Pemerintah resmi melarang impor garam untuk kebutuhan aneka pangan dan farmasi mulai 1 Januari 2025. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 126 Tahun 2022 tentang Percepatan Pergaraman Nasional. Lewat beleid itu, pemerintah menutup impor garam industri, kecuali untuk kebutuhan chlor alkali plant (CAP).
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) Taruna Ikrar menyebut kebutuhan garam secara nasional setiap tahun adalah 6,4 juta ton. Sementara 2,7 juta di antaranya menjadi urusan BPOM RI, baik dalam kebutuhan garam farmasi, garam fortifikasi, hingga garam industri pangan.
"Nah kalau kita berbicara industri pangan saja, dari konteks itu ternyata ekspor pangan kita saja bernilai Rp 500 triliun, besar sekali, kalau ketidaktersediaan 2,7 ton tidak ditangani dengan baik, itu bisa jadi masalah besar, nah kita lihat yang kebutuhannya agak kecil, garam farmasi setelah total semuanya kita butuh 7,6 ribu ton setiap tahun," tutur Taruna dalam agenda daring, Selasa (25/2/2025).
Berdasarkan informasi sejumlah industri garam farmasi, kebutuhan yang mampu diproduksi setiap tahun adalah 300 ton. Hal ini tentu masih menjadi tantangan untuk mengamankan pasokan yang setidaknya diupayakan sebanyak 15 ribu ton setiap tahun untuk garam farmasi.
"Itu berarti kita masih kekurangan 7 ribu ton lebih, untuk garam farmasi," tutur dia.
Bila tidak dilayani dengan baik, di tengah penyetopan impor, tentu hal ini bisa memicu potensi krisis garam.
Misalnya, pabrik-pabrik disebutnya akan kesulitan dalam memproduksi infus larutan NaCL yang juga penting untuk kebutuhan nasional, termasuk pada pasien gangguan fungsi ginjal.
"Kesimpulannya kita akan mengalami krisis kalau kita tidak berhati-hati, di bawah kepemimpinan saya, saya langsung turun gunung untuk melihat perusahaan garam yang ada di Jawa Timur ini, untuk apa, untuk mempercepat cara pembuatan obat yang baik (CPOB) tapi tanpa meninggalkan standar kualitas, tidak bisa ditawar, keamanan tidak bisa ditawar," sambungnya.
Berdasarkan hasil evaluasi BPOM RI, sertifikat tersebut aman diberikan dan perusahaan garam farmasi bisa ikut membantu menambah kebutuhan demi mencegah krisis garam.
Taruna juga menyinggung garam fortifikasi di Indonesia yang minim diproduksi dalam negeri. Hal yang kemudian dikhawatirkan adalah kebutuhan industri pangan untuk mendapatkan garam fortifikasi berimbas pada mikronutrien defisiensi khususnya yang berkaitan dengan yodium.
"Kita berjuang tahun ini jika tidak mengalami krisis garam farmasi dan garam-garam lainnya, kalau ini bisa ditangani dengan baik jatim bisa menjadi salah satu solusi di negara kita," pungkasnya.