Tunjangan Kemahalan merupakan salah satu komponen yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung. Namun, sampai saat ini belum ada evaluasi yang komperhensif terkait dengan pelaksanaan pemberian Tunjangan Kemahalan bagi para hakim. Berdasarkan riset yang dilakukan penulis, Tunjangan Kemahalan belum sesuai dengan yang seharusnya. Hal ini dikarenakan Tunjangan Kemahalan tidak didasarkan pada kebutuhan hidup di daerah tempat para hakim bertugas.
Salah satu poin di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung (selanjutnya disebut PP 94/2012) yaitu diberikannya hakim tunjangan lain. Di dalam Pasal 9 PP 94/2012 disebutkan bahwa hakim mendapatkan tunjangan keluarga, tunjangan beras, dan tunjangan kemahalan. Perihal mengenai tunjangan kemahalan diatur secara spesifik di dalam Lampiran III PP 94/2012.
Di dalam Lampiran III PP 94/2012 zona tunjangan kemahalan dibagi menjadi 4 zona yaitu Zona 1, Zona 2, Zona 3, dan Zona 3 khusus. Daerah yang termasuk di dalam Zona 1 yaitu DKI Jakarta dan lokasi kerja lainnya yang tidak termasuk pada Zona 2, Zona 3, dan Zona 3 khusus dan untuk Zona 1 tidak mendapatkan tunjangan kemahalan. Sementara itu, untuk Zona 2 meliputi Aceh, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur dan untuk Zona 2 mendapatkan tunjangan kemahalan Rp1.350.000,00. Terdapat juga Zona 3 yang meliputi Papua, Irian Jaya Barat, Maluku, Maluku Utara, Toli-Toli, Poso, Tarakan, dan Nunukan dan untuk Zona 3 mendapatkan tunjangan kemahalan Rp2.400.000,00. Terakhir yaitu Zona 3 khusus yang meliputi Bumi Halmahera (Maluku), Wamena (Papua), dan Tahuna (Sulawesi Utara).
Kemudian, pertanyaan paling mendasarnya apakah penerapan tunjangan kemahalan saat ini masih relevan baik dari segi nominal maupun pembagian zona yang terdapat di dalam PP 94/2012. Tulisan ini berusaha menjawab permasalahan yang terkait dengan tunjangan kemahalan yang didasarkan pada survei yang dilakukan penulis pada tanggal 26 Januari – 2 Februari 2024. Survei dilakukan kepada 244 responden hakim pada pengadilan tingkat pertama yang terdiri dari 185 pria dan 59 perempuan. Berdasarkan kelas pengadilan sebanyak 213 responden merupakan hakim tingkat pertama yang bertugas di pengadilan kelas II, 28 responden bertugas sebagai hakim di kelas IB, dan 3 responden bertugas sebagai hakim di kelas IA. Berdasarkan zona tunjangan kemahalan, sebanyak 65 responden bertugas di daerah zona 1, 127 responden bertugas di daerah zona 2, 50 responden bertugas di daerah zona 3, dan 2 responden bertugas di daerah zona 3 khusus.
Dari survei yang dilakukan oleh penulis, sebanyak 239 responden (98%) berpendapat Tunjangan Kemahalan belum sesuai dengan yang seharusnya dan 5 responden (2%) berpendapat Tunjangan Kemahalan sudah sesuai. Terkait dengan dasar perhitungan, sebanyak 187 responden (76,3%) berpendapat seharusnya Tunjangan Kemahalan didasarkan pada kebutuhan hidup di satuan kerja terkait. Selain itu, Tunjangan Kemahalan sebaiknya memasukan komponen jarak antara satuan kerja tempat hakim ditugaskan dengan domisili. Hal ini dikarenakan mayoritas responden ditugaskan di satuan kerja yang berbeda pulau dengan domisilinya. Mayoritas responden menghabiskan uang kurang lebih Rp 5 juta – Rp 10 juta untuk “pulang kampung” ke domisilinya dengan menggunakan transportasi pesawat dan kendaraan roda empat. Estimasi waktu yang dihabiskan untuk “pulang kampung” yaitu kurang lebih 10-20 jam.
Rekomendasi
Dari hasil survei yang dilakukan oleh penulis setidaknya ada 3 hal yang perlu diperhatikan terkait dengan kebijakan pemberian Tunjangan Kemahalan bagi hakim. Pertama, perlu ada evaluasi secara berkala. Sebagaimana yang kita ketahui, dasar hukum pemberian Tunjangan Kemahalan yaitu PP 94/2012 yang saat ini sudah berumur kurang lebih 12 tahun. Sudah pasti kondisi suatu daerah 12 tahun yang lalu dengan saat ini sudah sangat berbeda. Daerah yang menjadi objek prioritas pembangunan oleh pemerintah seperti Labuan Bajo sudah bisa dipastikan harga barang dan jasa di sana lebih mahal dibandingkan dengan daerah di sekitar Labuan Bajo. Kedua, dalam menentukan nominal dan daerah yang memperoleh Tunjangan Kemahalan sebaiknya melibatkan lembaga lain yang berkompeten seperti Badan Pusat Statistik (BPS) yang mempunyai data terkait dengan kondisi suatu daerah. Selain itu, metode yang digunakan sebaiknya dengan melakukan survei langsung ke lapangan agar data yang diperoleh lebih valid. Ketiga, dalam menentukan Tunjangan Kemahalan sebaiknya mempertimbangkan laju inflasi, biaya kebutuhan hidup layak di daerah tempat bertugas, dan biaya transportasi dari domisili ke daerah tempat bertugas. Biaya transportasi dari domisili ke daerah tempat bertugas harus dimasukan karena selama ini pendapatan bersih yang diperoleh oleh hakim terpotong cukup signifikan karena hakim harus “menabung” hanya untuk pulang ke domisili hakim tersebut. Hal ini sebetulnya cukup memprihatinkan bagi sebuah profesi yang diasosiasikan dengan istilah “wakil tuhan” oleh masyarakat dan secara normatif disebutkan di dalam undang-undang sebagai pejabat negara.