Jejak Tionghoa dalam Tradisi Kuliner Nusantara, dari Mi hingga Siomai
Moh. Habib Asyhad February 11, 2025 04:34 PM

Temuan puing kapal-kapal Tiongkok kuno yang kandas di Pulau Bangka dan Belitung menunjukkan mereka sudah sejak Dinasti Tang berburu teripang, sirip hiu, dan abalon di perairan Nusantara.

Penulis: Lily Wibisono untuk Majalah Intisari edisi Februari 2020

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Demikian pentingnya masalah hidangan dalam budaya Tiongkok sehingga ke mana pun mereka berlayar, tim ekspedisi mereka selalu disertai koki-koki yang hebat. Lama sebelum terbentuk kelompok Peranakan Tionghoa, tradisi kuliner Tiongkok terserap dalam tradisi kuliner Nusantara.

Ini masuk akal, mengingat kontak Nusantara dengan orang-orang Tiongkok paling awal terjadi pada abad ke-5 (Faxian).

Pengaruh Tiongkok paling jelas adalah mi. Buktinya, kita mengenal mi binjai, mi belitung, mi pontianak, mi jawa, sampai ... mi instan!

Tak kalah dahsyat penetrasinya di Nusantara adalah tahu. Di Sumedang, tahu bahkan menjadi industri rakyat utama yang diawali oleh Ong Kino pada 1917. Jejak Tiongkok juga terserak di area kudapan: hunkwe, kwaci, moci adalah jejak-jejak kuliner orang-orang Tiongkok yang tertinggal dalam keseharian kita sampai kini.

Tapi pengaruh makanan Tionghoa untuk makanan Indonesia tak hanya terdapat pada mi dan tahu, tapi juga pada wedang ronde, kue ku, hingga siomai.

Dari ca, tim, dan kuah sampai anglo

Myra Sidharta dalam “Jejak-jejak Koki Diplomat” (Etnik Tionghoa di Indonesia, Intisari: 2006) mengutip Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid II: Jaringan Asia, menyebutkan, metode memasak yang sampai kini sangat populer digunakan oleh orang Indonesia: ca, tim, dan kuah adalah sebagian dari ilmu yang ditularkan oleh koki-koki Tiongkok.

Banyak peralatan masak di dapur kita juga merupakan hasil silang budaya dengan orang-orang Tiongkok itu: kuali, berbagai wadah dari tembikar atau keramik untuk air, kuali, pisau, dan golok.

Istilah “pisau” sendiri sangat mirip dengan istilah bishou (Mandarin, dibaca: pisou, artinya belati). Anglo, tungku tembikar dengan bahan bakar arang, yang dulu dipakai di semua rumah tangga, sebelum kompor minyak tanah dan kompor gas meluas penggunaannya, juga diilhami model tungku di Fujian.

Dalam “Menjadi Peranakan Tionghoa” (Peranakan TionghoaIndonesia, Intisari: 2009) Mona Lohanda menyebutkan, migrasi orang-orang Tionghoa ke Nusantara terjadi bergelombang-gelombang. Sebelum kedatangan bangsa Eropa, unsur Tionghoa banyak terserap pada lapisan penguasa lokal.

Baru setelah penguasaan bangsa Eropa atau Belanda, asimilasi Tionghoa ke dalam komunitas lokal dibatasi.

Migrasi yang terjadi pada abad ke-18 dan 19 terjadi karena ada peluang kerja. Tentu saja untuk laki-laki. Semula yang datang kebanyakan kaum pedagang dan artisan dan kebanyakan berasal dari Fujian (Hokkien).

Belakangan kebutuhannya bergeser ke tenaga kerja untuk pertambangan, perkebunan, pembangunan jalan kereta api, pelabuhan dan lainnya. Hingga akhirnya, sejak tahun 1850-an warga Hakka juga mulai datang.

Mereka banyak menetap di Bangka, Belitung dan Sumatera, meskipun ada juga yang menetap di Batavia.

Transportasi yang digunakan para pendatang adalah kapal-kapal jung. Karena datang tanpa pasangan, para lelaki ini memperistri wanita lokal. Sementara anak-anak tetap menggunakan nama Tionghoa, terutama anak-anak lelaki, juga diajarkan untuk mengikuti tradisi Tionghoa, anak-anaknya juga dibesarkan dalam budaya sang ibu.

Dari corak pakaian, seni tradisional, sampai pada menu makanan, terjadi proses silang budaya.

Tradisi sembahyang kepada leluhur

Perkembangan menu makanan peranakan Tionghoa sebenarnya banyak terdorong oleh tradisi sembahyang kepada leluhur. Menurut tradisi Tionghoa di Jawa, ada tiga perayaan besar sepanjang tahun yang dirayakan secara “all out”: sembahyang Tahun Baru Imlek, Sembahyang Cengbeng di makam para leluhur, dan sembahyang Rebutan.

