Hamas Tak Peduli Ancaman Trump, Sebut Hanya untuk Dukung Israel Mundur dari Perjanjian
Pravitri Retno W March 06, 2025 06:40 PM

TRIBUNNEWS.COM - Presiden AS, Donald Trump, memberikan ancaman kepada Hamas untuk segera membebaskan para sandera yang masih berada di Gaza.

Dalam ancamannya, Trump mengatakan akan membiarkan Israel membunuh semua warga Gaza bila Hamas tak segera membebaskan para sandera.

"Kepada Rakyat Gaza: Masa Depan yang indah menanti, tetapi tidak jika Anda menyandera mereka. Jika Anda melakukannya, Anda MATI! Ambil keputusan yang CERDAS. BEBASKAN SANDERA SEKARANG, ATAU AKAN ADA HUKUMAN YANG HARUS DIBAYAR NANTI!" tulis Trump lewat Truth Social.

Menanggapi ancaman tersebut, Hamas mengatakan pernyataan Trump merupakan dukungan bagi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk menarik diri dari gencatan senjata.

"Jalur terbaik untuk membebaskan tahanan Israel yang tersisa adalah dengan pendudukan memasuki fase kedua dan memaksanya untuk mematuhi perjanjian yang ditandatangani di bawah sponsor mediator," kata juru bicara Hamas, Abdel-Latif al-Qanoua, dikutip dari Al Arabiya.

Juru bicara Hamas lainnya, Hazem Qassem, mengatakan kepada CNN, pernyataan tersebut akan "mempersulit masalah terkait perjanjian gencatan senjata" dan membuat pemerintah Israel semakin berani menghindari pelaksanaan kesepakatan tersebut.

Qassem mengatakan Hamas telah memenuhi kewajiban tahap pertama berdasarkan perjanjian yang ditengahi AS dan bahwa pemerintah Israel "menghindari negosiasi untuk tahap kedua."

Ia mendesak AS untuk menekan Israel agar memasuki fase kedua, "sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian".

Kesepakatan gencatan senjata Gaza yang mulai berlaku pada bulan Januari dinegosiasikan dengan utusan Trump yang berpartisipasi bersama utusan pemerintahan Biden yang akan berakhir.

Kesepakatan tersebut menyerukan agar sandera yang tersisa dibebaskan pada fase kedua, di mana rencana akhir akan dinegosiasikan untuk mengakhiri perang.

Tahap pertama gencatan senjata berakhir pada hari Sabtu, dan Israel sejak itu memberlakukan blokade total pada semua barang yang memasuki Gaza, menuntut agar Hamas membebaskan sandera yang tersisa tanpa memulai negosiasi untuk mengakhiri perang.

Palestina mengatakan blokade tersebut dapat menyebabkan kelaparan di antara 2,3 juta orang yang tinggal di reruntuhan Gaza.

Sebelumnya, utusan AS untuk urusan sandera, Adam Boehler telah melakukan pertemuan rahasia dengan Hamas di Doha, Qatar.

Seorang pejabat senior Hamas mengatakan kepada Al Mayadeen, pertemuan tersebut meninggalkan kesan positif bagi pihak AS mengenai kemungkinan negosiasi baru.

Namun, pejabat tersebut mencatat, utusan AS hanya berfokus pada potensi pertukaran tahanan dan tidak membahas masalah yang lebih luas, seperti gencatan senjata atau diakhirinya perang di Gaza.

"Pihak Amerika tidak menyampaikan kerangka kerja khusus untuk pertukaran tahanan, tetapi mendengarkan perspektif Hamas mengenai masalah tersebut," kata pejabat itu.

Pejabat Perlawanan Palestina juga mengungkapkan pertemuan tersebut terjadi atas permintaan AS dan mengejutkan pejabat Israel.

Sekretaris Pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, mengungkapkan alasan setelah ditanya mengapa AS bernegosiasi "secara langsung dan untuk pertama kalinya dengan Hamas".

"Terkait negosiasi yang Anda maksud, pertama-tama, utusan khusus yang terlibat dalam negosiasi tersebut memiliki kewenangan untuk berbicara dengan siapa pun," katanya, dikutip dari CNN.

"Israel telah diajak berkonsultasi mengenai masalah ini, dan lihatlah, dialog dan pembicaraan dengan orang-orang di seluruh dunia untuk melakukan apa yang terbaik bagi kepentingan rakyat Amerika adalah sesuatu yang telah dibuktikan oleh presiden sebagai apa yang ia yakini sebagai (sebuah) upaya dengan itikad baik untuk melakukan apa yang benar bagi rakyat Amerika," imbuh Leavitt.

Di sisi lain, Kantor Perdana Menteri Israel mengatakan pihaknya telah "menyampaikan kepada Amerika Serikat posisinya mengenai pembicaraan langsung dengan Hamas".

Pernyataan Israel tidak menjelaskan secara rinci apakah Israel telah mengetahui pembicaraan tersebut sebelumnya atau baru mengetahuinya kemudian.

Pernyataan tersebut juga tidak menjelaskan secara rinci apa posisi Israel.

(*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.