Runtuhnya Kerajaan Pajajaran dan Dimulainya Hegemoni Kesultanan Banten yang Bercorak Islam
Moh. Habib Asyhad February 08, 2025 12:34 PM

Artikel ini akan membahas tentang runtuhnya Kerajaan Pajajaran dan dimulainya hegemoni Kesultanan Banten yang bercorak Islam. Bagaimana cerita lengkapnya?

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Seperti kata Ibnu Khaldun terkait "gerak sejarah", bahwa manusia atau masyarakat akan mengalami tiga fase dalam hidup: lahir, berkembang, dan mati. Begitu juga dengan Kerajaan Pajajaran.

Artikel ini akan membahas tentang runtuhnya Kerajaan Pajajaran dan dimulainya hegemoni Kesultanan Banten yang bercorak Islam.

Bisa dibilang, keberlangsungan Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Tanah Pasundan berlangsung sangat lama. Terhitung, berdiri pada 923 dan baru runtuh pada 1579. 6 abad kerajaan ini maujud.

Berdirinya Kerajaan Pajajaran

Kerajaan Pajajaran adalah kerajaan yang bercorak Hindu yang diperkirakan berpusat di Pakuan (Bogor sekarang), Jawa Barat. Dalam naskah-naskah kuno nusantara, kerajaan ini sering pula disebut dengan Negeri Sunda, Pasundan, atau Pakuan Pajajaran.

Menurut Prasasti Sanghyang Tapak, Kerajaan Pajajaran didirikan oleh Sri Jayabhupati pada 923 M. Kerajaan ini berhasil mencapai puncak keemasannya pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi (1482-1521 M).

Di bawah kekuasaan Prabu Siliwangi atau Ratu Jayadewata, kerajaan dalam keadaan teratur dan tenteram. Prabu Siliwangi juga mencurahkan perhatian pada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan, dan menyusun formasi tempur di darat, tetapi angkatan lautnya terbilang lemah.

Kerajaan Pajajaran kemudian runtuh pada 1597 M setelah diserang oleh Kesultanan Banten.

Jejak Kerajaan Pajajaran dapat diketahui dari berbagai sumber sejarah, seperti naskah kuno (Babad Padjajaran, Carita Parahyangan, dan Carita Waruga Guru) dan prasasti (Prasasti Batu Tulis, Prasasti Sanghyang Tapak, dan Prasasti Kawali).

Kerajaan Pajajaran tidak dapat terlepas dari kerajaan-kerajaan pendahulunya, seperti Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sunda dan Galuh, serta Kawali. Hal ini disebabkan pemerintahan Kerajaan Pajajaran merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan tersebut.

Menurut Prasasti Sanghyang Tapak, Raja Sri Jayabhupati mendirikan sebuah kerajaan pada 923 M di Pakuan Pajajaran. Setelah Sri Jayabhupati, takhta jatuh ke tangan Rahyang Niskala Wastu Kancana dengan pusat kerajaan berada di Kawali.

Pada 1475, kerajaan dipecah dua, yaitu Kerajaan Sunda yang diperintah Susuktunggal dan Kerajaan Galuh yang dipimpin Dewa Niskala. Pada 1478, kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V), raja Majapahit, juga memengaruhi jalan sejarah di Jawa Barat.

Kerabat keraton Majapahit pun mengungsi hingga sampai di Kawali. Salah satunya adalah Raden Baribin, yang diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala dan dijadikan menantunya.

Selain itu, Prabu Dewa Niskala juga menikahi salah seorang pengungsi yang telah bertunangan. Dengan pernikahan tersebut, Prabu Dewa Niskala telah melanggar dua peraturan, yaitu larangan pernikahan dengan kerabat Majapahit setelah Perang Bubat dan menikahi perempuan yang telah bertunangan.

Hal ini membuat Susuktunggal mengancam memutuskan hubungan dengan Kawali. Konflik tersebut akhirnya diselesaikan dengan cara kedua raja yang berselisih sama-sama mengundurkan diri.

Prabu Dewa Niskala menyerahkan takhta Galuh kepada putranya, Ratu Jayadewata. Begitu pula Susuktunggal, yang menyerahkan kekuasaan Sunda kepada Ratu Jayadewata, menantunya.

Pada 1428, Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi atau Ratu Jayadewata dinobatkan dua kali untuk menerima takhta Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Periode terakhir Kerajaan Sunda dan Galuh bersatu ini kemudian dikenal sebagai periode Kerajaan Pajajaran dengan pusat pemerintahan kembali ke Pakuan Pajajaran.