Pesta besar itu tercermin pada sajian yang dihidangkan di meja altar sembahyang; baik dari jumlahnya, jenis makanannya, maupun ragamnya. Pada zaman dahulu, para wanita di keluarga-keluarga berada “berlomba-lomba” membuat berbagai makanan dan kue yang lezat.

Oleh karena ada tradisi saling mengirim, maka keluarga-keluarga mempunyai kewajiban menghasilkan makanan yang tidak saja lezat cita rasanya tetapi juga enak dipandang. Bahkan bagi nyonya rumah yang cukup ambisius, menemukan menu atau resep kue yang khas dan orang lain belum bisa membuat, akan merupakan kebanggaan.

Dengan demikian, dapat dikatakan upacara sembahyang merupakan “etalase” kemampuan keluarga yang bersangkutan.

Pengaruh selera lokal menghasilkan variasi yang beraneka. Selain mi seperti di atas tadi, ada lumpia semarang, lumpia jakarta, lumpia bogor, lumpia padang.

Di antara ketiga perayaan besar ini, masih ada sembahyang yang lebih kecil sifatnya seperti sembahyang bakcang, sembahyang kue bulan dan sembahyang ronde. Masih ada pula hari-hari kematian leluhur (sembahyang coki), dan sembahyang rutin tiap tanggal 1 dan 15 Imlek (Sembahyang Ce It Capgo)

Sajian inti pada altar sembahyang meliputi: teh, tehliao (di Jakarta: gula batu, tangkueh, angco, kolang-kaling, kingkip, lengkeng kering utuh dengan kulit), nasi dan sawi kwacai, dan arak (jika ada hidangan daging).

Bagi keluarga dengan dana terbatas, menghormati leluhur dengan menyajikan ketiga hal di atas dianggap sudah cukup.

Kepala Meja: sebuah doa

Seandainya masih ada dana, akan lebih baik bila “Kepala Meja” juga disediakan. Kepala Meja adalah hidangan yang diletakkan paling depan di meja altar sembahyang.

Hidangan pada Kepala Meja ini melambangkan doa: Siu San Hok Hai (hokkien: keberkahan datang sebesar Lautan Timur dan panjang usianya setinggi Gunung Selatan). Lautan Timur maksudnya di Timur Tiongkok: Samudera Pasifik, sedangkan gunung di Selatan adalah Gunung Himalaya.

Untuk melambangkan doa yang sangat baik ini, biasanya dipilih makanan sebagai berikut:

  • Kue moho atau kue apem (di Medan disebut hwatkwee) yang mengembang besar: melambangkan hoki yang mengembang besar. Di Semarang dikenal kue gembreng atau toapia (kue pia yang besar), juga disebut zonnekoek (kue matahari).

  • Kue lapis yang lapisan-lapisannya melambangkan rezeki dan keberuntungan yang datang sampai berlapis-lapis.

  • Kue wajik yang dibuat meruncing melambangkan Gunung Himalaya

  • Buah-buahan yang disusun tinggi memuncak juga merepresentasikan gunung yang tinggi

  • Kue Ku yang bentuknya mirip kura-kura melambangkan usia panjang seperti kura-kura

  • Kiu Tiong Kwe: kue berlapis sembilan: melambangkan langit lapis sembilan. Ini melambangkan harapan memperoleh kesucian sampai tingkat Langit ke-9.

  • Pisang raja melambangkan ombak samudera.

Tiga atau lima macam daging

Jika dana mencukupi, akan semakin baik lagi bila keluarga menyediakan hidangan Tiga Macam Daging (Sam Seng) yaitu daging babi, daging ayam, dan daging ikan. Biasanya direbus.

Bisa juga menyajikan Lima Macam Daging (Ngo Seng): daging babi, ayam, ikan (biasanya bandeng), ditambah daging bebek dan juhi atau kepiting. Dalam Ngo Seng, babi disajikan serupa kepala babi. Di kelenteng malah disajikan juga daging kambing utuh.

Dalam perayaan Imlek, baik di Jakarta, Jawa Barat, maupun Jawa Tengah, menu dengan rebung harus ada. Di Semarang ada keluarga yang menghidangkan sampai tiga macam masakan dengan rebung; sebaliknya keluarga di Medan bisa saja tidak menyajikannya. Bukan tradisi mereka.

Keluarga juga menyajikan hidangan kesukaan leluhur yang didoakan. Masakan itu bisa saja sangat lokal sifatnya, seperti lodeh, ayam goreng kuning, makanan dengan petai atau jengkol, atau “sambel goreng” yang sangat populer di keluarga peranakan Tionghoa di Jawa Tengah.

