Dompet Digital: Antara Kemudahan dan Risiko Inflasi - Pengangguran
Muhammad Miftah Bagas Ardinata February 09, 2025 08:02 AM
Kehadiran QRIS telah menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia dalam melakukan pembayaran sehari-hari. Bayangkan, ketika hendak membeli kopi di pagi hari atau berbelanja kebutuhan harian, yang kita lakukan hanyalah membuka aplikasi pembayaran di ponsel, memindai kode QR, dan transaksi pun selesai dalam hitungan detik—tanpa harus mengeluarkan uang fiat tradisional.
Era digitalisasi telah membawa inovasi finansial yang luar biasa bagi masyarakat, yang dikenal dengan Financial Technology atau Fintech. Mulai dari kemudahan pembayaran digital, pinjaman online yang cepat cair, hingga investasi yang serba aplikasi, Fintech mengubah seolah mengubah fondasi ekonomi kita secara fundamental. Namun, di balik kemudahan dan inovasi ini, muncul pertanyaan: Apakah perkembangan pesat Fintech ini turut mendorong inflasi dan masalah pengangguran di Indonesia? mari kita telaah fenomena ini melalui kacamata prinsip-prinsip makroekonomi yang digagas oleh N. Gregory Mankiw.
Fintech dan Inflasi: Teori Kuantitas Uang dan Kecepatan Peredaran Uang
Salah satu prinsip dasar makroekonomi Mankiw adalah Teori Kuantitas Uang (Quantity Theory of Money). Teori ini, yang dirumuskan dalam persamaan M × V = P × Y, menjelaskan bahwa tingkat harga (P) secara langsung proporsional dengan jumlah uang beredar (M). Di sini, V adalah kecepatan peredaran uang (velocity of money) dan Y adalah output atau pendapatan riil. Lalu, bagaimana menjelaskan fenomena Fintech dengan persamaan ini? Fintech, khususnya dalam bentuk dompet digital dan kemudahan transaksi online, berpotensi meningkatkan kecepatan peredaran uang (V). Mengapa demikian? Karena Fintech mempermudah dan mempercepat proses transaksi. Uang berpindah tangan lebih cepat, dari konsumen ke pedagang, dari pemberi pinjaman ke peminjam, dan seterusnya.
Coba bayangkan, sebelum era Fintech, transaksi tunai mendominasi. Proses pembayaran dan penerimaan uang bisa memakan waktu karena mengharuskan kita untuk menggunakan uang fiat. Dengan Fintech, pembayaran dapat dilakukan dalam hitungan detik melalui smartphone. Kemudahan ini meningkatkan frekuensi transaksi. Jika kecepatan peredaran uang meningkat (V naik), dan faktor lain dianggap konstan dalam jangka pendek, maka menurut Teori Kuantitas Uang, tingkat harga (P) juga berpotensi naik, yang berarti inflasi dapat meningkat.
Secara lebih sederhana, jika uang berputar lebih cepat di masyarakat karena kemudahan Fintech, maka permintaan agregat cenderung meningkat. Dalam jangka pendek, peningkatan permintaan agregat ini dapat mendorong harga-harga naik, terutama jika kapasitas produksi ekonomi tidak dapat mengimbangi peningkatan permintaan tersebut. Ini sesuai dengan prinsip Kurva Permintaan Agregat-Penawaran Agregat (AD-AS) Mankiw. Pergeseran kurva AD ke kanan (akibat peningkatan kecepatan peredaran uang) dapat menyebabkan kenaikan tingkat harga.
Fintech dan Pengangguran: Disrupsi Lapangan Kerja dan Perubahan Struktur Ekonomi
Perbesar
Pengangguran sedang mencari kerja (https://www.pexels.com/)
Di sisi lain, muncul satu pertanyaan baru: bagaimana dampak Fintech terhadap pengangguran? Prinsip ekonomi mengatakan bahwa inovasi teknologi seringkali menciptakan disrupsi di pasar tenaga kerja. Fintech, sebagai inovasi di sektor keuangan, juga termasuk di dalamnya. Fintech dapat menciptakan lapangan kerja baru, terutama di sektor teknologi informasi, pengembangan aplikasi, layanan pelanggan Fintech, dan bidang-bidang terkait. Namun, pada saat yang sama, Fintech juga berpotensi mengurangi lapangan kerja di sektor keuangan tradisional.
