Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memeriksa Direktur KSO Summarecon Serpong, Sharif Benyamin, pada Selasa, 4 Maret 2025.
Sharif Benyamin diperiksa sebagai saksi untuk perkara dugaan penerimaan gratifikasi Rp 21,5 miliar mantan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Muhammad Haniv.
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, mengungkap bahwa penyidik menduga Sharif Benyamin turut memberikan uang kepada Haniv.
"Ya, penyidik mendalami ya, penyidik mendalami terkait dengan aliran dana kepada tersangka. Dalam hal ini saksi Saudara SB [Sharif Benyamin] dari salah satu perumahan, Direktur KSO perumahan di daerah Serpong," kata Tessa dalam pernyataannya, Jumat (7/3/2025).
Terkait berapa jumlah uang yang diduga diberikan oleh Sharif Benyamin kepada Haniv, Tessa belum bisa mengungkap lebih jauh. Termasuk dalam rangka apa Sharif memberikan duit untuk Haniv.
"Kalau untuk jumlahnya berapa atau bentuknya apa, ini saya perlu koordinasikan. Tetapi secara prinsip kita perlu menanyakan atau mendalami betul atau tidak. Kalau memang iya dalam rangka apa. Itu saja," kata Tessa.
Pada Selasa, 4 Maret, selain memeriksa Sharif Benyamin, penyidik KPK juga memeriksa saksi Shitta Amalia selaku PNS KPP PMA 6 Ditjen Pajak.
Lewat Shitta, KPK ingin menyelisik soal permintaan uang oleh Haniv yang tujuannya untuk biaya fashion show sang putri.
"Saksi hadir didalami terkait dengan kebijakan permintaan dana untuk fashion show," ujar Tessa Selasa (4/3/2025).
Di hari yang sama, penyidik KPK semestinya juga memeriksa saksi Sugianto Halim selaku Direktur PT Prima Konsultan Indonesia. Namun, Sugianto urung hadir.
KPK telah menetapkan Mohamad Haniv alias Muhamad Haniv alias Muhammad Haniv selaku PNS pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan gratifikasi.
Surat perintah penyidikan (sprindik) penetapan tersangka Haniv diterbitkan pada Rabu, 12 Februari 2025.
Haniv belum ditahan KPK, tetapi komisi antikorupsi sudah meminta Direktorat Jenderal Imigrasi untuk melarang dia bepergian ke luar negeri.
MUHAMMAD HANIV Kepala Kantor Wilayah DKI Jakarta Direktorat Jenderal Pajak, Muhammad Haniv usai menjalani pemeriksaan di kantor KPK, Jakarta, Selasa (10/1/2017). Muhammad Haniv diperiksa sebagai saksi untuk Country Director PT EK Prima Ekspor Indonesia, Ramapanicker Rajamohanan Nair terkait kasus suap yang melibatkan pejabat di Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Handang Soekarno. TRIBUNNEWS/HERUDIN (TRIBUNNEWS/HERUDIN)
Sejak tahun 2011, Haniv menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Provinsi Banten. Pada ahun 20152018, Haniv kemudian menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu memaparkan bahwa Haniv memiliki anak bernama Feby Paramita yang mempunya latar belakang pendidikan mode. Sejak tahun 2015, Feby memiliki usaha fashion brand untuk pakaian pria bernama FH Pour Homme by Feby Haniv dan berlokasi di Victoria Residence, Karawaci, Tangerang, Banten.
"Selama menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, tersangka HNV diduga telah melakukan perbuatan yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban tugasnya dengan menggunakan pengaruh dan koneksinya untuk kepentingan dirinya dan usaha anaknya," kata Asep dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Selasa (25/2/2025).
Perkara diawali pada 5 Desember 2016, Haniv mengirimkan surat elektronik/email kepada Yul Dirga (Kepala Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing 3) berisi permintaan untuk dicarikan sponsorship fashion show FH Pour Homme by Feby Haniv yang akan dilaksanakan 13 Desember 2016. Permintaan ditujukan untuk “2 atau 3 perusahaan yang kenal dekat saja” dan pada budget proposal tertera nomor rekening BRI dan nomor handphone atas nama Feby Paramita dengan permintaan sejumlah Rp150 juta.
"Atas email permintaan tersebut, terdapat transfer masuk ke rekening BRI 486301003762502 milik Feby Paramita yang diidentifikasi terkait dengan pemberian gratifikasi yang berasal dari wajib pajak Kantor Wilayah Pajak Jakarta Khusus maupun dari pegawai KPP Penanaman Modal Asing 3sebesar Rp300 juta," ujar Asep.
Asep mengungkapkan, periode 20162017, keseluruhan dana masuk ke rekening BRI 486301003762502 milik Feby Paramita terkait dengan pelaksanaan seluruh fashion show FH Pour Homme by Feby Haniv yang berasal dari perusahaan ataupun perorangan yang menjadi wajib pajak dari Kantor Wilayah Pajak Jakarta Khusus adalah sebesar Rp387 juta. Sementara yang berasal dari bukan wajib pajak sebesar Rp417 juta.
"Seluruh penerimaan gratifikasi berupa sponsorship pelaksanaan fashion show FH Pour Homme by Feby Haniv adalah sebesar Rp804 juta di mana perusahaanperusahaan tersebut menyatakan tidak mendapatkan keuntungan atas pemberian uang sponsorship untuk kegiatan fashionshow (tidak mendapat eksposur ataupun keuntungan lainnya)," tutur Asep.
Selain itu, lanjut Asep, pada periode 20142022, Haniv diduga beberapa kali menerima sejumlah uang dalam bentuk valas dolar Amerika Serikat (AS) dari beberapa pihak terkait melalui Budi Satria Atmadi. KPK belum mengungkap identitas Budi Satria Atmadi.
Selanjutnya, Budi melakukan penempatan deposito pada BPR menggunakan nama pihak lain dengan jumlah yang sudah diketahui sebesar Rp10.347.010.000 dan pada akhirnya melakukan pencairan seluruh deposito ke rekening Haniv sejumlah Rp14.088.834.634.
Kemudian pada periode 20132018, Haniv melakukan transaksi keuangan pada rekeningrekening miliknya melalui perusahaan valuta asing dan pihakpihak yang bekerja pada perusahaan valuta asing keseluruhan sejumlah Rp6.665.006.000.
"Bahwa HNV telah diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi berupa penerimaan gratifikasi untuk fashion show Rp804 juta, penerimaan lain dalam bentuk valas Rp6.665.006.000 dan penempatan pada deposito BPR Rp14.088.834.634," ucap Asep.
Total Haniv menerima gratifikasi sejumlah Rp21.560.840.634 (Rp21,5 miliar).
Atas perbuatannya, Haniv diduga melanggar Pasal 12 B UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.