Memang tidak semua, tapi banyak kawan, setelah pensiun membuka bisnis. Usaha ini usaha itu, sebagai aktivitas setelah tidak bekerja lagi. Sibuk bikin anggaran, pilih tempat, dan mulai berwirausaha dengan konsepnya yang keren. Salut sih, karena semangat dan daya juangnya untuk berbisnis setelah pensiun begitu luar biasa. Berani berbisnis di zaman begini, pasti butuh daya juang dan kekuatan modal yang luar biasa. Selain persaingan ketat, harus punya passion juga untuk berbisnis. Kira-kira begitu ...
Sejujurnya, mungkin cuma saya yang naif. Saya hanya ingin menikmati masa pensiun dengan menulis dan menulis. Selain mengajar dan berkiprah sosial di taman bacaan di kaki Gunung Salak Bogor. Saya nggak pengen berbisnis. Selain nggak ngerti, saya nggak minat dan mungkin nggak becus juga mengelola bisnis. Nggak apa-apa ya, karena saya memang nggak punya bakat bisnis. Dulu lagi zaman kerja, saya pernah buka angkringan dan pijat refleksi, semuanya gagal tuh. Anggaplah, saya nggak punya passion bisnis kali ya.
Terus terang, kata kawan-kawan saya. “Kenapa sih elo nggak bisnis aja?” Kalo ditanya gitu, jujur agak rishi juga sih. Bingung jawabnya, gimana? Simpelnya sih, saya jawab “gue nggak punya bakat bisnis”. Biarlah saya jadi penulis aja, jadi pengajar, dan pegiat literasi di taman bacaan. Bisa lakukan aktivitas nulis, ngajar dan mengabdi sosial di masa pensiun, tentu sudah jadi kemewahan yang nggak ternilai juga kok. Jadi tegasnya, saya bukan pebisnis. Tapi penulis dan pengajar saja sudah cukup.
Pernah suatu kali ngobrol santai dengan kawan yang pebisnis. Semangat banget berkisah, proyeknya di sana proyeknya di sini. Bikin bisnis patungan dengan kawannya yang kebetulan kawan saya juga. Cerita begini susahnya berbisnis, cerita juga senangnya berbisnis. Ujungnya, dia bilang. “Kalo elo ada perlu atau butuh bantuan hue, hubungi perusahaan gue aja ya”. Busyet, obrolan sesama kawan sampai dimasukin ke perusahaan. Ini jadinya, pertemanan atau perbisnisan, ujar batin saya.
Punya kawan yang pebisnis, saya hanya bisa maklumi saja. Saya cukup paham ribetnya. Tidak apa pertemanan yang sakral sementara lenyap dulu. Karena semuanya diukur dari sisi bisnis. Seperti kawan saya yang lain, sejak memimpin organisasi dan berkuasa pun tiba-tiba etikanya hilang, Tumbuh jadi manusia yang arogan dan sangat subjektif. Percaya pada otak tapi tidak percaya pada etika dan akhlak. Maka baiklah, saya pun mundur perlahan. Berusaha tahu diri, dan membiarkan kawan yang berbisnis biar fokus. Tanpa ingin mengganggu dan menggubrisnya dulu. Mungkin lagi pusing juga …
Entah gimana, empat bulan kemudian. Kawan yang pebisnis akhirnya bangkrut. Bisnisnya bubar, modalnya habis. Ceritanya tinggal kesedihan dan saya diminta ikut prihatin. Tentu, saya tidak kaget. Tidak juga sedih atau senang. Karena sedikit paham, ya begitulah orang berbisnis. Namanya bisnis, kalo nggak bangkrut ya maju, kalo nggak untung ya rugi. Tapi yang saya tahu, apapun di dunia ini. Bisnis kek, kerja kek atau berorganisasi sekalipun, nggak boleh sombong. Harus menghargai orang lain, harus etis dan punya akhlak. Bila tidak, ya pasti jatuh dan jatuh. Saya ini paling takut dan hormat sekali pada yang disebut “karma”. Bahwa apapun yang diperbuat, pasti akan kembali kepada orangnya. Nggak akan tertukar, mau sejauh apapun melangkah!
Maka setelah pensiun, saya memilih tetap berada di jalur “pinggiran”. Saya hanya kerjakan yang bisa saya kerjakan, bukan yang nggak bisa. Menulis, mengajar di kampus, dan mengabdi sosial di taman bacaan. Jadi pensiunan yang independen dan mandiri. Alhamdulillah, saya sih sudah cukup puas dan bersyukur. Pernah jadi penulis terproduktif tahun 2023 dari Indonesiana Tempo, jadi Ramadhan Heroes Tonight Show NET TV, jadi Jagoan RTV dan 31 Wonderful People dari Guardian Indonesia. Mengajar di kampus pun sudah memasuki 31 tahun dan meraih doktor manajemen pendidikan yang dibeasiswai dari kampus. Mendirikan TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor pun sudah jalan 8 tahun dan pengguna layanannya makin banyak dan kini mencapai 400-an orang per minggu. Pensiun dengan menulis, mengajar dan bersosial di taman bacaan, jujur sudah lebih dari cukuplah buat saya.
