AI dalam Dunia Tugas Kuliah, Sahabat Cerdas atau Musuh dalam Selimut ?
Rajabbul Amin February 23, 2025 11:08 PM
Dunia akademik sedang mengalami revolusi besar dengan kehadiran Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Saat pada zaman sebelum era digital, mahasiswa harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk menulis sebuah esai atau merangkum jurnal, di era digital kini dengan sekali klik AI bisa memberikan jawaban yang dibutuhkan dalam hitungan detik.
Beberapa mahasiswa menganggap AI sebagai sahabat cerdas yang membantu mereka menyelesaikan tugas dengan lebih efisien. Namun, di sisi lain, tidak sedikit yang mengkhawatirkan bahwa AI justru menjadi musuh dalam selimut yang merusak kreativitas, melemahkan kemampuan berpikir kritis dan menimbulkan dilema etika akademik.
Kemudahan yang ditawarkan AI memang tidak bisa dimungkiri. Dengan bantuan aplikasi seperti Chat GPT, Grammar, Gemini, Quilbot, serta aplikasi lainnya, mahasiswa dapat dengan cepat menyusun tulisan yang lebih sistematis dan bebas dari kesalahan tata bahasa. Bahkan, AI mampu memberikan referensi akademik yang relevan hanya dalam hitungan detik, sesuatu yang dulunya membutuhkan pencarian manual di perpustakaan atau basis data jurnal.
Dilansir dari Kompas. Id pada 2 Mei 2024 menyebutkan bahwa pemanfaatan AI dalam pendidikan mengalami lonjakan signifikan, dengan banyak universitas yang mulai mengadopsinya sebagai bagian dari sistem pembelajaran. AI membantu mahasiswa memahami materi dengan lebih cepat dan meningkatkan produktivitas mereka dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik.
Tantangan AI sebagai Ancaman dalam Dunia Akademik
Namun, di balik kemudahan itu, muncul kekhawatiran yang tidak bisa diabaikan. Ketergantungan yang berlebihan pada dunia AI bisa membuat mahasiswa kehilangan kemampuan berpikir kritis. Jika setiap tugas diselesaikan dengan bantuan teknologi tanpa adanya usaha untuk memahami materi, maka proses belajar yang seharusnya mengasah kecerdasan justru berubah menjadi sekadar kegiatan yang hanya menyalin dan menempel.
Howard Rheingold, seorang futuris teknologi, memperingatkan bahwa ketika manusia makin bergantung pada teknologi tanpa pemahaman yang mendalam, maka akan terjadi erosi kognitif, yakni kemampuan berpikir mandiri yang makin melemah. Hal ini bisa menjadi ancaman bagi kualitas pendidikan pada massa depan.
Persoalan lain yang tak kalah penting adalah masalah etika dan keaslian karya ilmiah. Jika seorang mahasiswa menggunakan AI untuk menulis tugasnya tanpa melakukan penyuntingan atau analisis sendiri, apakah tulisan tersebut masih bisa dianggap sebagai hasil pemikirannya?
Beberapa universitas kini mulai mengambil langkah-langkah untuk mengatasi dilemma ini. Misalnya beberapa institusi mewajibkan mahasiswa untuk mencantumkan sejauh mana mereka menggunakan AI dalam pengerjaan tugas. Beberapa universitas bahkan mulai menerapkan ujian lisan dan presentasi sebagai bentuk evaluasi yang lebih menekankan pada pemahaman konsep daripada sekadar hasil tulisannya.
Menurut, Prof Henry A Giroux, pakar pendidikan kritis menegaskan bahwa Teknologi seperti AI tidak bisa disalahkan begitu saja. Menurutnya, masalah sebenarnya terletak pada saat manusia menggunakannya. Jika AI dimanfaatkan secara bertanggung jawab, dia bisa menjadi alat pembelajaran yang berharga. Namun, jika digunakan tanpa pemahaman etis AI bisa menjadi alat untuk menghindari usaha intelektual yang seharusnya dilakukan oleh mahasiswa.
Perdebatan Pemanfaatan Teknologi AI dalam Akademik
Dalam konteks ini, ada perdebatan yang menarik antara mereka yang mendukung penggunaan AI dan mereka yang menolaknya. Pendukung AI berargumen bahwa teknologi ini justru membantu meningkatkan efisiensi belajar.
Dengan bantuan AI, mahasiswa dapat memahami materi lebih cepat dan memiliki lebih banyak waktu untuk mendalami konsep-konsep yang lebih kompleks. Selain itu, AI juga membantu mahasiswa yang memiliki keterbatasan dalam menulis, sehingga mereka dapat mengekspresikan gagasannya dengan lebih jelas dan sistematis.
Namun, kelompok yang kontra berpendapat bahwa AI dapat merusak esensi dari proses belajar. Pendidikan bukan hanya soal mendapatkan jawaban, tetapi juga tentan peran seorang berpikir, menganalisis dan membangun argumentasi.
Jika AI mengambil alih semua proses itu, mahasiswa akan kehilangan pengalaman intelektual yang berharga. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa AI dapat mendorong budaya akademik yang lebih transaksional saat mahasiswa hanya mencari hasil akhir tanpa benar-benar menghargai proses belajar yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, AI bukanlah sahabat atau musuh, AI hanyalah alat, yang menentukan dampaknya adalah saat mahasiswa menggunakannya. Jika AI digunakan dengan bijak, dia bisa menjadi mitra yang memperkaya pengalaman belajar mahasiswa, membantu mereka memahami materi dengan lebih mendalam, dan meningkatkan produktivitas akademik. Namun, jika AI digunakan tanpa kendali, dia bisa menjadi boomerang yang mengikis kreativitas, melemahkan etika akademik dan mengurangi nilai dari proses belajar itu sendiri. Saat ini dunia akademik berada di persimpangan jalan. Apakah kita akan membiarkan AI mengambil alih proses berpikir mahasiswa atau justru menggunakanya sebagai alay yang memperkaya pembelajarannya? Jawaban atas pertanyaan ini ada di tangan kita sebagai mahasiswa, yang jelas pendidikan di era digital harus bisa beradaptasi dengan perubahan zaman, tanpa kehilangan esensi dari proses belajar yang sejati. Oleh Rajabbul Amin, S.Sos Mahasiswa Magister KPI UIN Sunan Kalijaga
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.