Film Home Sweet Loan (2024) menjadi salah satu flm yang sedang populer yang tayang di Netflix Indonesia. Film ini, salah satunya bercerita tentang KPR. Bagaimana sejarah KPR di Indonesia?
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Ada beberapa film yang sedang populer di Netflix Indonesia belakangan ini. Salah satunya adalah Home Sweet Loan (tayang di bioskop pada 2024).
Salah satu yang disorot dalam film garapan Visinema itu adalah persoalan KPR yang sering dihadapai oleh kelas menengah perkotaan. Berbicara tentang KPR, sebenarnya bagaimana sejarah KPR di Indonesia?
Secara garis besar, Home Sweet Loan bercerita tentang Kaluna (diperankan Yunita Siregar) yang merupakan seorang pekerja kantoran dan masih tinggal di rumah orangtuanya. Di sana Kaluna tinggal bersama kedua kakaknya yang sudah berkeluarga.
Karena itulah Kaluna bermimpi untuk memiliki rumah sendiri.
Tapi mimpi Kaluna ini sangat sulit diwujudkan. Tabungan dari gajinya yang tak seberapa bahkan tak cukup untuk membayar biaya DP rumah KPR.
Perjuangan Kaluna mewujudkan mimpinya itu untungnya diwarnai keceriaan teman-teman kantornya, Danan (Derby Romero), Miya (Fita Anggriani), dan Tanis (Risty Tagor). Kehadiran ketiga orang itu sangat membantu Kaluna melewati masa-masa sulit di kantor dan rumah.
Konflik yang dihadapi Kaluna tak hanya soal mimpi memiliki rumah saja.
Sebagai bungsu, Kaluna juga harus menanggung semua kebutuhan di rumah orangtuanya. Kaluna harus merasakan pedihnya menjadi sandwich generation yang terhimpit beban dari generasi keluarga sebelumnya.
Sejarah KPR di Indonesia
Mengutip Kompas.com, KPR secara ide ternyata sudah dicanangkan pada1962, dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 6 tahun 1962 tentang Pokok-Pokok Perumahan, namun baru terealisasi 14 tahun kemudian.
Penyaluran KPR pertama terjadi di Semarang pada 10 Desember 1976 atau saat ini telah menginjak usia 45 tahun. Program ini diinisiasi oleh PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN), Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) dan pelaku bisnis industri properti.
Dari buku68 Tahun Jejak Langkah BTN, diketahui, ketika itu BTN menjadi penyelenggara KPR setelah mendapat penugasan dari Menteri Keuangan (Menkeu) Ali Wardhana pada 29 Januari 1974. Saat itu BTN baru menginjak usia 24 tahun, masih tertatih tatih dan dalam proses mencari bisnis model yang ideal.
Sejarah mencatat mandat pemerintah ini mengubah perjalanan BTN selamanya. BTN mendapat mandat pemerintah dengan susah payah dan berliku. Bahkan, meski jelas-jelas ditugaskan pemerintah, masih ada pihak-pihak yang memaksakan pembentukan Bank Hipotek Perumahan (BHP).
Setelah debat panjang, usulan pembentukan bank baru kalah suara. Diputuskan menugaskan bank yang sudah ada, yakni BTN, dengan menambahkan fungsi dan tugas hipotek perumahan.
Munculnya nama BTN juga melalui pembahasan alot. Bahkan, tim pembahas sampai membentuk working group sebagai counterpart. Ada tiga nama kandidat bank yang muncul, yakni BTN, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Tim Bank Dunia (World Bank) sebagai konsultan awalnya mengusulkan BRI. Alasannya, bank tersebut dinilai berpengalaman dalam mengelola kredit kecil (retail) dan memiliki kantor cabang tersebar di seluruh Indonesia.
Tapi pemerintah memiliki pertimbangan lain, sehingga memilih BTN. Setelah resmi ditunjuk pemerintah, BTN segera melakukan reorganisasi. Biro Pengembangan Dana (BPD) direformasi, diganti menjadi Biro Kredit Perumahan (BKP).
