Istana Tolak Tanggapi Revisi Tata Tertib DPR, Hasan Nasbi: Pemerintah dan DPR Tidak Ada Polemik
GH News February 07, 2025 03:06 PM

 

Pihak Istana Presiden RI melalui Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Republik Indonesia (RI) Hasan Nasbi menolak menanggapi revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) yang sedang bergulir di DPR RI.

Menurutnya, revisi Tatib merupakan kewenangan yang mengikat kepada organisasi DPR RI.

"Kita tidak mau mengomentari Tatib DPR. Kan Tatib mengikat ke dalam organisasi DPR," ujar Hasan di kantornya, Jakarta, Jumat (7/2/2025).

Hasan menuturkan pihaknya juga enggan untuk memberikan komentar lebih lanjut mengenai revisi Tatib itu yang disebut menjadi polemik. 

Sebab dengan revisi Tatib, DPR disebut bisa mencopot sejumlah pejabat negara.

Menurutnya, revisi Tatib tidak pernah menjadi polemik antara DPR dan pemerintah.

Sebaliknya, ia menyebut polemik terjadi hanya di media saja.

"Ssejauh ini saya rasa enggak ada polemik. Polemiknya ada di media aja. Di antara pemerintah dan DPR sejauh ini tidak ada polemik," pungkasnya.

Sebelumnya, Ketua Baleg DPR Bob Hasan membantah pihaknya bisa mencopot panglima TNI hingga Kapolri lewat revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.

Dia menyebut kabar tersebut dipastikan tidak benar.

Menurutnya, DPR RI memiliki kewenangan dalam melakukan proses uji kelayakan atau fit and proper test kepada sejumlah pejabat negara.

Dia menyebut DPR juga bisa mengevaluasi terhadap pejabat yang sudah diangkat lewat rapat paripurna.

"Jadi bukan mencopot. Ya pada akhirnya bahwa pejabat yang berwenang atas evaluasi berkala dari DPR itu akhirnya ada keputusan mencopot. Bukan DPR RI yang mencopot," ujar Bob Hasan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/2/2025).

"Kita melakukan evaluasi karena kita punya kewenangan atas fit and proper test atau uji kelayakan kita bisa meloloskan calon itu," imbuhnya.

Bob menyebutkan bahwa hasil evaluasi pejabat negara secara mufakat dari DPR RI itu nantinya akan menghasilkan suatu rekomendasi.

Hasil rekomendasi itu akan diberikan kepada instansi yang berwenang.

"Jadi berlaku mengikat di dalam. Tetapi kemudian dengan mekanisme yang berlaku itu dilanjutkanlah berikan rekomendasi hasil evaluasi tersebut secara mufakat kepada instansi yang berwenang," jelasnya.

Lebih lanjut, Bob menambahkan instansi yang berwenang dalam mencopot jabatan nantinya akan diserahkan kepada pejabat pemegang kewenangan.

 Diantaranya, Presiden RI, Mahkamah Agung (MA) hingga Komisi Yudisial.

"Siapa instansi yang berwenang yang tertingginya? ya misalkan presiden, kalau di MA misalkan Komisi Yudisial. Jadi itu tergantung kewenangan daripada pejabat pemegang kewenangan itu sendiri," pungkasnya.

DPR secara cepat merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, yang membuka ruang bagi parlemen untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang telah dipilih melalui rapat paripurna.

Namun, perubahan ini menuai kritik karena dianggap berisiko merusak sistem ketatanegaraan, mengingat aturan Tata Tertib DPR seharusnya hanya mengatur lingkup internal parlemen.

Ternyata usulan revisi ini berasal dari Mahkamah Kehormatan DPR (MKD) pada Senin (3/2/2025).

MKD mengajukan penambahan Pasal 228A, yang berbunyi:

“Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi, DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Hasil evaluasi itu bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.”

Setelah revisi ini diajukan, pimpinan DPR langsung menggelar rapat Badan Musyawarah (Bamus) untuk membahasnya di Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Proses revisi ini berlangsung sangat cepat, kurang dari tiga jam, sebelum akhirnya disepakati oleh seluruh fraksi partai politik.

Perubahan ini resmi disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa (4/2/2025) siang.

Dengan revisi ini, DPR kini memiliki kewenangan lebih besar untuk mengevaluasi dan merekomendasikan pemberhentian sejumlah pejabat negara yang dipilih melalui rangkaian fit and proper test.

Perubahan ini memicu berbagai perdebatan, mengingat DPR kini memiliki pengaruh lebih besar dalam menentukan keberlanjutan jabatan pejabat negara yang sebelumnya memiliki mekanisme pengawasan tersendiri.

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), I Dewa Gede Palguna mengkritik langkah DPR yang melakukan revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.

Tata tertib itu telah disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (4/2/2025).

Melalui tata tertib tersebut, DPR kini memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang sebelumnya telah melewati proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR.

Palguna menyebut DPR tidak mengerti soal apa yang pihaknya telah lakukan.

"Masa DPR tidak mengerti teori hierarki dan kekuatan mengikat norma hukum? Masa DPR tak mengerti teori kewenangan? Masa DPR tidak mengerti teori pemisahan kekuasaan dan checks & balances," ujar Palguna saat dikonfirmasi, Rabu (5/2/2025). 

Pun, jika sesungguhnya DPR mengerti atas halhal yang disebut Palguna tapi tetap melakukan revisi tata tertib, artinya mereka tidak mau negara ini berdiri tegak di atas UndangUndang Dasar 1945.

"Berarti mereka tidak mau negeri ini tegak di atas hukum dasar, tetapi di atas hukum yang mereka suka dan mau dan mengamankan kepentingannya sendiri. Rusak negara ini bos," pungkas Palguna.

 

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.