Begitulah duduk perkara kasus royalti Agnes Mo dan sejarah hak cipta di Indonesia. Semoga bermanfaat. Inilah kisah "Siapa Sosok di Balik Peristiwa"
---
Intisari hadir di WhasApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Beberapa hari terakhir, nama Agnes Mo mendominasi mendominasi portal berita. Mantan artis cilik itu menghadapi gugatan dari Ari Bias terkait lagu "Bilang Saja" dan diwajibkan membayar royalti sebesar Rp1,5 miliar.
Menurut Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Negara (LMKN), sebagai dilansir Kompas.com, kasus ini bermula dari konser Agnez Mo. Promotor yang menggelar acara tidak membayar royalti kepada pencipta lagu.
“Berdasarkan peraturan, royalti sebesar 2 persen dari penjualan tiket harus dibayarkan. Yang jual tiket itu promotor, bukan penyanyi, jadi seharusnya promotor yang bertanggung jawab,” kata Johnny saat dihubungi Kompas.com, Selasa (18/2).
LMKN rutin mengirim surat kepada promotor konser untuk membayarkan royalti kepada pencipta lagu. Promotor yang bekerja sama dengan Agnez Mo juga sudah menerima pemberitahuan ini.
Namun, dalam kasus ini, promotor Agnez Mo belum membayar royalti kepada Ari Bias, pencipta lagu "Bilang Saja", yang sering dibawakan dalam konser. “Kalau promotor bayar, masalah selesai. Ari Bias bisa mendapatkan haknya dari Lembaga Manajemen Kolektif Karya Cipta Indonesia (LMK KCI). Tapi karena tidak membayar, hak cipta jadi dilanggar,” ujar Johnny.
LMK KCI sendiri bertugas mengelola royalti hak cipta lagu serta melindungi hak pencipta.
Pengacara Ari Bias menemukan celah hukum dalam kasus ini. Mereka menggunakan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, pasal 23. Pasal itu menyebutkan, siapa pun boleh menggunakan ciptaan dalam pertunjukan komersial tanpa izin pencipta asalkan membayar royalti melalui LMKN.
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menerima gugatan ini. Agnez Mo dijatuhi denda Rp1,5 miliar.
Putusan yang diumumkan pada 30 Januari 2025 merinci tiga pelanggaran hak cipta dalam tiga konser berbeda. Konser di Surabaya, Jakarta, dan Bandung masing-masing dikenai denda Rp 500 juta. Agnez Mo dikabarkan akan mengajukan kasasi.
"Nanti di kasasi baru kita lihat apakah inkrah atau seperti apa," kata Johnny.
Apa sih Hak Cipta itu?
Menurutcopyrightalliance.org, hak cipta adalah hak eksklusif yang secara otomatis diberikan pada seorang pembuat karya atas karya-karyanya. Hak cipta adalah merupakan kekayaan intelektual dalam berbagai bidang.
Hak cipta berfungsi menghargai suatu karya dan mendorong pencipta karya tersebut untuk menghasilkan karya baru. Tujuan dari pelaksanaan hukum hak cipta adalah melindungi hak eksklusif, hak moral, dan ekonomi bagi pencipta karya.
- Hak Eksklusif adalah hak pembuat karya untuk mengontrol mekanisme kepemilikan juga distribusi dari karyanya. Hak eksklusif berarti siapa pun yang ingin menggunakan, menyalin, memperbanyak, dan menjual suatu karya cipta harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pembuatnya.
- Hak moral berarti walaupun karya tersebut telah dibeli, pembeli harus tetap mencantumkan nama pembuat karya. Hak moral membuat karya akan selalu lekat dengan siapa pembuatnya.
- Hak ekonomi berarti pembuat karya berhak mendapatkan imbalan ekonomi dari pihak-pihak yang menggunakan karyanya.
Hukum hak cipta secara internasional pernah diatur dalam konvensi Berne, Konvensi Roma, Perjanjian Hak Cipta WIPO, Perjanjian Pertunjukan dan Fonogram WIPO, dan Fair Access to Science and Technology Research Act of 2015.
Hak cipta di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia no. 28 tahun 2014 tentang hak cipta yang dikeluarkan pada tanggal 16 oktober 2014.
Pelanggaran hak cipta adalah pelanggaran hak eksklusif dari pencipta seperti memperbanyak, menjual, dan memamerkan karya tanpa adanya izin dari pencipta. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia no. 28 tahun 2014 juga diatur jenis-jenis kegiatan yang tidak melanggar hak cipta.
Misalnya penggunaan dan pengandaan untuk pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, laporan, kritik, tinjauan, ceramah dan pertunjukan selama menyertakan sumber lengkap dari karya tersebut. Untuk penggunaan yang bersifat mendapatkan keuntungan, harus didapatkan izin pencipta terlebih dulu.
Sejarah hak cipta
Mengutip Dgip.go.di, peraturan perundang-undangan di bidang HKI di Indonesia telah ada sejak 1840-an. Ketika itu pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan undang-undang pertama mengenai perlindungan HKI pada tahun 1844.
Belanda kemudianmengundangkan UU Merek (1885), UU Paten (1910), dan UU Hak Cipta (1912). Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands East-Indies telah menjadi anggota Paris Convention for the Protection of Industrial Property sejak tahun 1888 dan anggota Berne Convention for the Protection of Literary and Aristic Works sejak tahun 1914.
