TIMESINDONESIA, SURABAYA – Di tengah kondisi ekonomi yang menuntut efisiensi anggaran, bulan Ramadan hadir sebagai fase spiritual yang mengingatkan kita pada esensi kesederhanaan, empati, dan peningkatan kualitas diri.
Ramadan adalah bulan yang dinanti-nantikan oleh umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Bukan sekedar waktu untuk menahan lapar dan dahaga, tetapi juga momen untuk meningkatkan ketakwaan, berbagi dengan sesama, serta mengendalikan hawa nafsu.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tantangan ekonomi global telah memaksa banyak negara, termasuk Indonesia untuk melakukan efisiensi anggaran di berbagai sektor. Dalam situasi ini, bagaimana kita dapat tetap menghidupkan esensi Ramadan tanpa mengabaikan realitas ekonomi yang ada.
Ramadan sejatinya mengajarkan umat Islam untuk hidup sederhana dan penuh kepedulian. Puasa mengajarkan manusia untuk merasakan penderitaan orang-orang yang kurang beruntung. Dengan menahan diri dari makan dan minum, kita diajak untuk lebih memahami dan mengerti makna syukur dan kepedulian sosial.
Ironisnya, Ramadan seringkali justru di identikkan dengan konsumsi yang berlebihan. Belanja kebutuhan makanan meningkat drastis, berbagai pesta buka puasa digelar besar-besaran, dan anggaran rumah tangga pun melonjak.
Sementara itu, di sisi lain, pemerintah dan dunia usaha berusaha mengencangkan ikat pinggang demi menjaga stabilitas ekonomi. Inilah saatnya bagi kita untuk kembali kepada esensi Ramadan yang sesungguhnya. Hidup sederhana, berbagi dengan sesama, serta meningkatkan kualitas spiritual.
Ditengah kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah, kita dapat melihat sebagai tantangan sekaligus peluang. Efisiensi anggaran bukan berarti menghilangkan esensi kebersamaan di bulan Ramadan, tetapi juga mengajarkan kita untuk lebih selektif dalam membelanjakan uang.
Pemerintah misalnya mengalokasikan anggaran dengan lebih efektif untuk program-program sosial yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat yang lebih membutuhkan. Daripada mengadakan acara buka puasa Bersama yang mewah, dana yang ada bisa dialihkan untuk membantu fakir miskin atau program pemberdayaan ekonomi umat. Hal ini sejalan dengan semangat Ramadhan yang mengajarkan keadilan sosial dan empati terhadap sesama.
Bagi masyarakat umum, efisiensi anggaran dapat menjadi momentum untuk lebih bijak dalam mengelola keuangan. Tidak perlu menghabiskan banyak uang untuk berbuka puasa dengan menu yang berlebihan, cukup dengan makanan yang sehat dan bergizi.
Dana yang biasanya digunakan untuk konsumsi berlebih bisa dialokasikan untuk zakat, infaq, dan sedekah yang merupakan bagian penting dari ibadah Ramadhan.
Menjalani Ramadan ditengah efisiensi anggaran bukan berarti mengurangi esensi ibadah, melainkan justru memperkuat maknanya. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan agar tetap dapat merayakan Ramadan dengan penuh keberkahan.
Pertama, mengatur anggaran dengan bijak dengan membuat perencanaan keuangan khusus untuk bulan Ramadan. Prioritaskan kebutuhan pokok dan hindari belanja konsumtif yang tidak perlu. Dengan cara ini, kita dapat mengelola keuangan dengan sehat dan bisa berbagi dengan yang membutuhkan.
Kedua, menghindari gaya hidup yang berlebihan karena Ramadan bukanlah ajang untuk berfoya-foya dalam berbuka dan sahur. Mengurangi kebiasaan membeli makanan berlebihan bukan hanya baik untuk keuangan, tetapi juga untuk kesehatan. Dengan adanya pola makan yang sehat dan sederhana, tubuh menjadi lebih sehat dan ibahah lebih nyaman.
Ketiga, meningkatkan sedekah karena salah satu esensi dari Ramadan adalah berbagi. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, banyak yang lebih membutuhkan uluran tangan kita, daripada mengeluarkan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat, lebih baik dialokasikan untuk sedekah dan berbagi yang dapat memberikan manfaat nyata bagi orang-orang yang lebih membutuhkan.
Esensi Ramadhan tidak ditentukan oleh kemewahan atau besarnya anggaran yang dikeluarkan, tetapu oleh sejauh mana kita mampu menahan diri, berbagi dan meningkatkan kualitas ibadah. Efisiensi anggaran justru dapat menjadi peluang untuk kembali pada makna sejati Ramadan, yaitu hidup sederhana dan penuh kepedulian terhadap sesama.
Dalam kondisi ekonomi yang menantang, kita dapat mengubah pola pikir bahwa Ramadan bukan selalu tentang berapa banyak uang yang kita keluarkan, melainkan tantang bagaimana kita dapat memanfaatkannya dengan lebih bijak.
Dengan menerapkan pola hidup yang lebih sederhana dan mengedepankan kepedulian sosial, Ramadan dapat menajadi bulan yang lebih bermakna dan penuh berkah bagi kita semua.
***
*) Oleh : Ahmad Fizal Fakhri, S.Pd., Assistant Professor at Uinsa, Activist, Media Team of Uinsa Postgraduate Program.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.