BPD adalah pecahan dari Biro Pemupukan dan Pengembangan Dana (BPPD). Tugas pokoknya pendepositoan dana yang dihimpun yang dikoordinasi oleh BPPD.
Setelah pembentukan BKP, pemerintah mendatangkan beberapa konsultan dari luar negeri. Awalnya konsultan dari Belgia. Namun, rekomendari dari konsultan Belgia dinilai terlalu “ekstrem” sehingga ditolak pemerintah.
Selanjutnya konsultan dari Amerika, yakni Mc. Iver, Presiden Asosiasi S & L, dan Wafer, serta Spedy dari Inggris. Lagi-lagi hasil kajian tim konsultan ini kurang mengembirakan.
Tim ini berpendapat, tatanan hukum, law enforcement, dan tatanan lembaga pendukung belum mencukupi untuk pendirian sebuah housing finance institution dan housing loan di Indonesia. BTN semakin giat konsultasi.
Antara lain dengan para ahli hukum dari perguruan tinggi, para notaris senior yang tergabung dalam Ikatan Notaris Indonesia (INI), hingga mendatangkan tim konsultan hukum terkenal.
Namun, semuanya berpendapat belum ada dasar hukum yang kuat bagi Bank BTN untuk memberikan kredit hipotik jangka panjang secara aman. Hingga melakukan survei ke berbagai bank di Indonesia, hingga studi banding ke beberapa negara, belum ditemukan sistem pemberian kredit yang dapat dijadikan benchmark.
Pemerintah kembali mendatangkan konsultan dari Inggris, Commenwealth Development Corporation, yaitu J. Ringshall guna membahan sprogram tersebut. Dari hasil konsultasi dengan Ringshall, serta mempertimbangkan hasil studi banding ke luar negeri, diputuskan untuk mengirim staf Bank BTN training ke Malaysia Building Society Berhad (MBSB) di Kuala Lumpur.
Staf Bank BTN yang berangkat ke Kuala Lumpur yakni Asmuadji, Soedartawan, Soewito, Soejoediman, Husaini Romli, dan Wim Amanupunyo. Mereka berangkat pada April 1975 dan berada di sana selama dua setengah bulan.
Dari training inilah staf Bank BTN memperoleh pengetahuan tentang seluk-beluk pengawasan proyek yang dilakukan MBSB dan bentuk formulir yang digunakan dalam proses pemberian kredit. Mereka juga untuk pertama kalinya mengenal istilah dan fungsi developer yang di Malaysia disebut “Pemaju”.
“Mereka juga mempelajari fungsi lembaga provident fund yang merupakan salah satu sumber pendanaan housing loan di sana. Satu hal yang tidak terlalu didalami oleh mereka adalah sistem hukumnya, sebab aspek hukum Malaysia berbeda dengan Indonesia. Jadi, mereka lebih menekankan pada kegiatan proses administrasi dan organisasi,” sebut Direktur Utama BTN Haru Koesmahargyo seperti dikutip dalam siaran pers, Senin (13/12/2021).
Haru merinci, sepulang training dari Malaysia, tim ini langsung menyusun berbagai exercise yang kira-kira cocok untuk diterapkan sebagai pola dasar pemberian kredit perumahan. Direksi Bank BTN juga terus mendesak agar berbagai persiapan administrasi segera dicetak, termasuk memikirkan nama jenis kredit yang akan diberikan.
Berbagai usulan yang diajukan semuanya mengandung nama “mortgage” dan “hipotik”, seperti Kredit Hipotik Perumahan, Mortgage Perumahan, dan sebagainya.
Saat itulah Asmuadji mengusulkan nama Kredit Pemilikan Rumah, disingkat KPR. Berkat dukungan konsultan J. Ringshall, Direksi Bank BTN ternyata menyetujui usulan nama yang diberikan oleh Asmuadji itu.
