ingat ya, pada Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 penyelenggaraan pemilu presiden dipisah dari pemilu legislatif. Lalu pada Pemilu 2019 dan Pemilu 2024, penyelenggaraan pemilu presiden disatukan atau diserentakkan dengan pemilu legislatif. Itulah sebabnya tiga undang-undang (UU No 42/2008, UU No 15/2011, dan UU No 8/2012) disatukan. Kan tidak logis dan pasti menimbulkan banyak masalah di lapangan, pemilunya serentak tapi undang-undangnya terpisah.
Sayangnya penggabungan atau kodifikasi ketiga undang-undang tersebut dilakukan asal-asalan atau asal menggabungkan, sehingga UU No 7/2017 melahirkan banyak masalah. Kekurangan dan kesalahan yang muncul dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden 2009 dan 2014, yang menggunakan UU No 42/2008, tidak diperbaiki dalam UU No 7/2017; demikian juga dengan kekurangan dan kesalahan yang muncul dalam penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2009 dan 2014 juga tidak diperbaiki dalam UU No 7/2017.
Sebetulnya, saat persiapan dan pembahasan RUU Pemilu (yang kemudian menjadi UU No 7/2017), beberapa kelompok masyarakat sipil yang peduli terhadap isu demokrasi dan pemilu sudah menyampaikan sejumlah catatan perbaikan; demikian juga kalangan akademisi. Namun pembentuk undang-undang mengabaikan. Disibukkan oleh urusan lain atau sengaja tidak segera dibahas, maka setelah waktu mepet, UU No 42/2008, UU No 15/2011, dan UU No 8/2012 digabungkan begitu saja menjadi UU No 7/2017.
Bukti pertama bahwa UU No 7/2017 bermasalah, dalam arti mengandung kekurangan dan kesalahan adalah adanya revisi atau perubahan undang-undang tersebut. UU No 7/2017 ini direvisi oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Menjadi Undang-undang (UU No 7/2023).
Sedangkan bukti kedua ditunjukkan oleh banyaknya gugatan terhadap undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Banyak pihak yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar oleh UU No 7/2017 sehingga mereka mengajukan peninjauan undang-undang atau judicial review ke MK. Mereka meminta agar hakim konstitusi memeriksa kembali konstitusionalitas norma-norma yang terdapat dalam UU No 7/2017.
Sejak diberlakukan pada 16 Agustus 2017 hingga 31 Desember 2024 lalu, UU No 7/2017 digugat ke MK sebanyak 142 kali. Dari 142 kali gugatan tersebut, 12 gugatan dinyatakan ditarik kembali atau gugur karena penggugat tidak melanjutkan gugatan, dan 56 gugatan dinyatakan tidak diterima karena masalah legal standing atau objek gugatan sama, atau kehilangan objek gugatan. Terhadap gugatan yang ditarik/gugur atau tidak diterima ini, tidak perlu dibahas karena hakim konstitusi belum menyinggung pokok perkara.
Yang perlu diperhatikan adalah gugatan yang dinyatakan dikabulkan dan ditolak. Dalam hal ini, sampai 31 Desember 2024 terdapat 17 gugatan dikabulkan oleh MK sehingga sejumlah ketentuan atau norma yang terdapat dalam UU No 7/2017 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berlaku lagi. Artinya, ketentuan-ketentuan atau norma-norma tersebut harus diubah dan disesuaikan dengan putusan MK.
Selain itu terdapat 57 gugatan yang ditolak oleh MK. Pada gugatan yang dinyatakan ditolak ini, MK memang menolak permintaan penggugat untuk menghapus, mengubah, atau mengganti ketentuan tertentu dalam UU No 7/2017. Meskipun demikian dalam pertimbangan hukumnya, sering MK memberi catatan khusus kepada pembuat undang-undang agar melakukan tindakan hukum supaya undang-undang pemilu lebih baik dan lebih konstitusional.
Jadi, mengingat UU No 7/2017 mengandung banyak kekurangan dan kesalahan, maka undang-undang ini harus direvisi atau diubah atau bahkan diganti sekalian dengan undang-undang pemilu baru.
Lalu bagaimana dengan UU No 1/2015, akankah dipertahankan? Nah, jika dibandingkan dengan UU No 7/2017 undang-undang ini lebih ruwet, lebih banyak masalah, lebih banyak gugatan ke MK, dan lebih banyak yang dikabulkan. Jadi, UU No 1/2015 lebih bermasalah daripada UU No 7/2017. Tidak percaya? Mari kita akan bahas pada artikel berikutnya.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.