Revisi Kilat Tatib DPR: Diversifikasi Kewenangan DPR dan Distorsi Ketatanegaraan
Nicholas Martua Siagian February 07, 2025 02:23 AM
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.”
Pasal 4 dalam Konstitusi Indonesia secara yuridis konstitusional sudah memberikan penegasan bahwa negara ini menganut sistem presidensial, Presiden menjadi pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi yang pada prinsipnya dapat membentuk pemerintahan, menyusun kabinet, mengangkat dan memberhentikan para pejabat pejabat publik, termasuk kewenangan lainnya yang diatur dalam Konstitusi Indonesia.
Tidak hanya itu, dalam hal penyusunan undang-undang pun, Presiden memiliki kewenangan yang lebih luas dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden terlibat dalam seluruh proses pembentukan undang-undang mulai dari tahap perencanaan hingga pengesahan RUU, bahkan adanya ketentuan dalam Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 telah menjadikan Presiden dapat mengontrol agenda legislasi.
Secara eksplisit, memang kekuasaan legislatif berada dalam tangan Dewan Perwakilan Rakyat, sebagaimana ketentuan Pasal 20 ayat (1) yang berbunyi “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.” Akan tetapi dalam pelaksanaannya, pembuatan undang-undang tidak benar-benar berada di tangan DPR, karena dalam setiap proses pembuatan undang-undang tersebut harus melibatkan peran Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Jadi, meskipun secara eksplisit disebutkan kekuasaan legislatif di tangan DPR, namun kekuasaan tersebut justru bersifat semu karena tidak akan berarti tanpa keterlibatan Presiden.
Dari pernyataan di atas maka muncul, apakah konsep bernegara yang saat ini kita gunakan sudah berdasarkan sistem pemerintahan presidensial? Apakah lembaga-lembaga negara tersebut sudah menjalankan check and balances? atau justru adanya perambahan kewenangan antar lembaga negara?
Baru-baru, ramai isu yang berasal dari Senayan menjadi perbincangan mulai dari pakar, teknokrat, sivitas akademik, pengamat, hingga masyarakat luas. Adapun isu yang dimaksud adalah terkait revisi peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR dalam rapat paripurna ke-12 masa persidangan II tahun sidang 2024-2025. Dalam revisi itu, terdapat penambahan pasal 228A yang memungkinkan DPR mengevaluasi pejabat negara yang ditetapkan oleh DPR melalui rapat paripurna.
Hasil revisi tersebut, membuka ruang bagi DPR untuk mengevaluasi secara berkala pejabat negara yang telah dipilih dengan rekomendasi pemberhentian. Tidak menutup kemungkinan para pejabat negara yang dipilih dari hasil uji kelayakan dan kepatutan (Fit and Proper Test) seperti Hakim MK, Komisioner KPK, dan lain sebagainya dicopot dari jabatannya jika dalam evaluasi dinyatakan tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
Adapun bunyi rancangan pasal 228A adalah, “Ayat (1) Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana dimaksud pasal 227 ayat (2) DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Ayat (2) Hasil evaluasi yang sebagaimana dimaksud ayat (1) bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai mekanisme yang berlaku.”
Kalau merujuk pada pasal 7 dan pasal 8 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat (Peraturan DPR) adalah salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Frasa ‘diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan,’ menjadi batu uji terhadap revisi peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR yang ramai dibahas. Apakah substansi dalam pasal 228A tersebut merupakan perintah dari undang-undang atau hanya sekadar dijustifikasi dengan kepentingan yang dianggap mendesak oleh DPR?
Jika memang hanya sekadar justifikasi pengawasan yang dilakukan oleh DPR, tentu muncul pertanyaan serius, bagaimana mungkin peraturan perundang-undangan setingkat Peraturan DPR dapat menjadi landasan hukum pencopotan pejabat negara? Bukankah ini seolah DPR bertindak seperti lembaga eksekutif? Lalu di mana ‘check and balances’ antar lembaga negara?
Sebagai contoh, pencopotan hakim di Mahkamah Agung (MA) maupun di Mahkamah Konstitusi (MK) nantinya yang dilakukan oleh DPR dengan merujuk Peraturan DPR bukankah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman harus dilaksanakan secara merdeka? Tidak hanya itu, adanya ancaman evaluasi hingga pencopotan seperti ini juga bisa mendegradasi semangat mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bersih, serta berwibawa karena adanya tekanan dan politisasi sewaktu-waktu.
Pada undang-undang lainnya, seperti UU KPK, UU Polri, UU TNI, hingga undang-undang lainnya yang mengatur keberadaan lembaga negara, tentu di dalamnya terdapat pengaturan terkait pengangkatan dan pemberhentian pejabat negara yang diatur baik dalam undang-undang maupun peraturan turunan di bawahnya. Artinya, memberhentikan pejabat negara tidak bisa semata-mata karena hasil evaluasi oleh DPR sendiri, ada ketentuan hingga prosedur yang telah ditetapkan dalam undang-undang yang harus dijalankan.
Jika revisi peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR dijadikan sebagai legal standing pencopotan pejabat negara hasil evaluasi DPR, maka secara tidak langsung DPR sedang melakukan diversifikasi kewenangan yaitu secara implisit mengambil alih kewenangan dari Presiden (eksekutif) selaku pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi.
Jika hal seperti ini sengaja dilegalisasi dan dijustifikasi, maka kewenangan yang dimiliki oleh DPR bisa saja melampaui kewenangan Presiden. DPR juga bisa saja dijustifikasi dapat mencopot pejabat negara hingga pejabat daerah dengan alasan ‘melaksanakan fungsi pengawasan.’
Revisi kilat terhadap Tatib DPR yang memperbesar kewenangan legislatif berpotensi menimbulkan sejumlah masalah serius dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pemisahan kekuasaan yang menjadi prinsip dasar negara berisiko terganggu, dengan adanya perambahan kewenangan legislatif terhadap sektor-sektor yang seharusnya menjadi domain eksekutif. Selain itu, peran lembaga negara lain seperti independensi lembaga kehakiman hingga lembaga-lembaga negara lainnya.
Penting untuk mencermati dengan seksama langkah-langkah yang diambil dalam revisi tersebut, agar tidak mengarah pada distorsi ketatanegaraan yang bisa merusak sistem demokrasi Indonesia. Ke depannya, perlu ada evaluasi menyeluruh tentang kewenangan DPR agar tetap sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi dan menjaga keseimbangan antar lembaga negara.