Setelah sepakat soal nama, Bank BTN langsung menggunakan KPR dalam berbagai formulir standar. Secara administratif, penyaluran KPR saat itu sebenarnya sudah bisa dimulai. Namun secara teknis operasional, mereka terkendala dari mana harus memulainya.
Di satu sisi, KPR baru bisa dicairkan jika rumah yang akan dibiayai sudah ada atau sudah terbangun dan memenuhi syarat yang ditetapkan, antara lain luas tanah, tipe atau luas bangunan, harga rumah dan tanah, rasio harga tanah terhadap bangunan, spesifikasi teknis, sarana, dan prasarana lingkungan.
“Namun, di sisi lain, rumah yang ready stock saat itu belum tersedia. Sebab, pengembang tidak berani membangun sebelum ada kepastian rumah yang selesai akan ada pembelinya atau sudah mendapat KPR BTN. Jadi, ini seperti masalah telur dan ayam. Siapa duluan,” kata dia.
Ketika menemui jalan buntu, sekitar September 1976, BKP kedatangan tamu, yakni Djamin Ceha, pemilik PT Tanah Mas, pengembang di Semarang. Djamin Ceha membawa surat dari Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Yasir Hadibroto untuk disampaikan ke Direktur Utama BTN, Soedjiwo.
Surat tersebut berisi permintaan bantuan pembiayaan dari BTN untuk pembangunan perumahan bagi karyawan Pemda Jateng yang dibangun PT Tanah Mas di Semarang. Djamin Ceha sebagai pengembang pertama yang rumahnya dibiayai dengan KPR BTN lalu diperintahkan untuk menangani proyek tersebut.
Antara lain melakukan penilaian terhadap pembangunan rumah, penjelasan umum kepada karyawan Pemda Jateng, wawancara pemohon, mencari notaris, menghubungi perusahaan asuransi, dan sebagainya.
Tim BKP juga mencari model naskah perjanjian kredit yang pas. Berkat bantuan dari Direktur Bank BTN Soekahar, tim akhirnya mendapatkan model naskah yang cocok, yaitu perjanjian kredit investasi jangka panjang yang biasa digunakan Bapindo.
Maka terciptalah model naskah perjanjian kredit untuk KPR yang isinya sangat panjang karena memuat General Loan Condition.
Rumah yang dibangun Djamin Ceha itu menjadi pembangunan rumah perdana non-perumahan nasional (Perumnas) yang dibiayai KPR. Saat itu KPR disalurkan untuk 9 unit rumah di Semarang, disusul kota Surabaya dengan 8 unit rumah pada tahun yang sama.
Sehingga, total KPR perdana yang berhasil direalisasikan Bank BTN pada tahun 1976 adalah 17 unit rumah dengan nilai kredit Rp 38 juta. Menginjak usia matang, KPR BTN telah melayani masyarakat dengan total penyaluran senilai Rp 352 triliun, serta mewujudkan rumah impian ke lebih dari 5 juta keluarga di Indonesia.
Haru memastikan, angka ini tentu akan terus tumbuh, seiring tingginya kebutuhan rumah dan kemampuan BTN berinovasi.
“Inovasi terus berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan kebutuhan dan kebiasaan masyarakat di era digitalisasi serta trend di sektor properti, oleh karena itu, menginjak usia KPR ke-45, BTN fokus mewujudkan digitalisasi ekosistem pembiayaan perumahan” ucap Haru saat memberikan sambutan di acara Syukuran HUT KPR ke 45 di Jakarta, Jumat (10/12/2021).
Adapun tiga hal penting yang akan dilakukan dalam mengembangkan KPR agar memberikan manfaat sebesar besarnya bagi negeri ini. Pertama, transformasi digital di semua proses bisnis. Kedua, menjangkau para milenial, dan ketiga, memperkuat KPR BTN sebagai tulang punggung pemerintah dalam pengadaan rumah untuk rakyat.
Begitu sejarah KPR di Indonesia, salah satu topik yang dibahas dalam film Home Sweet Loan yang saat ini tayang di Netflix. Selamat menonton.