TIMESINDONESIA, JOMBANG – Women Crisis Center atau WCC Jombang mengungkapkan bahwa kasus Kekerasan Seksual (KS) dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) masih mendominasi penanganan kasus di Kabupaten Jombang sepanjang tahun 2024.
Hal tersebut diungkapkan oleh WCC Jombang dalam acara pelaporan tahunan yang diadakan di Gedung Aula PKK Pemerintah Kabupaten Jombang pada Rabu (26/2/2025). Data itu menunjukkan adanya tren peningkatan kasus selama tiga tahun terakhir, yakni dari 2022 hingga 2024.
Berdasarkan data WCC, kasus KDRT tercatat sebanyak 38 kasus pada tahun 2022. Meskipun terjadi penurunan menjadi 34 kasus pada tahun 2023, jumlah kasus tersebut kembali melonjak signifikan menjadi 50 kasus pada tahun 2024.
Sementara itu, untuk kasus Kekerasan Seksual, angka yang dilaporkan mengalami lonjakan dari 46 kasus pada 2022 menjadi 49 kasus pada 2023, dan melonjak tajam menjadi 55 kasus pada 2024.
"Data pengaduan tahun 2024 menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak usia 5 hingga 18 tahun masih sangat tinggi, dengan total mencapai 48 kasus. Jumlah ini menunjukkan tren peningkatan dibandingkan dengan tahun 2023," ujar Ana Abdillah, Direktur WCC Kabupaten Jombang.
Dalam rincian kasus kekerasan seksual terhadap anak, tercatat pelaku berasal dari kalangan pacar (14 kasus), mantan pacar (2 kasus), serta 3 kasus di mana korban mengalami kehamilan yang tidak diinginkan.
Dari ketiga korban tersebut, dua di antaranya melahirkan dan satu mengalami keguguran. Selain itu, terdapat tiga korban yang terpaksa harus putus sekolah akibat kehamilan. Untuk kasus KDRT, 50 kasus yang dilaporkan terdiri atas 42 kasus kekerasan terhadap istri (KTI) dan 8 kasus kekerasan terhadap anak (KTA).
"Dari 42 kasus KTI, hanya lima istri yang memilih melanjutkan laporan pidana. Di antara kasus tersebut, tiga diselesaikan melalui mediasi, dua sedang dalam proses peradilan, sembilan kasus memilih untuk bercerai—di mana enam melalui cerai gugat dan tiga melalui cerai talak—sedangkan 28 kasus memilih untuk bertahan dengan harapan agar suami berubah," jelas Ana.
Menurut Ana Abdillah, sebagian besar korban mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan. Ia merinci bahwa 39 korban mengalami penelantaran, seperti tidak mendapatkan nafkah, dibebani hutang, atau dilarang bekerja; 24 korban mengalami kekerasan fisik, mulai dari dipukul hingga dicekik; dan 31 korban mengalami kekerasan psikis berupa penghinaan, ancaman, dan pelecehan emosional. Selain itu, terdapat 4 korban yang mengalami kekerasan seksual dalam pernikahan (marital rape).
Ana mengungkapkan berbagai kendala dalam penegakan hukum terkait kasus kekerasan ini, terutama dalam implementasi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
"Tantangannya masih ada bias gender dalam penegakan hukum yang mempengaruhi proses peradilan. Dari lima kasus KDRT yang dilaporkan pidana, hanya dua yang proses hukumnya berlanjut hingga ke peradilan," ujar Ana.
Mantan aktivis mahasiswa juga menyoroti perbedaan pemahaman aparat penegak hukum terhadap pasal-pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang mengakibatkan inkonsistensi dalam penanganan kasus. Selain itu, pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak belum berjalan maksimal.
"Dalam dua kasus pencabulan yang melibatkan anak, korban dan keluarganya merasa tertekan untuk menyetujui proses diversi, padahal keadilan yang mereka butuhkan belum terpenuhi. Diversi sering kali menitikberatkan pada perlindungan anak pelaku, sementara kebutuhan emosional, psikologis, dan material korban kurang diperhatikan," pungkasnya. (*)