Letak Kerajaan Pajajaran

Menurut peta Portugis, letak Kerajaan Pajajaran berada di sebuah kota yang sekarang dikenal dengan nama Bogor atau yang dulunya disebut Pakuan.

Seharusnya, Pakuan berasal dari bahasa Jawa Kuno, pakwwan, yang kemudian dieja pakwan. Umumnya, orang Sunda menyebutnya dengan nama Pakuan sehingga lebih dikenal dengan sebutan tersebut.

Pakwan berarti kemah atau istana, sehingga Pakuan Pajajaran berarti istana yang berjajar.

Menurut naskahBujangga Manik, letak Kerajaan Pajajaran dibatasi oleh Sungai Cimapali atau yang sekarang bernama Kali Pemali. Bagian barat dari kerajaan ini adalah Selat Sunda, bagian utara dibatasi Pantai Utara Jawa sampai Brebes, dan bagian selatan dibatasi oleh Laut Selatan atau Samudera Hindia.

Sementara menurut kropak (tulisan pada lontar atau dau nipah) yang diberi nomor 406 di Museum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah pada lokasi Kerajaan Pajajaran di Pakuan. Tertulis di dalam kropak tersebut mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima, Punta, Narayana, Madura Suradipati.

Nama-nama keraton tersebut merujuk pada nama Pakuan yang dianggap sebagai tempat tinggal untuk raja. Adapun isi dari kropak berbunyi:

"Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Ci Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa."

Artinya:

"Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai [dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Ci Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa."

Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tersebut tidak jauh dari hulu Ci Pakancilan. Hulu Ci Pakancilan adalah sungai yang ada pada masa Kerajaan Pajajaran di Pakuan.

Selain dari naskah kuno, jejak Kerajaan Pajajaran juga dapat ditemukan dalam salah satu benda peninggalannya, yaitu Prasasti Batutulis. Prasasti yang memiliki luas 17x15 meter ini terletak di situs ibu kota Pajajaran.

Isi Prasasti Batutulis adalah:

"Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun,

diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana

di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran seri sang ratu dewata

pun ya nu nyusuk na pakwan

diva anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n) cu rahyang niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang

ya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sa(ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi"

Artinya:

"Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum

Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.

Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang.

Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi."

Lebih lanjut, menurut catatan Tome Pires, letak Kerajaan Pajajaran adalah seluruh wilayah yang ada di Jawa barat saat ini. Selain itu, disebutkan pula bahwa Kerajaan Pajajaran juga meliputi wilayah Jawa Tengah.

Sri Baduga (Prabu Siliwangi), raja Kerajaan Pajajaran terhebat

Masa kejayaan Kerajaan Siliwangi terjadi pada masaPrabu Siliwangi atau Prabu Dewataprana Sri Baduga Maharaja, memerintah pada 1482-1521. Di bawah kekuasannya, Kerajaan Pajajaran mengalami perkembangan pesat.

Masa pemerintahannya juga dikenang rakyat sebagai zaman perdamaian dan kemakmuran. Dari Carita Parahyangan, diketahui bahwa pada saat itu banyak rakyatnya yang telah beralih memeluk Islam.

Selain itu, Prabu Siliwangi sempat tidak senang dengan hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, tetapi perselisihan mereka tidak sampai berkembang ke arah peperangan.

Nama asli Prabu Siliwangi adalah Jaya Dewata, lahir pada 1401 di Kawali Galuh (sekarang Ciamis). Dia adalah putra dari Prabu Dewa Niskala sekaligus cucu dari Niskala Wastu Kancana.

Menurut Prasasti Batutulis, dia dinobatkan sebanyak dua kali, yaitu sebagai raja Kerajaan Sunda dan raja Kerajaan Galuh. Periode terakhir Kerajaan Sunda-Galuh inilah yang kemudian dikenal sebagai masa Kerajaan Pajajaran dengan pusat pemerintahan di Pakuan Pajajaran.

Prabu Siliwangi menikah dengan Nyi Ambetikasih, putri Ki Gedeng Sindangkasih, pamannya sendiri. Sementara dari istrinya Subang Larang, Prabu Siliwangi memiliki tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuwana, Nyimas Rara Santang, dan Raden Kian Santang.