Mau melihat sosok peranakan Tionghoa yang paling sedap dan menarik? Lihatlah hidangan di meja altar sembahyang mereka.

Lezat tapi juga sehat

Makanan peranakan yang sudah me-Nusantara tak harus identik dengan daging babi, lemak, dan kolesterol. Seperti semua menu, terserah kita dalam memilih kandungannya.

Andaikan kita tidak membuat sendiri, sekilas pengetahuan tentang gizi makanan peranakan Tionghoa di bawah ini bisa membantu Anda dalam menentukan pilihan. Kita andaikan rata-rata kebutuhan kalori manusia dewasa dengan aktivitas fisik ringan-sedang adalah 1.500-1.700 kalori per hari.

Menuruti anjuran makan yang ideal, di antara saat makan makan tiga kali, sebaiknya ada selingan kudapan. Resep dan pertimbangan gizi berdasarkan Menu Sehat, edisi 5/III/07.

- Bakcang

Sebuah bakcang ukuran normal berisi daging sapi tanpa lemak, mengandung kalori hampir 300 g, dengan karbohidrat hampir 60 g. Oleh karena setara dengan makan nasi, sebaiknya
Anda memperhitungkannya sebagai pengganti nasi. Catatan: kandungan lemak dan kolesterol
tentu akan meningkat bila isinya menggunakan daging yang berlemak.

- Capcai

Makna harfiah capcai (bhs. hokkian) adalah “sepuluh sayur-mayur”. Menurut tradisi peranakan Tionghoa di Indonesia terutama Jawa, capcai berisi berbagai sayuran ditambah daging ayam, udang, babi, kekian, hati dan ampla ayam, haisom, bakso ikan, bakso sapi, dan.... seterusnya.

Capcai yang sehat adalah yang cukup menggunakan ayam, udang, bakso ikan, dengan sayur-sayuran dengan jamur dan haisom. Dengan bahan-bahan yang rendah lemak, makanan ini rendah karbohidrat dan kandungan kolesterol dan kalori serta lemaknya cukup
rendah.

- Bandeng pindang kecap

Masakan bandeng pindang kecap adalah hidangan wajib bagi keluarga-keluarga peranakan
Tionghoa di Jawa Barat dan Jakarta. Dimasak dengan rempah-rempah yang “biasa”, keluak dan kecap, makanan ini sebenarnya hidangan yang lezat dan sangat sehat.

Ia tidak mengandung lemak jenuh dan bandeng mengandung asam lemak omega tiga yang baik bagi jantung dan kesehatan pembuluh darah.

- Bakpao

Sebagai salah satu kudapan Nusantara, variasi isinya beraneka rupa. Satu hal yang paling menonjol adalah karena ia dibuat dengan bahan dasar terigu, ia menjadi sumber karbohidrat kompleks.

Oleh karena setara dengan nasi, sebaiknya pertimbangkan ketika ada beberapa macam sumber
karbohidrat di hadapan kita.


- Siomai

Ada berbagai versi siomai. Ada yang dibuat dengan daging babi, daging ayam. Yang versi foodstreet lebih banyak mengandung tepung.

Siomai dengan daging tengiri dan udang adalah sangat baik karena ikan tengiri adalah sumber protein yang baik, begitu pula udang. Patut diperhatikan kandungan kolesterol pada udang.

- Otak-otak

Otak-otak dibuat dari ikan tengiri, dengan campuran putih telur dan saus kacang, kandungan kalorinya tak sampai 60 kalori, dengan karbohidrat sekitar 5 g, dan kolesterolnya sekitar 11 mg,
makanan ini cukup aman .... asalkan Anda tidak sekaligus “menghajar” 10 buah otak-otak dengan alasan “cuma kecil-kecil kok.”

- Wedang ronde

Setiap tanggal 22 Desember, kaum peranakan Tionghoa di Indonesia bersembahyang “Onde (ronde)”. Ada ronde besar berisi enting-enting kacang gepuk (kacang bercampur gula pasir), tetapi ada juga ronde kecil tanpa isi.

Adonan ronde terbuat dari tepung ketan dengan saus manis jahe wangi pandan. Semangkuk ronde kalorinya sekitar 220 kalori, dengan karbohidrat hampir 40 gram. Nah, Anda yang sedang menjaga berat badan atau kadar gula sebaiknya cukup mencicipi saja ....

- Kue Ku

Kue ku yang mirip kura-kura ini melambangkan panjang umur. Dibuat dari tepung ketan, yang diberi sedikit gula pasir dan diaduk dengan santan, isinya adalah kacang hijau yang dicampur gula pasir juga juga dengan campuran santan.

Kandungan kalori untuk sebuah kue ku yang kecil itu, cukup lumayan: hampir 170 kalori dengan karbohidrat sekitar 36 g. Tak banyak memang, kalau hanya sebuah ...

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.