Bagi generasi milenial dan generasi sebelumnya lagu dengan judul nenek moyangku seorang pelaut ciptaan ibu Sud tentu tidaklah asing didengar sejak dari usia belia. Lagu ini seperti doktrin atau paling tidak seperti mengandung unsur metaforis yang melampaui imajinasi anak generasi tersebut untuk meyakini bahwa leluhur kita adalah seorang pelaut. Padahal di satu sisi, anak generasi tersebut mungkin lebih senang menggambar gunung dan sawah ketimbang menggambar laut dan Pantai.
Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Arus Balik menggambarkan bagaimana dulu Nusantara pernah menjadi sebuah entitas kekuatan maritim utama di dunia. Khususnya pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, Pram menggambarkan Nusantara menyebarkan pengaruh (tidak hanya perdagangan) sebagai pemasok utama berbagai komoditas ke wilayah di dunia, mulai dari Afrika, India, Timur Tengah hingga Tiongkok. Pengaruh tersebut yang disebut Pram sebagai arus yang bergerak dari Selatan ke Utara.
Memasuki abad ke-16 Kapal Jung besar yang mampu membawa berbagai macam komoditas perdagangan sekaligus armada perang tidak lagi di Produksi dengan semakin melemahnya Kerajaan Majapahit. Arus berbalik, kehadiran Portugis dan perang saudara semakin melemahkan kekuatan maritim di Nusantara. Bandar-Pelabuhan banyak yang jatuh ke tangan Portugis dan kekuatan maritim Nusantara semakin melemah. Bangsa Nusantara cenderung semakin terdesak kepedalaman, dan bangsa atas angin (yang hidup diutara : eropa, arab, tiongkok) semakin menguasai bandar-pelabuhan dengan membawa segalanya ; militer, budaya dan memonopoli perdagangan. Arus balik ini lah yang di gambarkan Pram sebagai arus dari utara ke Selatan.
Lebih jauh lagi, Philip Bowring dalam bukunya Nusantaria Sejarah Asia Tenggara Maritim menggambarkan lebih luas kawasan yang kini disebut sebagai ASEAN sebagai kekuatan utama maritim dunia. Bowring mencoba menggunakan pendekatan kronologi sejarah dengan mengulas awal bagaimana dahulu Paparan Sunda (Sundaland) tenggelam dan mengasilkan gugusan kepulauan saat ini akibat dari meningkatnya permukaan air laut dengan mencairnya zaman es yang berakhir sekitar 8.000 tahun yang lalu.
Bowring menggambarkan masyarakat yang berorientasi maritim muncul secara organik-genuine dikawasan Asia Tenggara akibat dari tenggelamnya sundaland yang ia sebut dengan timbul dari tenggelam. Kawasan maritim tersebut paling tidak bertahan hingga abad ke-16, yang pada akhirnya memudar akibat utamanya dipengaruhi dari kedatangan ‘ambisi’ bangsa eropa di kawasan Asia Tenggara. Kolonialisme bangsa barat menyebabkan monopoli dan eksploitasi yang mendesak masyarakat Asia Tenggara berubah secara dominan menjadi bercorak agraris--seperti tanam paksa. Bahkan kolonialisme menyebabkan hilangnya ruh kawasan kepulauan terbesar di dunia tersebut sebagai bangsa maritim, menjadi wilayah-wilayah kecil kemudian menjadi negara-negara modern hingga hari ini.
Hal senada juga disampaikan oleh Yoseph Yapi Taum bahwa penjajahan telah membelokan orientasi bangsa Indonesia dari orientasi maritim menjadi orientasi agraris. Catatan arus balik sejarah tersebut paling tidak mampu menjawab pertanyaan terkait nenek moyang kita apakah seorang pelaut adalah benar. Walau sisa-sisa kejayaan tersebut nyaris tidak banyak tersisa. Misal saja hilangnya jejak kapal Jung Raksasa milik Majapahit, akibat adanya larangan dan batasan yang dilakukan penjajah terhadap galangan-galangan kapal. Selain Kapal Phinisi yang mahsyur,hanya beberapa kapal tradisional dahulu yang masih bertahan sebagai ciri utama sebuah negara maritim yang memiliki kebudayaan dalam membuat kapal dan berlayar. Distorsi yang dilakukan penajajah-kolonial tersebut ampuh menghilangkan jejak jati diri bangsa Nusanatara.
Perbesar
Ilustrasi Sundaland. Sumber : https://www.ninevibe.com/sejarah/internasional/bukti-indonesia-adalah-atlantis-yang-hilang
Arus Balik Paradigmatik
Secara tidak sadar, kolonialisme telah membuat bangsa Indonesia memunggungi laut, bahkan dalam tradisi lisan atau mitos yang diungkapkan Yoseph Yapi Taum dalam artikelnya “Berbagai Mitos,tentang Laut: Mengungkap Konsep Bahari Bangsa Indonesia”, menunjukan di berbagai wilayah nusantara laut masih dijadikan sesuatu yang ‘mistis dan sakral’. Tradisi yang berkembang belakangan seakan menjadikan laut sesuatu yang terlalu digdaya untuk di eksplorasi dan diarungi, bahkan terkesan mistis-ditakuti dengan berbagai macam mitos adanya penguasa laut seperti Ratu kidul atau jenis dewi laut lainnya.