Bagaimana itu bisa terjadi? Bayangkan saja, layanan perbankan online dan aplikasi pinjaman online dapat mengurangi kebutuhan akan teller bank dan staf administrasi di kantor cabang bank konvensional. Proses otomatisasi dan digitalisasi yang didorong oleh Fintech dapat menggantikan pekerjaan-pekerjaan rutin yang sebelumnya dilakukan oleh manusia. Ini berpotensi meningkatkan pengangguran struktural, yaitu pengangguran yang terjadi karena ketidaksesuaian antara keterampilan pekerja dengan permintaan pasar kerja yang berubah akibat perkembangan teknologi.
Namun demikian, perlu diingat bahwa dalam makroekonomi juga menekankan prinsip bahwa perdagangan dapat menguntungkan semua pihak (trade can make everyone better off). Dalam konteks Fintech, inovasi ini dapat meningkatkan efisiensi ekonomi secara keseluruhan. Fintech dapat menurunkan biaya transaksi, meningkatkan akses ke layanan keuangan bagi masyarakat yang sebelumnya unbanked atau underbanked, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi pada akhirnya dapat menciptakan lebih banyak lapangan kerja secara agregat, meskipun mungkin terjadi pergeseran jenis pekerjaan yang dibutuhkan.
Kurva Phillips dan Dilema Kebijakan
Perbesar
Mata uang rupiah (https://www.pexels.com/)
Dalam teori makroekonomi, kita mengenal Kurva Phillips, yang menggambarkan trade-off jangka pendek antara inflasi dan pengangguran. Kurva ini menunjukkan bahwa biasanya, ketika inflasi rendah, pengangguran cenderung tinggi, dan sebaliknya.
Faktanya, Perkembangan Fintech dapat memperumit trade-off ini. Jika Fintech memang mendorong inflasi (melalui mekanisme kecepatan peredaran uang), namun juga secara bersamaan mengurangi pengangguran (melalui penciptaan lapangan kerja baru dan pertumbuhan ekonomi), maka dampaknya secara keseluruhan bisa menjadi positif. Namun, jika Fintech justru memperparah inflasi dan juga meningkatkan pengangguran struktural (akibat disrupsi lapangan kerja yang lebih besar daripada penciptaan lapangan kerja baru), maka situasinya menjadi lebih kompleks dan memerlukan kebijakan yang hati-hati.
Kesimpulan: Antara Peluang dan Tantangan Fintech di Indonesia
Pada akhirnya, Fintech adalah pedang bermata dua. Jika dikelola dengan baik, Fintech dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, jika kita abai terhadap potensi risiko dan tantangannya, inovasi ini justru dapat menjadi bumerang yang memperparah masalah inflasi dan pengangguran di negeri ini. Sebagai masyarakat dan pemerintah, kita perlu mengambil langkah-langkah yang bijaksana untuk memaksimalkan manfaat Fintech dan meminimalkan risiko negatifnya. Kebijakan moneter yang hati-hati diperlukan untuk mengendalikan inflasi di era digitalisasi keuangan ini. Selain itu, investasi dalam pendidikan dan pelatihan keterampilan digital menjadi penting dalam mempersiapkan angkatan kerja yang kompetitif di era digitalisasi yang penuh disrupsi ini.
Melalui perspektif Mankiw, kita melihat bahwa teknologi ini menghadirkan paradoks: di satu sisi mendorong efisiensi, di sisi lain menciptakan ketidakstabilan baru. Tantangannya adalah menemukan titik equilibrium di mana inovasi tidak mengorbankan stabilitas harga dan kesempatan kerja. Jika diatur dengan bijak, Fintech bisa menjadi motor pertumbuhan inklusif, bukan sekadar disruptor.