Setelah pensiun, saya nggak pengen berbisnis. Nggak muluk-muluk dan sederhana aja, cukup jalanin yang sudah ada dan dirintis selama ini. Menulis, mengajar, dan mengabdi untuk umat di taman bacaan. Anak yang jadi tanggungan juga tinggal 1 lagi si bontot, sang inspirator yang Insya Allah tahun 2025 ini sudah mulai kuliah di UB Malang. Sudah nggak punya cita-cita dunia atau materi, Jabatan atau pangkat pun sudah nggak pengen. Cuma dari hati yang paling dalam pengennya bisa meraih “guru besar dari kampus” suatu saat besok, insya Allah. Doab oleh kan. Biar bisa jadi profesor yang tetap menjadi driver motor baca keliling dan pegiat literasi konkret di taman bacaan.
Saya rapopo kok di jalur “pinggiran”. Tetap menulis, mengajar, dan berkiprah sosial di taman bacaan. Semuanya saya jalani sepenuh hati dan konsisten hingga kini. Sangat menikmati hidup saya. Tapi kalo diajak berbisnis, mohon maaf saya mundur. Saya nggak punya nyali dan intuisi bisnis. Saya lebih punya nyali nulis, ngajar, dan berbakti sosial. Sama satu lagi, nyali menjalin hubungan romantis!
Terus, dari mana uangnya? Alhamdulillah, tabungan saya cukup kok. Buat ngidupin empat keluarga baru juga masih cukup hahaha. Selain itu, saya juga masih aktif sebagai konsultan dana pensiun independen, di samping mengajar. Alhamdulillah cukup dan layak, apalagi dijalani dengan penuh syukur. Rezeki mah selalu ada saja, nggak usah khawatir. Lagi pula, rezeki tiap orang nggak akan tertukar dan nggak akan ke mana juga kan.
Bisa jadi saya ini naif. Di masa pensiun, bisnis buat saya itu makruh. Punya gaji itu sunnah. Tapi yang wajib itu “menebar manfaat untuk orang lain sebanyak-banyaknya”. Sederhana sekali kan. Tapi sekadar berbagi cerita dari kawan-kawan saya. Bisnis itu nggak bisa atas dasar idealisme apalagi ditambah sikap arogan. Pasti bangkrut dan bubar. Bisnis harus atas niat baik untuk menolong orang lain dan punya passion. Bisnis harus punya rasa sosial, kalo nggak pasti kacau balau. Bisnis juga nggak boleh sombong, apalagi meremehkan orang lain bahkan mengabaikan nilai pertemanan. Teman ya teman, bisnis ya bisnis. Harus bisa dibedakan. Jangan semuanya dijadikan bisnis.
Jadi, saat pensiun mau bisnis atau nulis? Agak sulit sih dijawab. Tapi juga jangan serakah mau semuanya, bisnis mau nulis mau. Buat saya sih sama saja. Karena saat berbisnis, kan punya usaha, digaji sebagai direktur tapi pusingnya bisa bikin stroke. Jujur sih, buat saya, lebih baik menulis dan akhirnya bisa meluncurkan buku baru. Alhamdulillah, sekarang sudah 54 buku saya tulis dan terbit. Puas banget rasanya nulis. Nulis setiap hari, nulis lagi nulis terus.
Setiap pensiunan, tentu punya jalan hidup masing-masing. Termasuk punya pilihan, mau ngapain dan mau ke mana? Apapun, sah-sah saja. Asal dijalankan dengan sepenuh hati dan jangan sampai merepotkan diri sendiri. Saya justru memilih menjalani hari tua yang tanpa beban, tanpa kerepotan apapun. Sesekali jalan ke sana ke mari, plus kulineran dengan tetap menulis tanpa henti. Berbagi pengalaman, perasaan, dan pengetahuan melalui tulisan, oke dong.
Jadi saya memilih pensiun dengan menulis, mengajar, dan berbakti kepada umat di taman bacaan. Biarlah kawan-kawan saya yang punya passion yang berbisnis dengan segala konsekuensinya. Asal jangan lupa, tetap bersosial dan peduli kepada sesama yang membutuhkan. Harus menjunjung tinggi etika, bukan hanya logika apalagi angkuh karena pangkat dan jabatan.
Saya mau bilang apa dengan tulisan ini. Sederhana saja. Bahwa sesuatu yang begitu kuat kita inginkan dan coba diraih dengan segala cara, terkadang berlari lebih cepat daripada upaya kita menujunya. Tahu-tahu, kita justru lenyap tertinggal. Seperti dulu saat remaja, kita kejar-kejar terus cewek idaman pada akhirnya hilang dan jatuh ke pelukan cowok lain.
Tapi sebaliknya, bila kita rileks saja dan berjalan santai justru tiba-tiba ada jalan nggak terduga yang membawa kita ke persinggahan baru yang menyenangkan. Jadi tempat yang asyik dan bikin happy. Kita memang nggak tahu ujungnya persinggahan ini. Tapi setidaknya, kita nggak tergopoh-gopoh, nggak grasa-grusu, apalagi terlalu nafsu mengejar apapun. Hingga akhirnya jadi manusia arogan dan subjektif, lupa asal dan jati diri. Dan apapun bertanyalah, terus bila sudah diraih mau apa lagi?
Pensiun, cepat atau lambat pasti datang. Maka persiapkan dengan baik, bukan hanya uang yang cukup. Tapi mau berbuat apa di masa pensiun? Berbisnis atau menulis. Atau mengajar dan berbakti sosial seperti saya. Jangan pula selalu bersyukur dan bersyukur atas segala keadaan yang dimiliki. Dan ingat, pada akhirnya adab itu di atas ilmu. Salam litetasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #PegiatLiterasi