Tradisi dan kesadaran kolektif masyarakat yang cenderung menjauhi laut perlu di rekonstruksi ulang. Bahwa kekuatan dan potensi agraris bangsa Indonesia tidak akan pernah utuh tanpa adanya cara pandang bahwa kita adalah negara kepulauan (Archipelagic state). Setiap daratan terhubung oleh hamparan lautan, dan setiap potensi pulau-pulau disatukan perairan. Jangan-jangan kita selama ini bercara pandang seakan-akan kita hidup pada wilayah kontinental (benua). Padahal pertanian kita yang sangat bergantung pada gunung berapi dalam menyuburkan tanah, berhubungan erat dengan lempeng-lempeng tektonik yang berada di lautan.
Setiap aktivitas yang kita lakukan di gunung dan dihutan, pada akhirnya akan mempengaruhi pesisir-laut. Begitu juga sebaliknya, faktor-faktor oseanografi dan klimatologi laut-samudera akan mempengaruhi seluruh aktivitas di daratan (kepulauan). Laut dan darat bagi bangsa Indonesia harus menjadi bagian kesadaran utuh, bahwa kita adalah negara kepulauan. Kesadaran sebagai negara kepulauan harus kembali menjadi kesadaran kolektif, sehingga diperlukan arus balik paradigmatik. Paradigma yang memandang kembali laut sebagai weltanschauung, sebagai sebuah pandangan hidup bangsa yang tidak bisa terlepas dari laut.
Merubah paradigma ratusan tahun yang dibangun penjajah tentu tidaklah mudah. Arus balik paradigmatik ini harus di tempuh dengan semua cara dan usaha. Perlu propaganda yang masif, dan agenda setting yang membumi dan radikal (mengakar), sehingga dapat meresap kedalam setiap insan anak bangsa. Perlu di semai didalam pendidikan dasar, dan dibangun dalam setiap kebijakan dan program konkret yang berdampak.
Indonesia Sebagai Negara Kelautan-Kepulauan
Pasca kemerdekaan, keinginan untuk menjadikan kembali Indonesia sebagai negara maritim terlihat dari Pidato Presiden RI-Soekarno saat meresmikan Institut Angkatan Laut tahun 1953 "Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawala samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.”
Pernyataan Soekarno tersebut kemudian didukung dengan adanya deklarasi yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, yang laut diantara pulau-pulau tersebut merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Deklarasi ini terjadi pada tanggal 13 Desember 1957 yang kita kenal sebagai Deklarasi Djuanda. Inti dari deklarasi tersebut pertama adalah mengubah acuan laut teritorial Indonesia berdasarkan Ordonansi Hindia-Belanda 1939 yang menyatakan laut teritorial Indonesia hanya 3 mill dari garis pantai dan laut diluar tersebut merupakan laut bebas.
Kedua, Deklarasi Djuanda menegaskan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, dimana daratan dan lautan Indonesia adalah satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan. Ketiga, Indoenesia menegaskan bahwa luas wialayah laut teritorial Indonesia diukur 12 mill dari garis pantai, dan laut yang menghubungkan antar pulau merupakan perairan pedalaman yang berada dibawah kedaulatan mutlak Indonesia.
Sebetulnya kita perlu insyafi, bahwa Deklarasi Djuanda adalah deklarasi penegasan kemerdekaan Negara Indonesia untuk kedua kalinya, dalam hal penegasan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika 17 Agustus 1945 Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan dengan modal adanya rakyat, pemerintahan dan wilayah, Maka pada saat itu wilayah Indoesia belumlah utuh, dimana lautan masih dianggap sebagai pemisah bukan pemersatu antar pulau. Deklarasi Djuanda adalah de facto, dan kemudian secara de jure diakui dengan adanya United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, dan diakui merdeka utuh secara wilayah dari Sabang sampai Mereuke dengan seluruh perairan luat didalamnya.
Mengoptimalkan Sumber Daya-Negara Poros Maritim Dunia
Setelah menegaskan secara de facto dan de jure (yuridis) bahwa Indonesia adalah negara kelautan dan negara kepulauan, yang tidak kalah penting setelah itu adalah, mau apa kita setelah menjadi negara kepulauan?. Ini adalah pertanyaan penting sebagai orientasi yang tidak hanya membutuhkan jawaban, akan tetapi perlu upaya yang serius dalam mengejawantahkannya dalam langkah konkret. Orientasi yang dibangun kolonialisme dan juga orientasi pembangunan negara yang dominan ke daratan paling tidak hingga orde baru, menyebabkan kita tertinggal dalam eksplorasi sumber kekayaan di laut. Pekerjaan rumah dari pertanyaan tersebut harus dimulai dari hal-hal mendasar.
