Memperingati Hari Pers Nasional: Pers Era Post Truth
Sugeng Winarno February 09, 2025 02:23 PM
Setiap tanggal 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN). Momentum HPN biasanya digunakan untuk menengok kembali eksistensi pers tanah air. Sejumlah persoalan pelik masih menyelimuti dunia pers kita. Lahirnya era pasca kebenaran (post truth) menjadikan aneka pesan yang diusung insan pers tak begitu saja gampang diterima masyarakat.
Lahirnya media baru (new media) berwujud internet dan beragam teknologi turunannya, seperti aneka platform media sosial (medsos) telah mengubah cara orang berkomunikasi. Tak hanya itu, cara media menyajikan informasi dan berita juga berubah. Lewat campur tangan teknologi terkini, melahirkan beraneka ragam media digital yang sangat masif jumlahnya.
Situasi ini telah menjadikan lalulintas media menjadi super padat. Media digital lahir tak terbendung. Situasi ini melahirkan banjir informasi (information overload). Buruknya, di tengah deras banjir informasi itu bercampur antara informasi yang benar dan yang keliru. Informasi yang berdasar fakta dan informasi hasil rekayasa. Informasi yang benar bertemu dengan informasi yang abal-abal. Tak mudah memilih dan memilah, untuk menemukan informasi yang layak dipercaya.
Tak hanya itu, kebenaran sendiri juga menjadi sangat relatif. Setiap orang punya ukuran kebenarannya sendiri-sendiri. Kebenaran tak lagi dilihat dari fakta dan realitas yang sesungguhnya, namun kebenaran ukurannya jadi sangat subjektif.
Ilustrasi Post Truth. Sumber: Republika.co.id
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Post Truth. Sumber: Republika.co.id
Post Truth: Kebenaran Pasca Kebenaran
Secara harfiah, post truth berarti setelah kebenaran atau menafikan kebenaran hakiki, menciptakan realitas di mana pandangan subjektif dan emosi lebih berpengaruh daripada fakta objektif. Fenomena ini menjadi semakin mencolok saat ini, di mana pesan-pesan manipulatif seringkali lebih kuat ketimbang kebenaran empiris.
Istilah post truth dipopulerkan oleh Steve Tesich tahun 1992 dalam tulisan berjudul “The Government of Lies”. Dalam artikelnya, Tesich menulis bahwa “kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan ingin hidup di dunia post truth”.
Post truth merupakan kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Dalam kondisi demikian false news, fake news, hoax, memiliki pengaruh yang lebih besar sebagai bahan konsumsi berita masyarakat, di mana fakta, kebenaran dikesampingkan.
Dalam era ini, sumber-sumber informasi pembawa kebenaran, termasuk produk pers, tak serta merta bisa dengan mudah mampu dipercaya dan jadi rujukan masyarakat. Justru pers harus berhadapan dengan aneka kebenaran palsu yang menyerupai kebenaran yang sesungguhnya.
Era pasca kebenaran ini mengacu pada kecenderungan untuk mempengaruhi opini publik melalui emosi, keyakinan, dan narasi yang melebihi pentingnya fakta objektif. Cara ini tak hanya penolakan terhadap kebenaran, tetapi seringkali pembentukan opini lebih didasarkan pada persepsi dan interpretasi yang dapat dikendalikan.
Pada era post truth seringkali kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran. Banyak kebohongan yang terlanjur viral maka kebohongan itu diyakini sebagai hal yang benar. Kebohongan yang menyebar masif lebih banyak dipercayai sebagai kebenaran. Hal ini seperti yang pernah disampaikan Menteri Propaganda Nazi Joseph Goebbels bahwa “kebohongan yang berulang-ulang akan menjadi kebenaran”.
Ilustrasi Media Cetak. Sumber: beritasatu.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Media Cetak. Sumber: beritasatu.com
Tantangan Pers
Era pasca kebenaran (post truth) menjadi tantangan insan pers dalam menyuarakan kebenaran. Tugas utama pers adalah menyajikan informasi yang sesuai dan bersumber fakta dan kenyataan. Kalau hal itu sudah dilakukan pers ternyata tak sertamerta kebenaran yang disampaikan pers bisa diakui oleh masyarakat sebagai sebuah kebenaran. Karena masing-masing pribadi punya ukuran kebenaran dan subjektivitasnya masing-masing.
Salah satu dampak yang paling signifikan dari fenomena post truth adalah penurunan kepercayaan masyarakat pada pers. Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan pada fakta dan informasi objektif yang disajikan pers maka sejatinya demokrasi telah menjadi rentan terhadap manipulasi. Kenyataan ini tentu berbahaya.
Fenomena post truth merupakan tantangan yang tak ringan bagi insan pers tanah air. Pers sebagai pilar demokrasi ke empat setelah Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif, tentu peran idealnya sangat signifikan dalam demokrasi.
Saat ini mencari, mengungkap, dan menyampaikan kebenaran tak cukup hanya mendasarkan fakta dan realita semata. Cara itu sebenarnya sudah tepat, namun persoalannya ada pada sisi khalayak, pihak penerima kebenaran itu. Pers telah berusaha melakukan penelusuran informasi dengan benar, melakukan check and recheck, cover both side, dan sejumlah prosedur penyajian kebenaran sesuai kaidan dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) namun kerja menyajikan kebenaran itu tak serratus persen berhasil.
Masyarakat telah berubah. Lahirnya teknologi komunikasi telah mengubah banyak hal. Pers juga dituntut selalu berubah, pengikuti perkembangan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Menjawab tantangan perubahan ini tentu tak mudah.
Semoga pers tetap bisa jadi suluh di tengah gelap informasi, tetap jadi penjernih di tengah keruhnya hoaks, dan tetap eksis di tengah perebutan kue iklan yang semakin menipis itu.
Selamat HPN. (*)
*) Sugeng Winarno, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.