Saat Jepang datang, semua peraturan perundang-undangan di bidang HKI tersebut tetap berlaku.
Setelah Indonesia, peraturan itu tetap berlaku -- selama tak bertentangan dengan UUD 1945.UU Hak Cipta dan UU peningggalan Belanda tetap berlaku, namun tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan pemerintah Indonesia.
Pada tahun 1953 Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang merupakan perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur tentang paten, yaitu Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.S. 5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan semetara permintaan paten dalam negeri, dan Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.G. 1/2/17 yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar negeri.
Pada11 Oktober 1961 pemerintah RI mengundangkan UU No. 21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan (UU Merek 1961) untuk menggantikan UU Merek kolonial Belanda. UU Merek 1961 yang merupakan undang-undang Indonesia pertama di bidang HKI. Berdasarkan pasal 24, UU No. 21 Th. 1961, yang berbunyi "Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Merek 1961 dan mulai berlaku satu bulan setelah undang-undang ini diundangkan".
Undang-undang tersebut mulai berlaku tanggal 11 November 1961. Penetapan UU Merek 1961 dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari barang-barang tiruan/bajakan. Saat ini, setiap tanggal 11 November yang merupakan tanggal berlakunya UU No. 21 tahun 1961 juga telah ditetapkan sebagai Hari KI Nasional.
Lalu pada10 Mei 1979 Indonesia meratifikasi Konvensi Paris [Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Stockholm Revision 1967)] berdasarkan Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979. Partisipasi Indonesia dalam Konvensi Paris saat itu belum penuh karena Indonesia membuat pengecualian (reservasi) terhadap sejumlah ketentuan,yaitu Pasal 1 s.d. 12, dan Pasal 28 ayat (1).
Pada 12 April 1982 Pemerintah mengesahkan UU No.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta ( UU Hak Cipta 1982) untuk menggantikan UU Hak Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan UU Hak Cipta 1982 dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.
Lalu pada 23 Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah tim khusus di bidang HKI melalui Keputusan No. 34/1986 (Tim ini lebih dikenal dengan sebutan Tim Keppres 34). Tugas mereka adalah mencangkup penyusunan kebijakan nasional di bidang HKI, perancangan peraturan perundang-undangan di bidang HKI dan sosialisasi sistem HKI di kalangan instansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat luas.
Tim Keppres 34 selanjutnya membuat sejumlah terobosan, antara lain dengan mengambil inisiatif baru dalam menangani perdebatan nasional tentang perlunya sistem paten di tanah air. Setelah Tim Keppres 34 merevisi kembali RUU Paten yang telah diselesaikan pada tahun 1982, akhirnya pada tahun 1989 Pemerintah mengesahkan UU Paten.
Pada 19 September 1987 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 7 tahun 1987 sebagai perubahan atas UU No. 12 tahun 1982 tentang Hak Cipta. Dalam penjelasan UU No. 7 tahun 1987 secara jelas dinyatakan bahwa perubahan atas UU No. 12 tahun 1982 dilakukan karena semakin meningkatnya pelanggaran hak cipta yang dapat membahayakan kehidupan sosial dan menghancurkan kreativitas masyarakat.
UU No. 7 tahun 1987 Pemerintah Indonesia menandatangani sejumlah kesepakatan bilateral di bidang hak cipta sebagai pelaksanaan dari UU tersebut.
Pada 1988 berdasarkan Keputusan Presiden No. 32 di tetapkan pembentukan Direktorat Jendral Hak Cipta, Paten dan Merek (DJ HCPM) untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat Paten dan Hak Cipta yang merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat Jendral Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Kehakiman.
13 Oktober 1989 Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui RUU tentang Paten, yang selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 tahun 1989 (UU Paten 1989) oleh Presiden RI pada tanggal 1 November 1989. UU Paten 1989 mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1991. Pengesahan UU Paten 1989 mengakhiri perdebatan panjang tentang seberapa pentingnya sistem paten dan manfaatnya bagi bangsa Indonesia.
28 Agustus 1992 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 19 tahun 1992 tentang Merek (UU Merek 1992), yang mulai berlaku tanggal 1 April 1993. UU Merek 1992 menggantikan UU Merek 1961. Lalu 15 April 1994 Pemerintah RI menandatangani Final Act Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, yang mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPS).
Kemudian pada 1997 Pemerintah RI merevisi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang KI, yaitu UU Hak Cipta 1987 jo. UU No. 6 tahun 1982, UU Paten 1989, dan UU Merek 1992.
Di penghujung tahun 2000, disahkan tiga UU baru di bidang KI, yaitu UU No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri dan UU No 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Dalam upaya untuk menyelaraskan semua peraturan perundang-undangan di bidang KI dengan Persetujuan TRIPS, pada tahun 2001 Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten, dan UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek. Kedua UU ini menggantikan UU yang lama di bidang terkait. Pada pertengahan tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menggantikan UU yang lama dan berlaku efektif satu tahun sejak diundangkannya.
Begitulah duduk perkara kasus royalti Agnes Mo dan sejarah hak cipta di Indonesia. Semoga bermanfaat.