TRIBUNNEWS.COM – Pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump mendesak Ukraina untuk segera menyelenggarakan pemilihan presiden dan anggota parlemen.
Permintaan itu diungkap utusan khusus Presiden Donald Trump, Keith Kellogg.
Dalam pernyataan resmi yang dikutip Straits Times, Kellogg mengatakan bahwa Trump ingin Ukraina menyelenggarakan pemilu paling lambat pada akhir tahun ini.
"Di sebagian besar negara demokrasi, pemilihan umum (pemilu) tetap diadakan bahkan selama masa perang. Saya pikir itu penting. Saya yakin itu baik untuk demokrasi. Keindahan demokrasi yang kuat adalah memiliki lebih dari satu calon potensial,” kata Kellogg.
Usulan pemilu ini diungkap Trump dan Kellogg bersamaan dengan rencana untuk memediasi kesepakatan gencatan senjata antara Ukraina dan Rusia dalam beberapa bulan kedepan.
Trump tak merinci mengenai strategi yang akan digunakan untuk mengakhiri konflik paling mematikan di Eropa sejak Perang Dunia Kedua.
Namun, Trump menilai jika pemilihan presiden digelar di Ukraina, presiden terpilih dapat bertanggung jawab untuk merundingkan pakta jangka panjang dengan Moskow.
Trump juga mengklaim bahwa para utusannya sudah berunding dengan otoritas Rusia tentang upaya mengakhiri perang.
Masa jabatan Volodymyr Zelenskyy sebagai Presiden Ukraina seharusnya berakhir pada 20 Mei 2024 silam.
Akan tetapi, parlemen di Kyiv memutuskan untuk menunda menyelenggarakan pemilu di bawah UU Darurat Militer dengan dalih negara tengah berfokus melawan Rusia.
Hingga awal tahun, tidak banyak politisi atau pengamat di Ukraina yang berani menggugat kekuasaan presiden melampaui masa jabatan.
Kebijakan ini lantas mengundang perhatian pemerintah AS. Para pejabat Gedung Putih mengatakan bahwa menunda pemungutan suara pada saat yang tidak menentu ini berisiko melemahkan Ukraina.
Desakan Trump agar Ukraina segera menyelenggarakan pemilihan presiden dan parlemen telah memicu kekhawatiran parlemen Ukraina
Bahkan, beberapa anggota parlemen Ukraina menuding usulan pemilu merupakan ide Presiden Rusia Vladimir Putin dengan maksud untuk mengadu domba Kyiv dengan Washington mengenai cara untuk mengakhiri perang.
"Kami belum melihat wawancara Kellogg secara penuh, hanya melihat beberapa kata-katanya. Maka, sulit untuk dinilai sikapnya,” ujar penasihat Kiev, Lytvyn.
“Namun, jika rencananya hanya mengenai gencatan senjata dan pemilu, rencana itu akan gagal karena Putin tidak akan terintimidasi dari dua hal itu. Moskow akan mencari cara untuk mengalihkan sanksi dan mendapatkan uang dari minyak dan menyerang negara tetangganya yang demokratis," imbuhnya.
Meski mendapat tekanan, Kyiv telah berulang kali mengatakan tidak menginginkan gencatan senjata tanpa memperoleh jaminan keamanan yang akan mencegah Moskow memulihkan pasukannya dan melancarkan invasi lain di masa mendatang.
Para pejabat di Kyiv menolak usulan pemilu lantaran penyelenggaraan pemilu di tengah ketidakpastian dapat memecah belah para pemimpin Ukraina dan membuka peluang bagi kampanye pengaruh Rusia.
Hal serupa juga diungkap pakar pemilu yang meragukan kepraktisan dan kelayakan penyelenggaraan pemilu, terlebih saat ini Ukraina tengah berjuang untuk bertahan hidup di bawah pengeboman terus menerus dan sebagian besar penduduknya mengungsi di luar negeri.
“Ukraina harus menyelenggarakan Pemilu berikutnya pada saat negara tersebut dapat menjamin keamanan dan standar demokrasi Pemilu tersebut. Meskipun hal ini tidak dapat dijamin selama perang habis-habisan saat ini,” kata pakar pemilu Peter Erben dan Gio Kobakhidze dari International Foundation for Electoral Systems, sebuah lembaga nirlaba yang berkantor pusat di AS.
(Tribun News / Namira Yunia)