Soft Power dan Feminisme: K-pop dan K-Drama sebagai Alat Diplomasi Gender?
Anggi Rebeca Lumban Batu February 25, 2025 02:40 PM
Pada beberapa dekade terakhir, Korea Selatan telah berhasil membangun pengaruh budaya global melalui gelombang Hallyu. Hallyu atau KoreanWave merupakan sebutan untuk keberhasilan Korea selatan dalam memasarkan dan mempromosikan budaya populernya secara global melalui K-pop, K-drama, film, dan gaya hidup. Popularitas ini tidak hanya memperkenalkan budaya Korea ke seluruh dunia, namun juga menjadi alat soft power yang memperkuat citra Korea Selatan di kancah internasional. Salah satu aspek yang menarik dalam perkembangan ini adalah bagaimana K-pop dan K-drama menampilkan representasi perempuan yang lebih independen, kuat, dan berdaya.
Kekuatan K-Pop dan K-drama
K-pop dan K-drama telah menjadi fenomena global yang memiliki pengaruh luar biasa di berbagai belahan dunia. Berawal dari industri hiburan Korea Selatan yang berkembang pesat sejak akhir 1990-an, K-pop dan K-drama kini tidak hanya menjadi hiburan semata, tetapi juga sebagai alat untuk menyebarkan budaya, nilai-nilai- serta citra korea di kancah internasional. Keberhasilan ini tidak terlepas dari strategi pemasaran yang kuat, kualitas produksi yang tinggi, serta dukungan penuh dari pemerintah Korea Selatan melalui kebijakan diplomasi budaya mereka.
Kekuatan utama dari K-pop terletak pada daya tarik musiknya yang inovatif, penampilan visual yang menawan, serta hubungan erat antara idol dan penggemarnya. Grup seperti BTS, BLACKPINK, dan Twice telah membangun basis penggemar yang sangat loyal di seluruh dunia, berkat konten yang mereka hasilkan dan interaksi yang mereka lakukan terhadap penggemar-penggemarnya melalui media sosial. Sementara itu, K-drama menawarkan cerita beragam, karakter yang kuat, dan pesona para aktor yang dapat membawa penonton hanyut ke dalam cerita nya, sehingga membuatnya digemari oleh berbagai kalangan.
K-pop dan K-drama juga memainkan peran penting dalam membentuk persepsi global terhadap Korea Selatan. Dengan menggunakan kehidupan modern, nilai-nilai budaya, dan perkembangan teknologi, keduanya berhasil menciptakan daya tarik yang besar bagi penonton internasional. Banyak negara mulai mengenal bahasa, makanan, serta gaya hidup Korea melalui media ini, yang pada akhirnya meningkatkan sektor pariwisata dan ekonomi Korea Selatan secara signifikan.
Namun, dibalik itu, terdapat dinamika yang lebih kompleks. Industri hiburan korea juga sering dikritik karena eksploitasi terhadap artis, standar kecantikan yang tinggi, serta tekanan besar yang dialami oleh para idol dan aktor. Meski demikian, tidak dapat disangkal bahwa K-pop dan K-drama memiliki kekuatan yang besar dalam membentuk budaya populer global serta menjadi alat soft power yang sangat efektif bagi Korea Selatan.
Konsep soft power yang diperkenalkan oleh Joseph Nye mengacu pada cara sebuah negara mempengaruhi dunia melalui budaya, nilai-nilai, dan diplomasi, bukan melalui kekuatan militer. Korea Selatan memanfaatkan Hallyu sebagai strategi softpower untuk membentuk citra globalnya sebagai negara modern dan progresif. K-pop dan K-drama menjadi alat utama dalam kampanye ini, menarik perhatian generasi muda di berbagai belahan dunia. Namun pertanyaannya adalah, sejauh mana K-pop dan K-drama tidak hanya memperkuat citra Korea Selatan, tetapi juga berkontribusi pada agenda sosial yang lebih besar, seperti feminisme dan kesetaraan gender? Apakah mereka benar-benar mempromosikan perubahan atau hanya mengikuti trend pasar internasional?
K-pop dan K-drama: Mendorong Perubahan Nyata atau Mengikuti Tren Pasar Internasional?
K-pop seringkali menampilkan citra perempuan yang beragam, mulai dari konsep imut menggemaskan, hingga perempuan yang mandiri dan kuat. Grup seperti BLACKPINK dan ITZY sering mengusung tema pemberdayaan perempuan dalam lagu-lagu mereka. Misalnya dalam lagu ITZY yang berjudul “DALLADALLA”, lagu ini membahas mengenai independensi dan kepercayaan diri. Selain itu lagu “PrettySavage” dari BLACKPINK yang menekankan keberanian dan keteguhan hati.
Namun, meskipun terdapat narasi pemberdayaan, realitas yang dihadapi idol perempuan tidak selalu mencerminkan kebebasan yang mereka tampilkan di atas panggung. Industri K-pop dikenal memiliki standar kecantikan yang ketat, aturan yang ketat mengenai kehidupan pribadi idol, serta kontrak kerja yang seringkali membatasi kebebasan mereka. Banyak idol perempuan yang dipaksa untuk mempertahankan tubuh yang kurus, menghadapi kontrol kontrol ketat terhadap hubungan pribadi mereka, serta terlibat dalam latihan dan jadwal kerja yang sangat padat. Kasus seperti ini menunjukkan bahwa meskipun K-pop terlihat mendukung feminisme dan pemberdayaan perempuan, realitas yang dihadapi idol perempuan justru menunjukkan eksploitasi dan pembatasan.
Jika dilihat, di satu sisi tidak dapat disangkal bahwa K-drama semakin banyak menampilkan karakter perempuan yang lebih kuat dan independen, seperti dalam drama TheGlory, yang menampilkan karakter perempuan yang lebih independen, profesional, dan berani melawan norma sosial. Di dunia K-pop sendiri, beberapa idol juga mulai berbicara mengenai isu sosial, termasuk feminisme dan kesetaraan gender. Contohnya BTS yang bekerja sama dengan UNICEF dalam kampanye LoveMyself yang bertujuan untuk meningkatkan kesedaran tentang self-love dan bullying.
Namun meskipun seperti itu, kenyataannya masyarakat Korea Selatan masih sangat konservatif dalam hal peran gender. Berdasarkan Global Gender Gap Report 2024 yang diterbitkan oleh World Economic Forum, Korea Selatan menempati peringkat ke-94 dari 146 negara dengan skor indeks kesenjangan gender sebesar 0,696 (69,6%). Korea Selatan menempati peringkat terendah dalam Global Gender Gap Index di antara negara-negara maju, dengan kesenjangan besar dalam partisipasi ekonomi, politik, dan hak-hak perempuan (Global Gender Gap Index, 2024). Jadi dapat dilihat bahwa K-pop dan K-drama memang telah membuka ruang diskusi mengenai feminisme dan kesetaraan gender, tetapi perubahan yang mereka bawa masih terbatas. Banyak elemen feminisme yang diusung lebih bersifat simbolis dan bertujuan untuk menarik pasar internasional daripada benar-benar mendorong perubahan sosial di Korea selatan.