Paradoks Inklusi: Saat Anak Dilarang Hadir
Laili Zailani February 25, 2025 12:00 PM
Di tengah upaya membangun kesetaraan dan inklusi, sebuah kebijakan dalam proyek pelatihan kesadaran gender dan inklusi sosial (GESI) justru memperlihatkan kontradiksi mencolok. Dalam sebuah pelatihan yang didanai oleh korporasi besar, kehadiran anak dalam frame foto kegiatan dilarang, kecuali jika ada surat izin tertulis dari orang tua (consent letter). Larangan ini tampaknya dimaksudkan untuk melindungi anak-anak, tetapi ironisnya, justru menciptakan eksklusi baru bagi perempuan.

Inklusi yang Menyisihkan Perempuan

Di banyak komunitas akar rumput, perempuan menghadapi realitas beban ganda—menjalankan peran di ranah publik sekaligus tetap bertanggung jawab atas urusan domestik, termasuk mengasuh anak. Dalam kondisi ini, banyak perempuan yang terpaksa membawa anak saat mengikuti pelatihan atau pertemuan karena tidak memiliki pilihan lain. Namun, alih-alih memahami kenyataan ini, kebijakan yang diterapkan justru menormalisasi eksklusi dengan menjadikan kehadiran anak sebagai sesuatu yang harus dihindari.
Pengalaman saya di HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia) Sumatera Utara selama lebih dari 30 tahun menunjukkan bahwa hampir tidak ada perempuan yang pergi mengikuti pelatihan tanpa membawa anak, jika mereka memiliki anak kecil. Menyadari hal ini, kami selalu berusaha menyediakan ruang bagi perempuan untuk tetap bisa berpartisipasi dengan mendukung kebutuhan mereka, termasuk fasilitas pengasuhan anak.
Kebijakan inklusif semacam ini terbukti efektif. Di India, sebuah perusahaan teknologi yang memperbolehkan karyawan membawa anak ke kantor mengalami peningkatan partisipasi perempuan hingga 30 persen (McKinsey & Company, Women in the Workplace 2020). Ini menunjukkan bahwa jika korporasi benar-benar peduli pada inklusi, mereka harus siap menyesuaikan kebijakan dengan realitas perempuan, bukan malah menciptakan batasan baru.

Pendekatan Tidak Sensitif Gender

Melarang anak dalam foto kegiatan dengan alasan perlindungan justru mencerminkan pendekatan yang tidak sensitif gender. Jika seorang ibu membawa anaknya ke pelatihan, apakah ia harus meninggalkan anaknya saat sesi foto? Atau apakah ia harus dikecualikan dari dokumentasi kegiatan? Pilihan seperti ini sama sekali tidak mencerminkan inklusi.
Meskipun kebijakan ini memberikan opsi “izin tertulis” sebagai solusi, pendekatan ini tetap bermasalah. Mengapa tidak dimulai dengan asumsi bahwa kehadiran anak adalah hal yang wajar, bukan sesuatu yang perlu diatur dengan pendekatan yang membebani perempuan. Kebijakan yang melarang kehadiran anak dalam frame kecuali dengan izin tertulis justru membatasi perempuan yang membawa anak dalam kegiatan.
Lebih tepat jika kebijakan dimulai dengan: 'anak-anak yang masuk dalam frame (foto kegiatan) harus atas persetujuan orang tuanya' sebagai bentuk penghormatan terhadap hak keluarga tanpa menciptakan batasan yang tidak perlu? Seharusnya, kebijakan inklusi dimulai dengan mengakomodasi kebutuhan perempuan, bukan dengan membatasi ruang gerak mereka.
Saya berpendapat bahwa komitmen penyelenggara kegiatan untuk memastikan bahwa seluruh foto kegiatan, termasuk foto di mana ada anak dalam frame, tidak akan digunakan untuk tujuan eksploitasi anak atau tujuan yang melanggar etika, sudah cukup sebagai perlindungan. Jika hal ini sudah dipastikan, maka tidak ada alasan bagi kebijakan untuk melarang kehadiran anak dalam dokumentasi kegiatan.

Mengapa Ini Bermasalah?

Dalam pendekatan interseksional, kebijakan yang tidak mempertimbangkan realitas perempuan berisiko semakin meminggirkan mereka. Perempuan dari komunitas miskin dan budaya patriarkal sering kali tidak memiliki akses ke fasilitas pengasuhan anak yang layak. Dengan kebijakan seperti ini, mereka justru semakin sulit berpartisipasi dalam ruang publik.
Sebuah studi oleh UN Women menunjukkan bahwa 75 persen perempuan di negara berkembang mengalami kesulitan berpartisipasi dalam kegiatan publik karena tanggung jawab domestik yang tidak didukung oleh kebijakan inklusif (Progress of the World’s Women 2019-2020). Tanpa pendekatan berbasis empati dan ethics of care, program inklusi hanya akan menjadi jargon tanpa implementasi nyata.
Selain itu, penelitian oleh World Bank (2021) menunjukkan bahwa negara-negara dengan kebijakan inklusif bagi perempuan, termasuk kebijakan yang memungkinkan anak-anak berada dalam lingkungan kerja atau pelatihan, memiliki tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan yang lebih tinggi dan produktivitas yang meningkat. Dengan demikian, kebijakan inklusi yang sebenarnya tidak hanya berdampak pada keadilan sosial, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi yang lebih luas.

Reframing Kebijakan: Dari Larangan ke Solusi

Pilihan kata dalam kebijakan sangat berpengaruh. Perbedaan antara “anak-anak boleh hadir dalam frame dengan izin tertulis” dan “anak-anak tidak boleh hadir dalam frame kecuali dengan izin tertulis” mungkin terdengar kecil, tetapi memiliki dampak besar. Yang pertama mengakui realitas hidup perempuan, sedangkan yang kedua secara implisit menyatakan bahwa kehadiran anak adalah masalah.
Jika perusahaan dan organisasi benar-benar ingin menerapkan inklusi, mereka harus mulai dari asumsi bahwa perempuan memiliki kehidupan yang kompleks dan tidak dapat dipisahkan dari peran domestik mereka. Kehadiran anak bukanlah sesuatu yang harus dikendalikan dengan aturan kaku, tetapi justru diakomodasi dalam kebijakan yang lebih adaptif.
Menghormati dan peduli terhadap realitas hidup perempuan adalah fondasi dari setiap program pemberdayaan yang bermakna. Jika hal mendasar ini diabaikan, maka jargon GESI tidak lebih dari sekadar slogan kosong tanpa dampak nyata.***
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.