Raden Walangsungsang inilah yang nantinya mendirikan Kesultanan Cirebon. Sedangkan Nyimas Rara Santang mempunyai putra bernama Sunan Gunung Jati, salah satu Wali Sanga yang nantinya mendirikan Kesultanan Banten dan meneruskan takhta Kesultanan Cirebon.

Selain itu, Prabu Siliwangi juga dijodohkan dengan Nyai Kentring Manik Mayang Sunda. Dari pernikahannya ini, dia memiliki anak Sanghyang Surawisesa, yang nantinya mewarisi takhta Kerajaan Pajajaran.

Nama Prabu Siliwangi berasal dari dua kata, yaitu "silih" yang artinya pengganti dan "wewangi" yang berarti harum atau wangi. Oleh karena itu, Prabu Siliwangi dapat diartikan sebagai pengganti Prabu Wangi.

Menurut tradisi lama, nama ini diberikan karena rakyat tidak boleh menyebut gelar raja sesungguhnya. Dalam sejarahnya, nama Prabu Siliwangi ternyata pernah diberikan kepada Niskala Wastu Kancana, kakek Sri Baduga Maharaja, atas jasa-jasanya selama memerintah tanah Sunda.

Pasalnya, sang raja dinilai telah berhasil mempertahankan martabat orang Sunda ketika Gajah Mada hendak mewujudkan sumpahnya. Akan tetapi, bagi masyarakat Sunda gelar Prabu Siliwangi memang lebih melekat kepada Sri Baduga Maharaja saja.

Prabu Siliwangi memerintah Kerajaan Pajajaran selama 39 tahun, yaitu antara 1482-1521. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Pajajaran mengalami perkembangan pesat.

Tindakan pertama yang diambil setelah resmi menjadi raja adalah membebaskan penduduknya dari empat macam pajak. Ketika memerintah, Prabu Siliwangi dikenal sebagai pemimpin yang memegang teguh asas kesetaraan dalam kehidupan sosial, agama, budaya, ekonomi, dan politik.

Prabu Siliwangi sempat tidak senang dengan hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, tetapi perselisihan mereka dapat diredam dan tidak berkembang ke arah ketegangan. Menurut sumber Portugis, di bawah kekuasaan Prabu Siliwangi, Pajajaran diperkirakan memiliki 100.000 prajurit dan 40 ekor pasukan gajah.

Selain itu, Prabu Siliwangi juga mencurahkan perhatian pada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan, dan menyusun formasi tempur di darat, tetapi angkatan lautnya terbilang lemah.

Naskah Kitab Waruga Jagat dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh menyebut bahwa periode kekuasaan Prabu Siliwangi adalah masa kemakmuran bagi Pakuan. Setelah meninggal, ia dipusarakan di Rancamaya dan takhta kerajaan jatuh ke tangan putranya, Surawisesa.

Runtuhnya Kerajaan Pajajaran

Setelah mengalami masa kejayaan, Kerajaan Pajajaran akhirnya runtuh di tangah Kesultanan Banten. Ketika itu Kesultanan Banten sedang dipimpin oleh Maulana Yusuf yang melakukan penyebaran agama Islam melalui penaklukkan.

Salah satu kerajaan yang menjadi target Maulana Yusuf untuk diruntuhkan adalah Pajajaran yang bercorak Hindu. Di samping itu, alasan Kesultanan Banten menyerang Kerajaan Pajajaran karena lokasinya yang berbatasan langsung dengan wilayah Kerajaan Pajajaran, di mana kedua kerajaan itu memiliki perbedaan pandangan dan kepercayaan.

Kondisi ini lantas membuat Kesultanan Banten khawatir kekuasaannya akan direbut oleh Kerajaan Pajajaran. Karena itulah Kesultanan Banten memutuskan untuk menyerang Kerajaan Pajajaran.

Setelah Pajajaran berhasil ditaklukkan, raja sekaligus keluarganya pun menghilang. Setelah itu, golongan bangsawan Sunda memutuskan meninggalkan kepercayaan lama mereka dan memeluk agama Islam sesuai harapan Maulana Yusuf.

Sejak saat itu, keberadaan Kerajaan Pajajaran sudah tidak pernah terlihat lagi alias menghilang. Kerajaan Pajajaran resmi runtuh pada 1579 M dan dimulainya hegemoni Kesultanan Banten yang bercorak Islam.

Itulah artikel tentangruntuhnya Kerajaan Pajajaran dan dimulainya hegemoni Kesultanan Banten yang bercorak Islam. Semoga bermanfaat.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.