Indonesia dengan potensi hutan tropis yang diberkahi tanah subur—dikelilingi ring of fire dan sebagai paru-paru dunia merupakan negara dengan kekayaan sumber daya hayati dan non-hayati (seperti mineral) yang sangat kaya. Namun, jika digabungkan dengan lautan, Indonesia adalah negara megabiodiversity yang sangat menakjubkan. Anugerah kekayaan alam yang telah Tuhan berikan kepada Negara Indonesia, perlu disyukur dengan mengelola nya dengan sebaik-baiknya, dan memakmurkannya dengan berkelanjutan.
Diperlukan pembangunan manusia maritim Indonesia yang orientasi dan kompetensinya kompatible dalam pembangunan maritim. Manusia yang mempunyai weltanschauung terhadap laut dan kompetensi nya memiliki pandangan kelautan. Ilustrasi pada seorang petani-agraris yang memiliki pandangan kelautan misalnya adalah munculnya kesadaran untuk tidak mencemari air dihulu dalam pertanian yang akan menyebabkan terganggunya sumber daya hayati perairan dari hulu hingga ke hilir yang bermuara ke laut. Atau upaya dalam penataan tata ruang wilayah di sekitar sungai yang dapat menyebabkan pencemaran dan sedimentasi yang masif di muara bahkan hingga ke laut.
Perlu mendorong lembaga-lembaga pendidikan tinggi melahirkan manusia dan riset kearah sumber daya hayati dan non hayati kelautan. Banyak sumber daya hayati kelautan dari mulai yang bersifat mikroskpis seperti mikroalga, yang dapat menjadi solusi stunting dan asupan gizi anak Indonesia yang belum dioptimalkan. Mikroalga sebagai superfood dianggap sebagai salah satu solusi makanan masa depan dan Indonesia kaya akan itu. Belum lagi mikroalga sebagai sumber energi terbarukan yang dibeberapa negara sudah dikembangkan.
Selain sumber daya hayati bersifat mikroskopis, sumber daya hayati yang bersifat makro seperti rumput laut, perikanan dan jenis sumber daya hayati lainnya belum di kelola secara optimal. Tidak kalah penting, adalah sumber daya non-hayati seperti mineral, air, gelombang laut, angin, sedimen dan sumber daya non-hayati lainnya. Pengelolaan dan pemanfaatan tersebut memerlukan manusia yang kompeten dan riset yang memadai sehingga diperlukan dorongan kebijakan dan fiskal dari pemerintah.
Terakhir, Indonesia menuju negara poros maritim dunia memerlukan pembangunan infrastruktur niaga maritim dan infrastuktur keamanan maritim sebagaimana dahulu berjaya pada masa kerajaan Majapahit. Indonesia perlu mengembangkan kembali galangan-galangan kapal niaga, baik untuk kapal perikanan, kapal barang, maupun kapal penumpang dan tidak kelah penting adalah membangun pelabuhan-pelabuhan niaga strategis baik untuk angkutan barang (Terminal/kargo), pelabuhah penumpang dan juga pelabuhan perikanan. Indonesia perlu mengembangkan kekuatan pertahanan laut, mulai dari armada perang, pasukan perang, hingga infrastruktur pengawasan baik yang bersifat langsung maupun pengawasan melalui teknologi penginderaan jauh diseluruh wilayah perairan Indonesia.
Upaya-upaya tersebut diatas adalah upaya agar bangsa Indoensia kembali menjadi bangsa pelaut dan poros maritim dunia sebagaimana kata Soekarno “bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri”. Upaya untuk menjadikan Indoenesia menjadi negara maju, besar, kaya dan sejahtera. Seperti kisah Kuno yang di kabarkan oleh Plato, bawhwa terdapat suatu wilayah yang hilang dengan ciri maju berperdaban tinggi, memiliki angkat laut yang kuat dan rakyatnya sejahtera. Mungkin bisa jadi Atlantis itu dahulu adalah Nusantara sebagaimana taksiran-kasar Stephen Oppenheimer. Maka kita perlu merebut kembali kejayaan tersebut!!.
Sumber Referensi :
Buku “Arus Balik” Karya Pramoedya Ananta Toer
Buku “Nusataria” Cetakan Kedua Tahun 2024 Karya Philip Bowring
Paper “Berbagai Mitos,tentang Laut: Mengungkap Konsep Bahari Bangsa Indonesia” Karya Yoseph Yapi Taum diakses pada https://repository.usd.ac.id/6934/1/2693_2013+Berbagai+Mitos+Laut.pdf